- Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Regional Sumatera, mendesak pemerintah pusat dan daerah segera memberlakukan moratorium izin tambang di seluruh Pulau Sumatera.
- Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sekitar sepertiga cadangan batubara nasional, setara 11.866,66 juta ton (37,34 persen), berada di Sumatera. Namun, kekayaan itu justru menghadirkan krisis ekologis dan meningkatkan konflik sosial di tingkat lokal.
- Data Dinas ESDM Aceh per Juni 2025 menunjukkan, 64 izin IUP masih aktif, terdiri 28 izin operasi produksi dan 36 izin eksplorasi. Sebagian besar, tidak menunjukkan aktivitas nyata di lapangan. GeRAK mencatat, fenomena “IUP mangkrak” sudah berlangsung sejak 2014.
- Praktik koruptif penerbitan izin cenderung meningkat menjelang pergantian kepala daerah. Berdasarkan data GeRAK dan Pansus Tambang DPRA 2024, jumlah IUP baru selalu melonjak menjelang akhir masa jabatan gubernur.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Regional Sumatera, mendesak pemerintah pusat dan daerah segera memberlakukan moratorium izin tambang di seluruh Pulau Sumatera.
Desakan disampaikan dalam diskusi media bertajuk “Urgensi Moratorium Izin Tambang: Mendorong Perbaikan Pengawasan Tata Kelola Tambang Minerba dan Penertiban Tambang Ilegal di Pulau Sumatera” di Banda Aceh, Rabu (29/10/2025).
Menurut koalisi, Sumatera merupakan wilayah kaya sumber daya alam, terutama batubara. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sekitar sepertiga cadangan batubara nasional, setara 11.866,66 juta ton (37,34 persen), berada di Sumatera. Namun, kekayaan itu justru menghadirkan krisis ekologis dan meningkatkan konflik sosial di tingkat lokal.
Munawir, Anggota Badan Pekerja MaTA Aceh, menyoroti kegagalan pertambangan dalam memberikan kontribusi fiskal signifikan.
“Banyak perusahaan tidak patuh membayar pajak, sementara kerugian ekologis masif. Moratorium dan evaluasi seluruh izin usaha pertambangan (IUP) bukan pilihan, tapi kewajiban untuk menghentikan pelanggaran dan memastikan keadilan bagi masyarakat Aceh.”

Fernan, Kepala Divisi Kebijakan Publik Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, menyebutkan tata kelola pertambangan mineral dan batubara (minerba) di Aceh masih jauh dari prinsip transparansi dan akuntabilitas.
“Ada IUP berstatus operasi produksi, tapi tidak ada kegiatan sama sekali. Ini pelanggaran hukum dan berpotensi merugikan negara.”
Data Dinas ESDM Aceh per Juni 2025 menunjukkan, 64 izin IUP masih aktif, terdiri 28 izin operasi produksi dan 36 izin eksplorasi. Sebagian besar, tidak menunjukkan aktivitas nyata di lapangan. GeRAK mencatat, fenomena “IUP mangkrak” sudah berlangsung sejak 2014.
“Izin tambang sering dijadikan instrumen transaksi keuangan, seperti jaminan pendanaan atau peningkatan nilai saham tanpa kegiatan produksi. Bukan alat produksi sumber daya.”
Praktik koruptif penerbitan izin cenderung meningkat menjelang pergantian kepala daerah. Berdasarkan data GeRAK dan Pansus Tambang DPRA 2024, jumlah IUP baru selalu melonjak menjelang akhir masa jabatan gubernur.
Periode Gubernur Aceh Zaini Abdullah (2012–2017) diterbitkan empat IUP baru, meningkat menjadi tujuh pada masa Irwandi Yusuf (2017–2018). Era Nova Iriansyah (2018–2022), jumlahnya naik menjadi 10 IUP. Di masa Pj Gubernur Ahmad Marzuki (2022–2024) terbit 12 izin baru, dan Pj Gubernur Bustami Hamzah pada 2024, sudah ada sembilan IUP tambahan.
“Polanya jelas, setiap menjelang pilkada atau pergantian kepala daerah, izin tambang tiba-tiba banyak keluar. Prosesnya cepat, tidak transparan, dan rawan penyalahgunaan,” kata Fernan.
Kontribusi tambang terhadap pendapatan daerah juga rendah. Tarif PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) untuk lahan tambang hanya US$2 per hektar, sementara royalti mineral berkisar 4–7 persen. Padahal, dampak sosial dan lingkungan jauh lebih besar.
Situasi kian memburuk karena pemotongan DBH (Dana Bagi Hasil) Minerba. Tahun anggaran 2026, DBH Aceh turun 58 persen menjadi Rp25,43 miliar. Kabupaten penghasil tambang seperti Aceh Barat dan Nagan Raya mengalami penurunan tajam hingga lebih dari separuh.
“Pemerintah daerah menanggung beban besar kerusakan tambang, tapi penerimaannya terus menurun. Ini tidak sejalan dengan prinsip keadilan desentralisasi.”

Krisis lingkungan
Ahlul Fadl, Manajer Kampanye Pengarusutamaan Keadilan Iklim Walhi Riau, mengatakan moratorium nasional dan daerah diperlukan untuk melawan hegemoni korporasi. Izin sering diberikan tanpa keadilan, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
“Moratorium harus berbasis audit hukum, lingkungan, dan sosial, agar dapat mengungkap praktik pelanggaran seperti konflik lahan dan kerusakan ekosistem.”
Pandangan senada disampaikan Muhammad Herwan, Wakil Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR). Kekayaan sumber daya alam justru memperdalam kemiskinan.
“Moratorium adalah titik balik pengelolaan yang efisien dan berkelanjutan. Pengawasan ketat, reklamasi pasca-tambang, serta penegakan hukum harus dilakukan.”
Erwin Basrin, Direktur Aliansi Konservasi dan Rakyat (Akar) Bengkulu, menilai aktivitas tambang telah menunjukkan kegagalan pemerintah dalam melindungi lingkungan dan masyarakat adat.
“Tambang merusak lingkungan dan merampas hak masyarakat adat. Moratorium bukan pilihan, tapi keharusan etis dan konstitusional untuk memastikan keadilan.”
Menurut Erwin, pemerintah harus segera mencabut izin-izin bermasalah dan menghentikan penerbitan izin baru. “Pastikan proses reklamasi pasca-tambang dilakukan bertanggung jawab.”
Koalisi menegaskan, moratorium izin tambang adalah langkah awal menuju reformasi tata kelola sumber daya alam di Sumatera. Masyarakat sipil harus dilibatkan dalam proses evaluasi dan transparansi data, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran pertambangan ilegal di berbagai provinsi di Sumatera harus dilakukan.
*****