- Konsumsi daging anjing masih tinggi di Yogyakarta. Berbagai hal ditempuh untuk menghentikan praktik ini. Salah satunya, menyediakan pangan alternatif.
- Animal Friend Jogja (AFJ) yang tergabung dalam DMFI menginisiasi Nabati Nusantara, program untuk menunjukkan pilihan makanan lain yang berbahan nabati, tetapi mampu menghidangkan santapan layaknya daging, untuk mengatasi konsumsi daging anjing.
- Nofri Dani, Koordinator Relawan AFJ yang mengampu Nabati Nusantara, menjelaskan salah satu terobosan mereka adalah tongseitan, dan mendapat respons positif dari penikmat tongseng daging anjing.
- Elsa Lailatul Marfu'ah, Koordinator Edukasi DMFI, menyebut, kebanyakan suplai daging anjing di Yogyakarta dari Jawa Barat yang statusnya belum bebas rabies. Sementara Yogyakarta sudah bebas rabies.
Andreas, warga Bantul, Yogyakarta, masih ingat kala lihat lihat anjing tetangganya jadi santapan. Caranya tidak masuk di akal, anjing itu dipaksa masuk ke karung lalu dipukuli hingga tewas. Darah rembes ke luar karung seketika setelah gonggongan berhenti.
Adegan saat dia masih duduk di bangku SMP itu membuatnya bertekad tidak mau lagi mengonsumsi daging anjing. Saat SMA, dia pun paham ada risiko kesehatan tinggi pada daging anjing.
“Terutama rabies, jadi saya makin bulat tidak memakannya,” katanya.
Hal itu tidak mudah karena dia tinggal di lingkungan yang biasa mengonsumsi daging anjing. Alasan ‘tidak enak’ dia utarakan saat terpaksa mencicipi.
“Kalau beli atau makan dengan kesadaran itu sudah tidak ada lagi.”
Terakhir kali dia makan karena sungkan pada November 2024. Saat itu, temannya di Kecamatan Wonosari, Gunungkidul membeli tongseng daging anjing (sengsu).
Di Yogyakarta, jumlah warung sengsu ada di tiap kabupaten dan kota tetapi jumlah jauh berkurang dalam belasan tahun, terutama di sekitar tempat tinggalnya.
Cuma butuh Rp25.000 untuk beli sengsu. Baginya, uang itu lebih baik untuk beli daging olahan lain.
“Kebanyakan konsumennya orang-orang tua yang masih menganggap sengsu sebagai jamu.”
Pemuda 28 tahun ini bilang, mitos daging anjing sebagai jamu sebenarnya keliru. Sebab, khasiat jamu berasal dari rempah yang banyak dalam sajian sengsu, bukan dagingnya.
Penggunaan rempah itu, katanya, untuk mengusir bau khas anjing. Sama seperti olahan kambing yang minim bumbu, pasti menyisakan aroma perengus.
“Jadi itu hanya mitos, kalau mau jamu sekalian beli yang asli saja malah terjamin.”
Selain karena mitos, masih banyak konsumsi daging anjing karena anggapan hewan itu masuk kategori ternak. Padahal, Undang-undang 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan anjing itu bukan ternak.
Dia prihatin dengan kondisi itu hingga upaya lakukan edukasi untuk generasi yang lebih tua.
“Kalau generasi muda di lingkungan saya sudah punya kesadaran itu bahkan ada yang relawan untuk penghentian konsumsi daging anjing.”
Yuk, segera followWhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.

Konsumsi daging anjing tinggi
Secara umum, konsumsi daging anjing negara ini masih tinggi. Kajian Humane Society International menyebut Indonesia menjagal satu juta anjing tiap tahun.
Di Yogyakarta, Riset Dog Meat Free Indonesia (DMFI) menyebut, konsumsi daging anjing mencapai 65.000 tiap bulan.
Elsa Lailatul Marfu’ah, Koordinator Edukasi DMFI, mengatakan, kebanyakan suplai daging anjing di Yogyakarta dari Jawa Barat dengan status belum bebas rabies. Yogyakarta sudah bebas rabies.
Jika kondisi ini awet, tak menutup kemungkinan Yogyakarta akan menyusul Nusa Tenggara Barat yang turun status jadi endemi rabies. Tidak hanya Yogyakarta, daerah lain yang sudah bebas rabies seperti Solo juga memiliki konsumsi terbanyak di Indonesia bisa terpapar penyakit itu.
Selain rabies, anjing yang jadi santapan juga memiliki risiko kesehatan kolera, antraks, hepatitis, hingga kontaminasi E. coli. Penjagalan hewan yang sudah terdomestikasi ini, juga berisiko karena penggunaan potas atau sianida.
Racun yang membunuh anjing itu bisa mengontaminasi mereka yang menyantapnya. Menurut dia, kasus itu terjadi di Bantul, pelakunya tertangkap dan kepolisian yang menangani kasusnya.
DMFI memantau kasus itu karena pemilik anjing melaporkannya ke mereka.
“Pelaku meracuni dengan potas atau sianida untuk dijual ke warung sengsu, kejadian ini juga berulang yang pertama pada Februari lalu kedua saat Agustus lalu.”
Selain hulu hingga hilir, konsumsi anjing sarat masalah dan pelanggaran hukum. UU 21/2019 tentang Karantina Hewan mewajibkan surat keterangan kesehatan untuk perdagangan dan perpindahan hewan konsumsi tapi praktik untuk anjing tidak ada.
Peraturan Menteri Pertanian 13/2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan memastikan tidak ada tempat khusus untuk anjing. Artinya, aktivitas penjagalan pasti ilegal.

Salah pendekatan
Penindakan praktik konsumsi daging anjing kerap tidak tepat. Elsa bilang, pendekatan di hulu seperti menutup warung sengsu bukan solusi.
Penertiban bagi yang jual sembunyi-sembunyi justru membuatnya makin sulit terawasi.
“Mestinya warung sengsu yang ada didampingi oleh pemerintah untuk beralih jualan, kami juga tak mau menghentikan penghasilan orang lain tanpa solusi,” ujarnya.
Pendampinga perlu, supaya pemiliknya beralih secara permanen. Dia bilang, bentuknya mesti memberikan bantuan modal dan pelatihan ke jenis usaha lain.
Di Yogyakarta, ada 111 tempat yang menjajakan olahan daging anjing. Data ini DMFI ambil berdasarkan pemantauan melalui peta digital.
Wilayah paling banyak di Sleman dengan 57 warung, Bantul memiliki 24 tempat serupa. Lalu, Kulonprogo mencapai 11 warung, Gunungkidul 10 warung, dan Kota Yogyakarta 9 warung.
Data ini, katanya, masih gunung es, karena kemungkinan jumlahnya lebih banyak. Sebab, sebagian warung sengsu tidak mencantumkan operasinya di Google Maps atau menandainya dengan sebutan lain.
Pemerintah sudah melarang dengan Surat Edaran (SE) Gubernur 510/13896 pada 2023. Gunungkidul juga turut melarang dengan SE Bupati nomor 11 sejak 2024, dan Sleman dengan SE Dinas Pertanian dan Pangan nomor 524/3494 tahun 2024.
Kebijakan yang hanya melarang, katanya, tidak efektif. Mengingat dampaknya pada kesehatan masyarakat luas.
“Temuan kami menunjukan banyak pemilik warung sengsu itu mau berhenti asal ada pengganti jenis usaha yang lebih jelas, mereka selama ini masih beroperasi karena tuntutan ekonomi juga.”

Solusi?
Animal Friend Jogja (AFJ) yang tergabung dalam DMFI menginisiasi Nabati Nusantara untuk mengatasi konsumsi daging anjing. Elsa, yang juga pegiat AFJ, menyebut, program ini untuk menunjukkan pilihan makanan lain yang berbahan nabati, tetapi mampu menghidangkan santapan layaknya daging.
Lewat Nabati Nusantara, muncul menu tongseitan, yang bisa jadi pengganti sengsu. Menggunakan bahan tepung untuk hasilkan guletin agar menyerupai daging, lalu mengolahnya selayaknya tongseng daging anjing.
Nofri Dani, Koordinator Relawan AFJ yang mengampu Nabati Nusantara, menjelaskan, tongseitan mendapat respons positif dari penikmat sengsu. “Memang rasanya belum mirip sepenuhnya tapi mereka jadi teredukasi dan berhenti konsumsi daging anjing,” katanya.
Upaya pengembangan tongseitan masih terus Nabati Nusantara lakukan. Bahkan, program ini telah miliki 50 menu lebih makanan berbahan tumbuhan. Semua sudah mereka bukukan dan dapat masyarakat luas manfaatkan secara gratis.
Inisiasi ini terutama muncul karena banyak potensi pangan, terutama dari bahan nabati, yang tak terkelola maksimal. Dalam budaya pangan nusantara, lanjutnya, perkembangan olahan sudah sangat beragam.
“Sayangnya budaya pangan ini tidak dilestarikan.”

Dalam menyusun puluhan menu berbahan nabati ini, mereka turut mempertimbangkan kandungan gizi dan rasa agar menarik masyarakat luas.
“Secara gizi sudah terjamin, termasuk tongseitan. Kami juga menggandeng ahli boga untuk memastikan rasanya enak dan menggugah selera.”
Tanggapan atas tongseitan dari salah satu pemilik warung sengsu di Sleman cukup positif.
Tono, bukan nama sebenarnya, menilai sangat memungkinkan beralih menu jualan jika mendapat pendampingan yang memadai.
Dia terpaksa menjajakan daging anjing karena tuntutan ekonomi. “Karena ini yang bisa saya lakukan, dapat ilmu mengolahnya dari simbah-simbah dulu, kalau ada menu lain yang lebih menjanjikan pasti beralih juga.”
Dia menjual sengsu sembunyi-sembunyi. Karena sudah miliki pelanggan, operasinya bisa terus berjalan. Mayoritas adalah orang tua.
Tono dapat suplai daging anjing dari pihak lain.
“Tidak mencari sendiri, susah juga kalau harus nyari anjing sendiri. Sebenarnya takut juga begini terus, apalagi ada resiko rabies.”

*****
Menanti Indonesia Larang Perdagangan Daging Anjing dan Kucing