- Masyarakat sipil ramai-ramai kritik dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) sudah pemerintah serahkan pada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC), 27 Oktober. Menurut mereka, komitmen iklim itu terlalu teknis dan tidak memiliki target ambisius.
- Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, menyebut, dokumen SNDC justru lebih ambisius ketimbang ENDC. Angka penurunan emisi untuk tahun 2030 menjadi 1,3 Gt CO2e untuk pertumbuhan ekonomi rendah (low ambition), dan jadi 1,4 Gt CO2e untuk pertumbuhan ekonomi tinggi (high ambition). Angka ini, katanya, lebih ambisius dari ENDC yang hanya mampu turunkan emisi jadi 1,6 Gt CO2e dengan dukungan internasional atau 1,7 Gt CO2e dengan usaha sendiri.
- Fanny Tri Jambore Christanto, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menilai, SNDC terlalu teknis. Dokumen itu, menurutnya, banyak memuat istilah teknis yang tidak umum bagi masyarakat luas.
- Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menyebut, dengan dua skenario tersebut, total emisi Indonesia justru proyeksi naik pada 2030.
Organisasi masyarakat sipil ramai-ramai mengkritik dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang sudah pemerintah serahkan pada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC), 27 Oktober lalu. Berbagai kalangan menilai, komitmen iklim terlalu teknis dan tidak memiliki target ambisius.
Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup menyebut, dokumen SNDC justru lebih ambisius ketimbang ENDC, karena mandat dari Dubai Climate Pact.
Pemerintah pun, katanya, menyentuh kembali dokumen Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience Compatible with Paris Agreement.
Kemudian, menentukan angka penurunan emisi untuk tahun 2030 menjadi 1,3 Gt CO2e untuk pertumbuhan ekonomi rendah (low ambition), dan jadi 1,4 Gt CO2e untuk pertumbuhan ekonomi tinggi (high ambition).
Angka ini, katanya, lebih ambisius dari ENDC yang hanya mampu turunkan emisi jadi 1,6 Gt CO2e dengan dukungan internasional atau 1,7 Gt CO2e dengan usaha sendiri.
Pemerintah sendiri memproyeksikan emisi Business As Usual (BAU) tahun 2030 mencapai 2,8 Gt CO2e.
“Kalau kita lihat angkanya, maka angka ini cukup ambisius meskipun belum memenuhi Dubai Climate Pact atau Global Stocktake,” ucapnya di Jakarta, 28 Oktober.
Dokumen SNDC, katanya, belum menyatakan Indonesia mencapai puncak emisi di 2035, terutama sektor energi yang baru akan capai puncak emisi pada 2038. Namun, ada penguatan sektor penyerapan di Forest and others Land Use (FoLU).
“Jadi FoLU diproyeksikan di tahun 2035 harus mampu -2,06 juta ton CO2e. Artinya harus ada kegiatan reforestasi yang lebih tinggi daripada deforestasinya.”

Kritik masyarakat sipil
Fanny Tri Jambore Christanto, dari Walhi) Nasional menilai, SNDC terlalu teknis. Dokumen itu, banyak memuat istilah teknis yang tidak umum bagi masyarakat luas.
Dia contohkan, seperti Gg CO2e (Gigagram Karbon Dioksida Ekuivalen)–satuan untuk mengukur emisi gas rumah kaca secara keseluruhan). Juga, LCCP_L (low carbon scenario compatible with paris agreement target atau skenario rendah karbon yang sesuai dengan target Perjanjian Paris).
“Jika tidak disertai dengan versi yang mudah dipahami publik, akan menyebabkan rendahnya pemahaman publik,” katanya, kepada Mongabay, Selasa (4/11/25).
Kesulitan memahami SNDC, katanya, bisa membuat masyarakat minim partisipasi dan pengawasan terhadap kebijakan komitmen iklim yang pemerintah jalankan.
Tanpa keterlibatan publik, menurutnya, pemerintah berpotensi memanipulasi kebijakan iklim.
“Manipulasi narasi dari pemerintah, di mana pemerintah bisa mengklaim bahwa SNDC punya ‘ambisi tinggi’ padahal targetnya kurang ambisius. Pun begitu dengan penundaan puncak emisi yang tidak dipahami oleh publik.”
Cindy Julianty, Koordinator Eksekutif WGII (Working Group ICCAs Indonesia), mengkritik proses penyusunan dokumen SNDC yang minim pelibatan publik.
Menurut dia, konsultasi publik 23 Oktober lalu yang seharusnya jadi ruang partisipatif justru berlangsung tanpa keterbukaan dokumen.
“Naskah lengkap SNDC tidak dibagikan kepada seluruh peserta konsultasi, sehingga masukan substantif tidak dapat diberikan secara memadai,” katanya.
Pantauan Mongabay, konsultasi publik secara hybrid dan peserta yang hadir terbatas. Sementara itu, kendala teknis terjadi hampir sepanjang acara, peserta daring mengeluhkan suara kecil sehingga tidak dapat mengikuti paparan secara maksimal.
Penyerahan dokumen SNDC hanya berselang empat hari setelah konsultasi publik. Menurutnya, proses konsultasi publik itu hanya sekadar pemenuhan kewajiban administrasi negara saja.
“Bukan upaya memperkuat kualitas kebijakan iklim nasional yang inklusif dan berbasis partisipasi.”
Boy Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, mengatakan, pembahasan dokumen SNDC terkesan tertutup, sehingga tak mampu menjawab persoalan krisis iklim secara struktural dan sistematis.
Prinsip keadilan iklim, katanya, belum tercermin dalam proses maupun substansi SNDC. “Sudah saatnya kembali ke rakyat untuk merumuskan aksi adaptasi dan mitigasi iklim berbasis keadilan, sehingga Indonesia bukan hanya berkontribusi, tetapi memimpin aksi iklim global,” ujarnya.

Ubah target, tak ambisius, emisi akan terus naik?
Pemerintah mengubah metode target dalam dokumen SNDC. Tak lagi menggunakan target penurunan emisi dari skenario BAU dalam bentuk persentase, melainkan langsung sebut total GRK yang pemerintah targetkan.
Metodenya penghitungannya menggunakan pendekatan LCCP yang menyesuaikan proyeksi iklim dengan pembangunan rendah karbon sesuai target Perjanjian Paris.
Skenario LCCP-L (skenario rendah) dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 6,0% pada 2030 dan 6,7% pada 2035.
Batas emisinya 1.345 juta ton CO2e. Skenario kedua, LCCP_H (skenario tinggi) dengan asumsi pertumbuhan ekonomi mencapai 8% pada 2029, target emisinya 1.491 juta ton CO2e.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menyebut, dengan dua skenario itu, total emisi Indonesia justru proyeksi naik pada 2030.
Dalam skenario LCCP-H, misal, jumlah emisi bersih (net emission) pada 2035 sekitar 1.489 juta ton CO2e,. Angka ini dengan asumsi sektor FoLU berhasil menyerap emisi lebih banyak.
Tanpa bantuan hutan dan lahan untuk menyerap karbon, total emisi sebenarnya (gross emission) bakal jauh lebih tinggi menjadi 1.696 juta ton CO2e dalam periode yang sama.
Dia bilang, skenario pertumbuhan ekonomi 8% masih sangat tinggi karbon. Pemerintah, katanya, menargetkan penyerapan sektor FoLU sangat besar, mencapai -207 juta ton CO2e pada 2035.
“Itu menggantikan upaya mitigasi emisi di sektor energi,” ujar Fabby dalam keterangan tertulis.
Jadi dengan skenario ini, emisi nasional masih akan terus meningkat sampai 2035, baru menurun tajam menuju 2060.
“Artinya, upaya nyata penurunan emisi baru akan dimulai setelah 2035, bukan dalam dekade ini.”
Menurut dia, penundaan penurunan emisi pasca 2035, tidak efisien dan akan membutuhkan ongkos lebih mahal di masa depan. Juga berisiko gagal memenuhi target Persetujuan Paris menahan laju pemanasan global di bawah 1,5°C.
“Menurut kajian Climate Action Tracker (CAT), agar selaras dengan jalur 1,5°C, emisi Indonesia pada 2035 seharusnya sekitar 720 juta ton CO2e (di luar sektor FOLU),” ujarnya.
Skenario LCCP_H, emisi bersih nasional masih dua kali lipat lebih besar, yaitu 1.489 juta ton CO2e. Angka itu tidak lebih ambisius ketimbang target emisi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 sebesar 760 juta ton CO2e pada 2035.
“SNDC seharusnya mencerminkan tingkat ambisi tertinggi yang paling memungkinkan, sesuai Pasal 4 Persetujuan Paris.”
Fabby menilai, dokumen SNDC hanya mengubah metode pengukuran emisi tanpa terobosan aksi mitigasi yang signifikan.
SNDC masih mempertahankan pola lama, seperti mengandalkan penyerapan sektor FoLU sebagai strategi mitigasi utama, menunda puncak emisi sektor energi, dan menempatkan target yang relatif mudah dicapai.
Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, menilai, perubahan metode target menjadi berbasis tingkat emisi absolut jauh lebih konkret ketimbang target persentase dalam ENDC.
“Karena jelas targetnya dan tidak bisa dimain-mainkan. Persentase itu malah bisa dipermainkan karena targetnya tidak absolut, tergantung persentase berdasarkan tahun berapa. Sementara kalau ini, jelas hingga ke level mana harus turun,” katanya saat Mongabay hubungi.
Namun, Indonesia masih mengandalkan sektor FoLU dalam SNDC untuk menurunkan emisi karbon. Sementara sektor energi yang mestinya perlu turun lebih signifikan.
“Artinya Indonesia masih akan mengandalkan energi fosil hingga tahun 2035, cenderung mengandalkan off-set ke sektor hutan dan lahan.”
Hal ini memperlambat transisi energi. Sementara, katanya, IPCC menyebut tidak bisa lagi mengandalkan penggunaan hutan untuk penyerapan dan penghilangan karbon dioksida.
Semakin pemerintah menunda penurunan emisi dari sektor fosil, maka memperlama upaya stabilitas atmosfer. Justru membahayakan hutan dan ekosistem.

*****
Keraguan Para Pihak Melihat Komitmen Indonesia dalam NDC Kedua