- Krisis iklim menyebabkan intensitas kejadian cuaca ekstrem di berbagai wilayah Indonesia. Masyarakat adat dan kelas menengah hingga ekonomi rendah menghadapi dampak kesehatan, tekanan ekonomi dan sosial yang berat.
- Berbagai penelitian menyebutkan cuaca ekstrem dan bencana mendorong meningkatnya praktik pperkawinan anak. Salah satunya di wilayah pesisir dan daerah terdampak bencana.
- Tak hanya itu, situasi ini juga menggerus akses perempuan terhadap kesehatan reproduksi. Misalnya saat kesulitan air bersih dan gelombang panas yang memicu gangguan menstruasi, kesehatan perempuan hamil dan bayi yang baru lahir dan kelahiran prematur.
- Perubahan iklim juga meningkatkan beberapa penyakit seperti demam berdarah dan infeksi saluran pernafasan. Genangan air dan pola cuaca tak menentu membuat nyamuk berkembang lebih cepat dan agresif. Begitu juga, dampak polusi udara menyebabkan meningkatnya gangguan pernapasan (ISPA).
Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.
Cuaca ekstrem menjadi wajah nyata dari krisis iklim, musim kemarau panjang, intensitas hujan meningkat, badai, puting beliung, hingga kenaikan muka air laut. Tiap bencana terjadi, perempuan dan anak-anak memiliki kerentanan lebih tinggi. Tak hanya kerugian ekonomi, namun laporan PBB 2022 menyebut cuaca ekstrem bisa memberikan dampak sosial bagi masyarakat.
Bagi perempuan, krisis iklim membawa konsekuensi ganda. Di Sulawesi misalnya, saat laut tercemar, perempuan pesisir terpaksa berutang dan bekerja serabutan untuk bertahan hidup. Laporan Save the Children (2023) juga mencatat bahwa sekitar dua pertiga pernikahan anak terjadi di wilayah dengan risiko iklim lebih tinggi dibandingkan rata-rata global. Di Sulawesi Tengah, misalnya, prevalensi perkawinan anak meningkat pasca gempa bumi 2019. memperlihatkan bagaimana bencana memperburuk tekanan sosial dan ekonomi keluarga.
Tidak sampai disitu, bahkan dampak krisis iklim mempengaruhi hak kesehatan reproduksi dan seksual (HKSR) anak perempuan dan perempuan. Orang-orang yang tinggal di pengungsian dan kamp-kamp pengungsi sangat rentan terhadap risiko terkait kesehatan reproduksi dan seksual. Hal ini disebabkan karena terbatasnya akses air bersih, obat-obatan, maupun produk menstruasi.
Semuanya saling terhubung dan memperlihatkan dampak krisis iklim memberikan dampak yang tak terlihat dan berjangka panjang. Lantas, apa saja dampak lebih lanjut dari krisis iklim? Simak informasinya berikut ini:
1. Meningkatnya kasus perkawinan anak

Berdasarkan riset dari The Ohio State University menjelaskan bagaimana dampak dari cuaca ekstrem bisa meningkatkan pernikahan anak, dini, dan paksa di dunia. Riset ini meninjau 20 studi antara tahun 1990 dan 2022 yang menghubungkan kekeringan, banjir, dan kejadian cuaca ekstrem terhadap peningkatan pernikahan anak, dini, dan paksa. Khususnya, di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Pasca tsunami Asia tahun 2004, ada laporan kasus pernikahan paksa anak perempuan di bawah usia 18 tahun di Indonesia. Hingga hari ini, hal itu masih terjadi di pesisir utara Jakarta. Krisis iklim membuat cuaca tidak menentu sehingga menyebabkan nelayan tidak melaut, hasil tangkapan ikan pun rendah, dan pendapatan menurun. Hal ini kemudian membuat pernikahan dini sebagai strategi kelangsungan ekonomi keluarga rumah tangga miskin.
Berdasarkan Kajian Yayasan Rumah KitaB, setidaknya ada 10 anak yang menikah karena hamil di luar nikah, delapan diantaranya mengalami trauma. UNICEF pun menyebutkan, Indonesia menduduki peringkat kedelapan di dunia dan kedua di Asia Tenggara terkait pernikahan dini atau menikah sebelum 18 tahun.
Bahkan, 22 dari 34 provinsi di Indonesia mencatat pernikahan anak melebihi rata-rata nasional di 2019, yakni 10,82%. Studi ini pun menyebutkan ada beberapa faktor yang menjadi pendorong, diantaranya pendidikan, ekonomi, tempat tinggal maupun tradisi.
2. Akses kesehatan reproduksi dan seksual

Hak kesehatan reproduksi dan seksual (HKSR) merupakan hak dasar yang harus dipenuhi bagi setiap individu, termasuk perempuan. Namun, krisis iklim memperparah kesenjangan akses informasi dan layanan kesehatan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan seksual.
Stres akibat suhu tinggi, gelombang panas, dan polusi memengaruhi siklus menstruasi, kehamilan, dan kesuburan. Sementara itu, cuaca panas secara langsung memperburuk kesehatan perempuan hamil dan bayi yang baru lahir, termasuk pada kelahiran prematur, kelahiran bayi dengan berat badan rendah, dan stres neonatal. Polusi udara pun memiliki dampak serupa.
Di beberapa daerah, krisis iklim menyebabkan perempuan dan anak perempuan kesulitan untuk mengakses air bersih. Ketika air sulit didapatkan akibat kenaikan suhu atau kekeringan ekstrem, perempuan dan anak perempuan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka akan air bersih.
Cuaca ekstrem yang menyebabkan bencana alam, seperti banjir merusak infrastruktur air dan fasilitasi kesehatan sehingga menyebabkan perempuan dan anak perempuan kesulitan dalam mengakses sanitasi yang layak.
3. Dampak polusi udara terhadap kelompok rentan

Polusi udara di Jakarta berada dalam ambang batas kesesakan. Rata-rata baku mutu ambien pada 2019 di Jakarta, misalnya mencapai 103,73 µg/m3 per tahun. Angka ini 16 kali lebih tinggi dari rekomendasi WHO (7 µg/m3) atau 10 kali lebih tinggi dari standar pemerintah (10 µg/m3). Angka ini mengindikasikan bahwa udara di Jakarta tidak sehat.
Ukurannya yang kecil, hanya 3% dari ketebalan rambut manusia ini memungkinkan menembus paru-paru manusia dan menyebabkan gangguan kesehatan. Bahkan, Jakarta masuk ke dalam jajaran ibu kota paling berpolusi di dunia dengan peringkat ke-10 pada bulan Maret 2025.
Kualitas udara yang buruk berdampak pada menurunnya tingkat angka harapan hidup masyarakat. Riset mengungkapkan kelompok sensitif memiliki risiko masalah pernapasan tertinggi. Diantaranya, kelompok lansia di atas 55 tahun (48%), disusul kelompok usia 0–17 tahun (32%). Gangguan pernapasan yang dialami seperti batuk pilek, bersin, masalah tenggorokan, mulut kering, nyeri ketika menelan, asma, bahkan yang lebih parahnya lagi bronkitis.
Selain memengaruhi tingkat kesehatan anak-anak dan lansia, polusi udara juga dapat mengganggu kesehatan janin. Hasil penelitian yang dilakukan Departemen Kesehatan Masyarakat Global dan Perawatan Primer di Universitas Bergen (UiB), Norwegia, menunjukkan bahwa perempuan hamil yang terpapar polusi udara akan melahirkan bayi yang lebih kecil.
4. Demam berdarah meningkat

Krisis iklim, berpotensi meningkatkan intensitas curah hujan, dan memperbesar peluang banyak genangan yang menjadi tempat perkembangan nyamuk. Menurut Sugiyono, ahli zoonosis Badan Riset Nasional (BRIN) mengatakan, manusia, hewan, dan lingkungan memiliki keterkaitan erat atas timbulnya penyakit, termasuk DBD. Menurutnya, perilaku masyarakat dengan membiarkan genangan air tempat nyamuk bertelur berkontribusi atas timbulnya penyakit ini.
Kota Jambi menjadi daerah paling rawan kasus demam berdarah di Jambi. Sejak 2011 hingga Februari 2020, sudah 67 orang meninggal karena gigitan nyamuk aedes aegypti.
Pemerintah Kota Jambi merespons serangan demam berdarah dengan melakukan fogging. Sayangnya itu tak menyelesaikan masalah, fogging hanya mampu membunuh nyamuk dewasa tidak termasuk jentik.
Selain Kota Jambi, kasus DBD di Kota Semarang pada 2021 tercatat meningkat tiap tahunnya.Nyamuk, dalam hal ini, memiliki kemampuan lebih untuk beradaptasi dengan kondisi cuaca tak menentu.
Krisis iklim, bukan hanya memengaruhi siklus hidup nyamuk, tapi juga intensitas hisapan. Selain lebih cepat berkembang biak, nyamuk lebih aktif menggigit.
5. Pencemaran dan stunting

Stunting masih menjadi masalah bagi warga Gunungkidul, Yogyakarta. Di tengah upaya perbaikan gizi dan sanitasi, kasus balita yang mengalami gangguan tumbuh kembang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Kenaikan prevalensi stunting di Gunungkidul berdasar Dinas Kesehatan (Dinkes) D.I. Yogyakarta sebesar 1,6% dari 16,4% pada 2022, menjadi 18% pada 2023. Di tahun 2024, kasus stunting melonjak tajam dari 4.310 kasus pada 2023 menjadi 4.691 kasus pada 2024. Kenaikan ini signifikan dengan peningkatan kasus diare pada balita yang melonjak pada 2023 dan bertahan di kisaran angka 1.400 lebih hingga 2024.
Kasus stunting yang meningkat tak serta merta kurangnya akses terhadap sanitasi maupun makanan bergizi, tetapi pencemaran yang ditimbulkan oleh kotoran sapi dan diperburuk dengan cuaca yang tak menentu berdampak perubahan musim tanam. Kekeringan, menyebabkan peternak kurang air untuk membersihkan kotoran hewan di kandang. Sebaliknya, curah hujan tinggi melarutkan limbah ternak, mengalir, dan merembes masuk ke dalam sumur.
Berdasarkan temuan petugas Puskesmas Paliyan di Gunung Kidul, Yogyakarta, mendapati rata-rata sumur galian di sekitar rumah warga tidak ditutup dan tampungan air berada di dekat kandang. Hasilnya, pengujian sumber air menunjukkan bakteri Escherichia coli (E. coli) melebihi ambang batas. Penelitian lainnya pun meneliti sampel air sumur sekitar peternakan menyebutkan bahwa limbah ternak merembes dan membawa dua bakteri itu ke dalam sumur, mencemari hampir seluruh air sumur di sekitar kandang.
(*****)
Fokus Liputan: Morowali di Bawah Cengkeraman Tambang Para Jenderal
*Daffa Ulhaq merupakan mahasiswa Ilmu Sejarah di Universita Indonesia. Daffa aktif sebagai jurnalis dan aktivis muda di Generasi Setara yang memiliki minat pada isu pendidikan, gender, dan lingkungan.