- Kasus kriminalisasi masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan terus terjadi. Salah satunya, masyarakat adat Maba Sangaji di Halmahera Timur, Maluku Utara.
- Konflik bermula saat aktivitas tambang nikel merusak hutan dan sungai tanpa persetujuan masyarakat. Padahal selama ini mereka menjaga wilayah adat secara temurun.
- Masyarakat Maba Sangaji masuk ke hutan untuk bertani sekaligus melakukan ritual adat. Ini sebagai bentuk protes namun berujung kriminalisasi. Sebelas warga dijerat hukum karena dianggap menghambat investasi.
- Dari balik jeruji besi hingga dapur, perlawanan Maba Sangaji tetap berjalan. Para tahanan menulis surat, sementara para perempuan berdaya dengan mengelola pangan lokal untuk ketahanan ekonomi keluarga.
Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.
Sejak akhir 2024, tanah dan hutan masyarakat adat Maba Sangaji di Halmahera Timur, Maluku Utara mulai terusik pertambangan nikel. Saat perusahaan datang, sungai tercemar, hutan dan kebun rusak. Mereka tak lantas diam, mereka terus memperjuangkan hutan yang mereka jaga secara turun temurun tapi malahan dikriminalisasi negara.
Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan memvonis bersalah pada 11 masyarakat adat Maba Sangaji pada Oktober lalu. Mereka dinyatakan bersalah karena menghalangi aktivitas tambang nikel PT Position.
Awal mula perjuangan mereka saat perusahaan beraktivitas di hutan dan kebun warga. Hutan pala, kayu damar, kayu besi dan kenari dirusak tanpa persetujuan warga. Meski mereka menolak, perusahaan tetap beroperasi. Padahal hutan menjadi sumber kehidupan dan menjadi identitas adat.
Pada Mei lalu, keberadaan warga di hutan untuk melakukan ritual adat. Ada tetua yang mengenakan pakaian adat, sebagai bentuk protes atas kerusakan kebun, sungai, hingga hutan adat akibat aktivitas tambang. Mereka meminta penjelasan terkait aktivitas perusahaan dan mendesak penghentian proyek.
Sayangnya, masyarakat malahan dicap oleh polisi sebagai preman yang meresahkan masyarakat dan investasi. Padahal ini menjadi upaya perjuangan melindungi wilayah adat. Berikut lima hal yang perlu kamu tahu tentang kriminalisasi masyarakat adat Maba Sangaji dalam memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan:
-
Hutan adat Maba Sangaji

Sejak ratusan tahun lalu, hutan adat di Halmahera Timur menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Maba Sangaji. Itu menjadi ruang untuk mereka melakukan ritual adat, berkebun, mencari ikan dan bersosialisasi. Mereka sangat menghormati tanah peninggalan para leluhur. Bukan tanpa alasan, mereka menjaga hutan adat agar identitas yang telah tertanam tidak hilang begitu saja.
Namun, situasi ini berubah sejak PT Position mengusik tanah adat mereka. Sejak 2024, warga Maba Sangaji terus berusaha memperjuangkan ruang hidup dan hak-hak asasi mereka.
Selama ini, mereka bertani pala, sagu, kayu damar, kayu besi dan kenari. Tapi kini, aktivitas perusahaan membuat Sungai Sangaji tercemar. Sungai induk yang telah menghidupi warga sering meluap akibat hutan perbukitan hilang dan bekas lubang-lubang di sekitar sungai. Sehingga merendam kebun-kebun warga.
Hingga kini mereka tak hanya diam, mereka terus melawan.
-
Bentuk perlawanan warga hingga kriminalisasi

Pada Mei 2025 masyarakat melakukan ritual adat sebagai bentuk protes terhadap perusahaan nikel yang menyerobot tanah adat mereka. Warga melakukan ritual atas dasar perjuangan dalam mengambil hak ruang hidup mereka kembali. Namun, aksi protes berujung tegang.
Polisi datang dengan menuduh 27 warga dan 11 ditetapkan sebagai tersangka karena dinilai menghalangi aktivitas tambang. Aksi tersebut dinilai premanisme yang meresahkan masyarakat.
Bambang Suharyono selaku Kabid Humas Polda Malut dalam siaran pers menuduh warga membawa senjata tajam dan kunci alat berat perusahaan. Padahal senjata tajam itu bukan untuk melawan tapi alat untuk berladang dan bertahan hidup selama di hutan.
Saat proses pemeriksaan, mereka pun mengalami penganiayaan dan kekerasan. Aksi untuk desakan membebaskan warga akibat kriminalisasi dalam mempertahankan ruang hidupnya pun terus bergulir.
Sayangnya, Oktober lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Soasio memvonis 11 warga untuk menjalani masa penjara selama 5 bulan 8 hari. Hakim menyatakan mereka bersalah telah menghalangi aktivitas pertambangan.
Perlawanan dan perjuangan Maba Sangaji semakin membara. Salah satu pemuda mengatakan bahwa inilah kriminalisasi negara terhadap masyarakat adat yang mempertahankan ruang hidupnya. Kasus ini menjadi catatan buruk dalam perlawanan terhadap industri nikel.
Baca juga: Mereka yang menjaga, tapi mereka yang tersingkir dari hutannya
-
Intimidasi oleh aparat penegak hukum

Polisi melabeli masyarakat Maba Sangaji sebagai preman. Label itu disematkan karena aktivitas warga Maba Sangaji yang menolak aktivitas tambang nikel. Narasi ini dibentuk seakan-akan ingin menyingkirkan warga Maba Sangaji dengan menggiring opini publik.
Para aparat menyebut seolah-olah mereka adalah sampah masyarakat, musuh masyarakat, atau musuh negara. Padahal perlawanan ini memperjuangkan lingkungan, ruang hidup dan melindungi wilayah adat bukan malah merusak.
Sayangnya, mereka malahan menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia. Ada upaya intimidasi, perampasan tanah adat, kekerasan, bahkan penganiayaan kepada warga.
-
Suara tahanan Maba Sangaji

Perlawanan tak pernah padam, surat perlawanan dibuat di dalam penjara oleh beberapa warga Maba Sangaji. Surat tersebut ditulis tangan oleh 11 tahanan dari Rutan Jambula pada 29 Mei lalu. Ini menjadi bukti bahwa perlawanan mereka tak pernah padam untuk bersuara tentang hutan adat di Halmahera Timur.
Apalagi kerusakan lingkungan yang terjadi pun karena kebijakan pemerintah. Masyarakat adat hanya mendapatkan bayang-bayang janji manis yang mereka tawarkan di awal. Melalui suratnya, mereka juga menuntut adanya keadilan.
Penulis surat menyatakan bahwa mereka tidak akan tinggal diam ketika dibungkam. Para tahanan mengajak semua masyarakat untuk bersuara dalam mengambil kembali hak-hak yang telah dirampas oleh pemerintah maupun aparat penegak hukum.
Mereka menaruh harapan besar pada keadilan terhadap tanah adat mereka. Mereka ingin pemerintah dan aparat menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan mulai mendengarkan suara para pejuang lingkungan. Harapan mereka bukan hanya soal pembebasan dari jerat hukum, tapi juga pengakuan sebagai pejuang lingkungan yang sebenarnya menjaga sumber kehidupan bersama.
Baca juga: Menanti keadilan 11 warga Maba Sangaji yang menjaga hutan dari nikel
-
Melawan dari dapur

Solidaritas perjuangan Maba Sangaji masih terus terjadi hingga hari ini. Setelah 11 suami mereka ditangkap, para perempuan membangun upaya perlawanan dari dapur. Mereka mengolah sagu dan membuat minyak kelapa untuk bertahan hidup.
Sayangnya kerusakan sungai berdampak pada budaya pengolahan mereka. Dulu, di pinggir sungai dan dekat kebun, mereka bisa menumbuk batang sagu hingga menghasilkan tepung halus. Sayangnya, Sungai Sangaji kini tak lagi jernih dan berlumpur tambang. Kini untuk mengolahnya butuh biaya besar karena harus sewa orang untuk membawanya ke daratan.
“Kelompok Perjuangan Perempuan Maba” menjadi simbol perlawanan ekonomi dari dapur yang menolak tunduk pada tambang yang merusak hutan dan sungai mereka. Inisiatif sederhana ini sebagai upaya bertahan hidup, sebab para tulang punggung keluarga dikriminalisasi akibat memperjuangkan lingkungan.
(*****)
*Nastiti Kris Saputri meruakan mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Nasti pernah bergabung bersama dengan pers mahasiswa Teras Pers. Dia sangat senang mencoba hal baru karena menjadi tantangan tersendiri untuknya.