- Di COP30, AMAN dan jaringan masyarakat adat menolak pendekatan business as usual yang selama ini berkedok solusi iklim. Menurutnya, banyak kebijakan justru menjadi ancaman baru. Seperti pasar karbon dan sejumlah proyek transisi energi.
- Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), bilang ebijakan itu kerap menargetkan hutan-hutan adat yang telah masyarakat jaga turun-temurun. Secara khusus dia beri contoh kasus tambang nikel di Halmahera, Maluku Utara, serta pembangunan pembangkit listrik panas bumi di Poco Leok, Nusa Tenggara Timur.
- Eustobio Rero Renggi, Deputi I Sekretaris Jenderal AMAN, menyebut, perhelatan COP30 harus jadi titik balik bagi Indonesia dalam menyelesaikan konflik agraria yang selama ini jadi sumber krisis ekologi. Perampasan wilayah adat, penggusuran hutan, serta kriminalisasi terhadap pembela hak-hak adat adalah satu penyumbang signifikan emisi Indonesia.
- Ajang COP30 juga jadi momentum menghentikan kriminalisasi masyarakat adat. Salah satu penyelesaiannya dengan menghentikan izin yang tumpang tindih dengan kawasan adat.
Sungai Amazon, Brasil, riuh karena 200 perahu dari 60 negara melintasinya saat perhelatan COP30 di Belém, 12 November. Saat itu, iring-iringan pimpinan Rainbow Warrior, kapal milik Greenpeace, itu menyerukan penghetian kekerasan terhadap masyarakat adat.
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Fransiska Rosari Clarita You, perwakilan muda dari wilayah adat Papua, ada di tengah 5.000 kepala yang mengikuti aksi.
Dalam momentum itu, Rukka menyerukan pentingnya menempatkan suara masyarakat adat sebagai fondasi keputusan iklim global.
Di COP30, AMAN dan jaringan masyarakat adat menolak pendekatan business as usual yang selama ini berkedok solusi iklim. Menurut dia, banyak kebijakan justru menjadi ancaman baru. Seperti pasar karbon dan sejumlah proyek transisi energi.
Kebijakan itu kerap menargetkan hutan-hutan adat yang telah masyarakat jaga turun-temurun. Secara khusus dia beri contoh kasus tambang nikel di Halmahera, Maluku Utara, serta pembangunan pembangkit listrik panas bumi di Poco Leok, Nusa Tenggara Timur.
“Hutan terbaik kita rusak atas nama transisi energi. Wilayah adat yang masih terjaga seharusnya dilindungi dan tidak boleh menjadi sasaran proyek-proyek yang merusak alam,” katanya dari Belém pada Mongabay, Selasa (18/11/25).
Masyarakat adat, katanya, mampu menjaga bumi, tapi tidak bisa bekerja sendirian. “Kami bisa merawat dan memulihkan wilayah adat, tetapi menjaga planet ini butuh kerja bersama. Ini rumah kita semua!”
Untuk Indonesia, dia apresiasi komitmen pemerintah mengembalikan 1,4 juta hektar wilayah adat. Namun, langkah itu baru permulaan, karena pemerintah telah terima peta wilayah adat mencapai 33 juta hektar, 60% di antaranya berada di kawasan hutan.
Jadi, angka 1,4 juta hektar masih kecil ketimbang yang sudah terdokumentasi.
“Tapi ini langkah pertama yang harus diwujudkan, bukan hanya janji dalam forum COP.”
Selain itu, perlindungan hukum juga jadi kunci. Karenanya, dia mendorong kembali percepatan pengesahan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang telah masuk pembahasan sejak 2009 tapi mandek di DPR.
“Kalau negara sungguh ingin melindungi masyarakat adat, sahkan dulu RUU Masyarakat Adat. Kami sudah menunggu lebih dari 10 tahun.”
Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.

Titik balik komitmen Indonesia
Eustobio Rero Renggi, Deputi I Sekretaris Jenderal AMAN, menyebut, perhelatan COP30 harus jadi titik balik bagi Indonesia dalam menyelesaikan konflik agraria yang selama ini jadi sumber krisis ekologi.
Perampasan wilayah adat, penggusuran hutan, dan kriminalisasi terhadap pembela hak-hak adat adalah satu penyumbang signifikan emisi Indonesia.
“COP30 adalah momen di mana Indonesia tidak bisa lagi menyembunyikan masalah domestik di balik jargon hijau,” katanya dari Belém, Senin (17/11/25).
Menurut dia, pemerintah harus hadir dengan komitmen terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Setidaknya, ada tiga langkah wajib, yakni, percepatan pengakuan wilayah adat, moratorium penuh penerbitan izin wilayah adat hingga seluruh konflik selesai, serta memasukkan perlindungan wilayah adat secara eksplisit dalam NDC.
“Di hadapan dunia, Indonesia tidak cukup hanya menyampaikan capaian angka emisi. Yang dibutuhkan adalah komitmen untuk menuntaskan akar persoalan, yakni ketidakadilan struktural terhadap hak-hak masyarakat adat.”
Di ajang COP30, dia menuntut negosiator Indonesia benar-benar membawa mandat politik yang berpihak pada perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat. Bukan sekadar menjaga kepentingan elit ekonomi.
Mereka, katanya, tidak boleh hanya datang sebagai juru bicara kementerian, tetapi pembela hak rakyat sendiri. Jika gagal mendorong perlindungan masyarakat adat, maka kawasan hutan dan masa depan masyarakat adat kian terancam.
“Jika COP30 gagal mendorong perlindungan yang tegas, kita akan berhadapan dengan ekspansi industri ekstraktif yang lebih brutal.”

Hentikan kriminalisasi
Ajang COP30 juga jadi momentum menghentikan kriminalisasi masyarakat adat. Salah satu penyelesaiannya dengan menghentikan izin yang tumpang tindih dengan kawasan adat.
AMAN setidaknya telah petakan 33,6 juta hektar wilayah adat. Dari situ, 6 juta hektar di antaranya tumpang tindih dengan konsesi kebun kayu. Lalu 1,6 juta hektar bersinggungan dengan izin eksplorasi dan eksploitasi migas, serta 0,9 juta hektar berbenturan dengan konsesi pertambangan.
Rukka bilang, masyarakat adat O’Hangana Manyawa di Pulau Halmahera, Maluku Utara, jadi salah satu korban. Ada 65.404 hektar wIlayah adat mereka yang seluas 434.071 hektar tumpang tindih dengan konsesi pertambangan.
Catatan akhir tahun 2024 AMAN, dalam satu dekade, terdapat 687 konflik agraria dengan 11,07 juta hektar wilayah adat terdampak.
Konflik juga terjadi pada Masyarakat Adat Maba Sangaji di Halmahera Timur, Maluku Utara. Sebelas warga Maba Sangaji pengadilan vonis penjara lima bulan delapan hari oleh karena dianggap “menghalangi aktivitas pertambangan” nikel oleh PT Position.
Padahal, perusahaan menambang nikel di hutan adat Maba Sangaji, yang menyebabkan pembabatan hutan adat sekitar 700 hektar.
Di Poco Leok, masyarakat adat harus berhadapan dengan proyek panas bumi. Warga menolak rencana perluasan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu karena khawatir ancaman terhadap hutan, sumber air, lahan pertanian, hingga situs-situ adat.
Penolakan itu berujung tindakan represif mulai dari intimidasi, pelaporan pidana terhadap pemuda adat, hingga pecahnya relasi sosial antar warga karena perbedaan sikap terhadap proyek itu.
Di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, sekitar 19 warga adat terus menghadapi tekanan hukum karena penetapan zonasi Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) yang mereka nilai tak menghormati klaim adat dan hak tradisional.
Konflik ini, merupakan bagian dari pola kriminalisasi sistemik terhadap masyarakat adat. Sisi lain, masyarakat adat Togean telah mendiami wilayah itu sejak abad 18, jauh sebelum status taman nasional.
“AMAN mendesak negara untuk segera mengakhiri praktik kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat!” seru Rukka.

Ancaman baru label ‘hijau’
Masyarakat adat juga tengah terancam istilah baru seperti perdagangan karbon, ekonomi hijau, energi hijau, transisi energi berkeadilan dan green jobs.
Alih-alih membawa kesejahteraan, istilah itu menurut Rukka menjadi ancaman baru masyarakat adat.
“Masyarakat Adat kini malah menghadapi stigma dan diskriminasi akibat proyek-proyek yang mengatasnamakan energi hijau.”
Misal, demam nikel untuk mendukung produksi baterai kendaraan listrik telah meresahkan komunitas adat di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Di Desa Torobulu, PT Wijaya Inti Nusantara (WIN) melaporkan 32 warga dengan tuduhan menghalangi aktivitas penambangan.
Warga menolak tambang karena posisi lubang galian semakin dekat dengan pemukiman, serta sumber mata air mereka, yang kemudian tercemar lumpur tambang.
Lalu, proyek hijau berwujud PLTA Batang Toru di Tapanuli, Sumatera Utara. Proyek ini pemerintah gadang sebagai proyek energi terbarukan dengan klaim ramah lingkungan. Namun, di lapangan, justru menuai penolakan dari masyarakat adat dan warga yang tinggal di sepanjang Sungai Batang Toru.
Pembangunan terowongan dan bendungan air mengancam kawasan hutan yang jadi ruang hidup masyarakat. Juga, memutus akses ke lahan pertanian dan sumber air bersih yang selama puluhan tahun menopang ekonomi keluarga.
Proyek ini juga mengancam orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies orangutan paling langka di dunia yang hanya tersisa sekitar 800 individu dan seluruh populasinya berada di bentang alam Batang Toru.
Pembangunan infrastruktur PLTA, jalan tambang, hingga terowongan proyek memecah habitat orangutan. Pembiaran akan meningkatkan risiko konflik satwa–manusia serta mengganggu jalur jelajah dan reproduksi spesies yang sudah terancam punah ini.
COP30, kata Rukka, harusnya jadi momentum cegah laju ancaman-ancaman itu. Belum sahnya RUU Masyarakat Adat menambah runyam kondisi, praktik kekerasan, kriminalisasi, dan perampasan tanah akan terus komunitas adat alami di tengah ancaman label ‘hijau’ ini.
“Praktik-praktik tersebut harus segera dihentikan dan pemerintah Indonesia wajib menunjukkan komitmen nyata untuk memastikan hal itu (pengesahan RUU Masyarakat Adat) terwujud.”

*****