- Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menghentikan operasional PT Agincourt Resources, PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III), dan PT North Sumatera Hydro Energi (NSHE) pengembang PLTA Batang Toru. Keputusan itu keluar pasca Hanif Faisol Nurofiq, Menteri LH, inspeksi mendadak (Sidak) di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara (Sumut).
- Rizal Irawan, Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLH /BPLH, menyebut, hasil pantauan udara menunjukkan pembukaan lahan masif yang memperbesar tekanan pada DAS.
- Presiden Prabowo Subianto, pasca mengunjungi sejumlah wilayah di Tano Batak, Senin (1/12/25), menyebut, perubahan iklim jadi penyebab tanah longsor dan banjir bandang di Sumatera. Pemerintah pusat dan daerah, katanya, harus menjaga lingkungan untuk mengantisipasi kondisi di masa depan dalam pengaruh perubahan iklim.
- Eko Teguh Paripurno, Pakar Manajemen Kebencanaan Geologi UPN Yogyakarta, bilang, harusnya pemerintah mencari pihak yang bertanggungjawab atas bencana tersebut. Dalam hal ini, bisa dengan pendekatan disaster forensic.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menghentikan operasional PT Agincourt Resources, PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III), dan PT North Sumatera Hydro Energi (NSHE) pengembang PLTA Batang Toru. Keputusan itu keluar pasca Hanif Faisol Nurofiq, Menteri LH, inspeksi mendadak (Sidak) di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara (Sumut). Audit lingkungan pun wajib bagi ketiga perusahaan itu.
“Mulai 6 Desember 2025, seluruh perusahaan di hulu DAS Batang Toru wajib menghentikan operasional dan menjalani audit lingkungan. Kami telah memanggil ketiga perusahaan untuk pemeriksaan resmi pada 8 Desember 2025 di Jakarta,” katanya, Jumat (5/12/25).
Sepanjang hari, Hanif dan Rizal Irawan, Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLH /BPLH, melakukan sidak dan mendatangi perusahaan itu. Mereka lakukan pantauan udara di DAS Batang Toru dan Garoga, memverifikasi penyebab bencana serta menilai kontribusi aktivitas usaha terhadap meningkatnya risiko banjir dan longsor di Sumatera. Juga, memastikan kepatuhan terhadap standar perlindungan lingkungan hidup.
“DAS Batang Toru dan Garoga adalah kawasan strategis dengan fungsi ekologis dan sosial yang tidak boleh dikompromikan.”
Dia bilang, beberapa aktivitas skala besar terbukti memberikan tekanan tambahan bagi DAS Batang Toru, terutama dalam situasi curah hujan ekstrem.
“Dari peninjauan udara, kami mengidentifikasi sedikitnya tiga sumber utama yang memperparah banjir: kegiatan hutan tanaman industri, pembangunan listrik tenaga air yang masif, dan aktivitas penambangan emas di DAS Batang Toru. Semua ini memberi kontribusi signifikan terhadap tekanan lingkungan.”
Menurut Rizal, hasil pantauan udara menunjukkan pembukaan lahan masif yang memperbesar tekanan pada DAS.
“Dari overview helikopter, terlihat jelas aktivitas pembukaan lahan untuk PLTA, hutan tanaman industri, pertambangan, dan kebun sawit. Tekanan ini memicu turunnya material kayu dan erosi dalam jumlah besar. Kami akan terus memperluas pengawasan ke Batang Toru, Garoga, dan DAS lain di Sumatera Utara.”
Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.

Evaluasi dan pemulihan
Menurut Hanif, KLH akan meninjau ulang seluruh persetujuan di lingkungan di DAS Batang Toru. Juga, evaluasi menyeluruh terhadap seluruh kegiatan usaha di kawasan tersebut, terutama dengan curah hujan ekstrem yang kini mencapai lebih dari 300 mm per hari.
“Pemulihan lingkungan harus dilihat sebagai satu kesatuan lanskap. Kami akan menghitung kerusakan, menilai aspek hukum, dan tidak menutup kemungkinan adanya proses pidana jika ditemukan pelanggaran yang memperparah bencana,” katanya.
KLH, akan memperketat verifikasi persetujuan lingkungan dan kesesuaian tata ruang untuk seluruh kegiatan di lereng curam, hulu DAS, dan alur sungai.
Penegakan hukum akan mereka tempuh jika menemukan pelanggaran yang menambah risiko bencana.
“Kami tidak akan ragu menindak tegas setiap pelanggaran. Penegakan hukum lingkungan adalah instrumen utama untuk melindungi masyarakat dari bencana yang bisa dicegah.”

Salahkan perubahan iklim?
Presiden Prabowo Subianto, pasca mengunjungi sejumlah wilayah di Tano Batak, Senin (1/12/25), menyebut, perubahan iklim jadi penyebab bencana longsor dan banjir bandang di Sumatera.
Pemerintah pusat dan daerah, katanya, harus menjaga lingkungan untuk mengantisipasi kondisi di masa depan dalam pengaruh perubahan iklim.
Dia sama sekali tidak menyinggung faktor penyebab bencana di Sumatera akibat pembukaan lahan serta penebangan kayu. Padahal, banyak kayu ukuran besar di lokasi-lokasi bencana terbawa banjir dari hulu.
Eko Teguh Paripurno, Pakar Manajemen Kebencanaan Geologi UPN Yogyakarta, bilang, seharusnya pemerintah mencari pihak yang bertanggungjawab atas bencana itu. Dalam hal ini, bisa dengan pendekatan disaster forensic.
“Sebab, tidak bisa membiarkan seolah-olah yang bersalah itu hujan atau iklim,” ucapnya saat Mongabay hubungi, Rabu (3/12/25).
Teknik ini, katanya, mudah. Namun, tergantung kemauan politik. Sebab, bisa saja yang melakukan yang terlibat dengan pelaku.
Salah satu pengujiannya, melihat atau mengidentifikasi DAS serta lokasi banjir untuk mencari tahu hulu dan hilirnya. Kemudian, mengidentifikasi serta mengukur volume air juga endapan sedimentasi.
Dia bilang, kondisi tanah yang baik akan menjaga aliran air permukaan, sehingga tidak ada sedimen yang terbawa. Adanya sedimen, maka kualitas DAS buruk atau rentan.
“Secara alami tidak ada DAS yang buruk atau Rentan kalau tidak kita rentankan. Banjir dan longsor terjadi karena pembangunan yang merentankan DAS.”

Tetapkan bencana nasional!
Koalisi Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB), gabungan dari 15 organisasi non-pemerintah yang fokus pada isu lingkungan dan HAM di pulau Sumatera, mendesak pemerintah menetapkan status bencana nasional di tiga provinsi di Sumatera. Penetapan status bencana ini, katanya, mempercepat penanganan korban dan menanggulangi dampak banjir dan longsor.
Mereka prihatin atas tanggapan pemerintah terkait bencana yang memakan banyak korban itu.
Ali Akbar, Konsolidator STuEB, menyebut, negara tidak berniat menyelamatkan rakyat.
“Sebuah keputusan yang sangat buruk dari pemerintahan Prabowo Subianto mengingat pemerintah daerah juga sepertinya gelagapan menghadapi situasi,” ungkapnya, Kamis (4/12/25).
Sementara meski pemerintah daerah sudah menetapkan status tanggap darurat, penanganan terhadap korban bencana sangat lambat.
Pemerintah, katanya, terkesan gagap menangani bencana ekologis. mirisnya, anggaran penanggulangan bencana di BNPB pun tidak lebih dari Rp1 triliun tahun 2025.
“Bahkan pengurangan anggaran dari Rp1,4 triliun menjadi Rp956,6 miliar, artinya terjadi pengurangan sebesar Rp470 miliar.”
Aji Surya, Staff Yayasan Srikandi Lestari, mengatakan, kerusakan sejumlah infrastruktur jalan menyulitkan keterjangkauan dan penyaluran pertolongan bagi korban, terutama di daerah terpencil yang menjadi korban longsor. Pemerintah pun lamban menangani dan menyalurkan bantuan.
“Mereka harus menempuh perjalanan berjam-jam menggunakan perahu untuk dapat menerima bantuan pangan dari luar,” kata Aji.
Masifnya kerusakan infrastruktur akibat longsor dan banjir ini perlu pemerintah Pusat respons dengan menetapkannya sebagai status bencana nasional.

Syukur Tadu, Direktur APEL Green Aceh, mengatakan, bencana besar yang terjadi di Aceh, Sumut, dan Sumbar merupakan bencana ekologis karena kerusakan lingkungan hidup. Dia bilang, korban terus bertambah, ratusan masih hilang, dan kondisi lapangan sangat memprihatinkan.
“Tidak ada alasan apapun lagi dari pemerintah untuk menunda. Penetapan bencana nasional adalah langkah minimum agar respons kemanusiaan dapat berjalan cepat dan terkoordinasi,” katanya.
Analisis STuEB, ratusan ribu hektar hutan hilang dari Sumut, Sumbar, dan Aceh dalam dua dekade terakhir. Sebagian besar terjadi di wilayah yang memiliki tingkat tekanan tinggi terhadap tutupan pohon.
Aceh kehilangan 320.000 hektar hutan primer basah sepanjang 2002-2024. Wilayah dengan laju kehilangan tutupan pohon tertinggi yaitu Nagan Raya 97.000 hektar, Aceh Timur 93.000 hektar, Aceh Singkil 73.000 hektar, Aceh Barat 70.000 hektar, Aceh Utara 59.000 hektar.
Sumut, kehilangan 390.000 hektar hutan primer basah. Sepanjang 2001-2024, provinsi ini kehilangan 1,6 juta hektar tutupan hutan. Dengan enam kabupaten terluas kehilangan tutupan pohon Mandailing Natal 170.000 hektar, lalu, Labuhanbatu Selatan 160.000 hektar, Asahan 130.000 hektar, Langkat 130.000 hektar, Padang Lawas 120.000 hektar, dan Labuhanbatu 120.000 hektar.
Sementara Sumbar, kehilangan 320.000 hektar hutan primer basah. Sepanjang 2001-2024, provinsi ini kehilangan 740.000 hektar tutupan pohon, terutama di tiga kabupaten dengan angka tertinggi, Dharmasraya 150.000 hektar, Pesisir Selatan 140.000 hektar, Pasaman Barat 120.000 hektar.
Hilangnya tutupan hutan inilah yang menyebabkan tanah kehilangan daya serap air, lereng bukit menjadi rentan longsor, daerah resapan menyusut drastis, dan DAS berubah menjadi saluran air instan. Kondisi ini menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor semakin parah.
Aldi Ferdian, Manajer Kampanye Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH) Aceh, mengatakan, banjir yang membawa material kayu gelondongan mengindikasikan adanya korelasi kuat dengan kerusakan lingkungan. Saat yang sama, data menunjukkan Aceh kehilangan tutupan hutan secara signifikan.
Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) mencatat adanya peningkatan deforestasi sebesar 19% dari 8.906 hektar pada 2023 menjadi 10.610 hektar pada 2024.
“Ini menunjukkan lemahnya penegakan Qanun Aceh tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan pengawasan terhadap praktik deforestasi, termasuk kegiatan ilegal seperti penambangan emas tanpa izin atau Peti dan ekspansi perkebunan yang berkontribusi langsung pada tingginya angka korban dan kerugian.”
Diki Rafiki, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, menilai, berdasarkan UU 24/2007, PP 21/2008 dan Perpres 17/2018, penetapan bencana nasional bila korban jiwa dalam jumlah besar, kerugian material signifikan, dan wilayah terdampak luas dan lintas daerah serta pelayanan publik dan pemerintahan terganggu.
“Bencana yang terjadi di Sumatera sudah memenuhi semua indikator ini maka segera tetapkan status bencana nasional.”

*****