- Penangkaran satwa liar diupayakan sebagai cara untuk menyelamatkan spesies endemik Indonesia dari ancaman kepunahan. Namun, tanpa pengawasan yang kuat, metode ini bisa berbalik arah.
- Kemudahan izin penangkaran yang diatur dalam Permen LHK Nomor 18 Tahun 2024, harus diimbangi legalitas indukan dan sistem ketelusuran yang transparan.
- Aturan baru ini memberikan sejumlah kemudahan bagi masyarakat, maupun pelaku usaha yang ingin lakukan penangkaran satwa. Diantaranya, proses perizinan yang kini bisa dilakukan di tingkat Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), tanpa harus menunggu persetujuan pusat.
- Kebijakan tersebut berpotensi memperbesar risiko penurunan kesejahteraan satwa bila tidak dibarengi tata kelola kuat, sistem audit, dan kapasitas teknis yang cukup.
Penangkaran satwa liar diupayakan sebagai cara untuk menyelamatkan spesies endemik Indonesia dari ancaman kepunahan. Namun, tanpa pengawasan yang kuat, metode ini bisa berbalik arah.
Amir Hamidy, Profesor Peneliti Utama Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengingatkan bahwa kemudahan izin penangkaran yang diatur dalam Permen LHK Nomor 18 Tahun 2024, harus diimbangi legalitas indukan dan sistem ketelusuran yang transparan. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 18 tahun 2024 berisi tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dalam bentuk Penangkaran, Pemeliharaan untuk Kesenangan, Perdagangan dan Peragaan.
“Bayangkan, dari 2005 hingga 2024 baru direvisi. Ini penting, karena banyak realitas lapangan yang tidak terakomodasi dengan aturan lama,” jelasnya, Kamis (30/10/2025).
Aturan baru ini memberikan sejumlah kemudahan bagi masyarakat, maupun pelaku usaha yang ingin melakukan penangkaran satwa. Diantaranya, proses perizinan yang kini bisa dilakukan di tingkat Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), tanpa harus menunggu persetujuan pusat.
Meski demikian, setiap penangkaran pada akhirnya akan bersentuhan dengan aspek komersial.
“Tidak ada orang yang menangkarkan hewan tanpa motif ekonomi. Mulanya mungkin non-komersial, tapi kalau sudah berjalan sepuluh tahun, jumlahnya banyak, pasti ingin dijual,” jelas Amir.
Dari sini, dilema konservasi dan bisnis kerap bertemu. Dalam konteks Undang-Undang Cipta Kerja, begitu sebuah penangkaran mengarah ke aktivitas komersial, maka izin yang diperlukan berubah jadi izin usaha komersial yang harus diurusi lewat sistem OSS.
Contoh, penangkaran burung berkicau di Indonesia merupakan sektor paling populer di kalangan masyarakat.
“Burung berkicau contoh paling nyata. Dari anak muda sampai orang tua, semua bisa menangkarkan. Tapi kalau kita tanya, berapa banyak yang sudah punya izin resmi dari Kementerian Kehutanan? Tidak banyak.”
Padahal, penangkaran burung berkicau seperti murai batu (Copsychus malabaricus), jalak suren (Gracupica contra), atau cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus) sudah berjalan puluhan tahun dan memasok pasar burung hampir di seluruh kota besar Indonesia.

Semangat konservasi dan realita
Menurut Amir, ada gap besar antara semangat konservasi di atas kertas dengan realitas administrasi di lapangan. Permen LHK Nomor 18 Tahun 2024 memang mengatur kewajiban penangkar untuk mempunyai logbook, studbook, dan rencana kerja tahunan (RKT). Namun, ada pertanyaan sejauh mana ketentuan administrasi seperti ini bisa diimplementasikan oleh penangkar skala kecil.
“Coba bayangkan, penangkar rumahan yang cuma punya tiga kandang diminta bikin logbook dan RKT, apa realistis? Kalau perusahaan besar ya bisa. Namun bagi masyarakat, ini tidak mudah,” jelasnya.
Pemerintah, menurutnya, perlu memahami bahwa penangkaran ex situ bukan hanya domain lembaga formal. Justru masyarakat yang banyak jadi ‘tangan dingin’ dalam penyelamatan spesies langka, melalui pengalaman dan kecintaan mereka pada satwa. Untuk itu, kemudahan izin tidak boleh melemahkan kontrol terhadap asal-usul satwa yang ditangkarkan.
“Jangan sampai izin sudah dipermudah, tapi indukan yang digunakan berasal dari hasil tangkapan liar. Itu namanya bukan konservasi, tapi legalisasi perdagangan liar.”
Ketelusuran (traceability) juga penting dilakukan. Setiap indukan yang digunakan untuk penangkaran harus mempunyai dokumen legal yang jelas, yaitu asal-usul, jumlah, dan status hukum.
Legalitas penangkaran tak cukup hanya izin. Indukannya pun harus legal. Kebijakan ini akan berdampak pada dinamika pasar satwa, sehingga faktor psikologis dan ekonomi masyarakat sangat berperan dalam pola “konsumsi” satwa peliharaan.
“Mereka yang memelihara burung bukan semata bisnis. Ada psikologi kebanggaan, hobi, dan simbol status. Namun, bila kebutuhan pasar itu bisa disubstitusi oleh hasil penangkaran, otomatis tekanan terhadap populasi di alam akan menurun.”
Jalak bali (Leucopsar rothschildi) disebut Amir sebagai kasus menarik. Dulu, burung ini sangat mahal, bisa puluhan juta Rupiah per individu, karena langka. Namun, begitu penangkaran berhasil, suplai meningkat, harga turun drastis, dan pasar tidak lagi mengandalkan tangkapan alam.

Barengi tata kelola yang kuat
Mirza Dikari Kusrini, Guru Besar Ekologi dan Konservasi Herpetofauna IPB University, menilai kebijakan tersebut berpotensi memperbesar risiko penurunan kesejahteraan satwa bila tidak dibarengi tata kelola kuat, sistem audit, dan kapasitas teknis yang cukup.
“Mempermudah izin bisa tingkatkan jumlah penangkaran, namun tanpa standar operasional dan kapasitas pengawasan memadai bisa menurunkan kualitas hidup satwa,” jelasnya dalam pernyataan tertulis, Jumat (31/10/2025).Dalam praktik penangkaran massal, terutama masyarakat yang belum berpengalaman, ada hal-hal mendasar yang diabaikan. Desain kandang, misalnya, tidak mempertimbangkan kebutuhan ekologis spesies tertentu. Juga, ukuran ruang, jenis subtrat, tempat bersembunyi, maupun kondisi suhu yang sesuai untuk termoregulasi hewan, belum ideal.
Satwa liar yang dibesarkan di ruang yang tidak sesuai habitat alaminya bisa stres kronis, terganggu perilaku dan turun sistem kekebalan tubuhnya. Selain itu, banyak penangkar hanya memberi makan ‘yang tersedia’ tanpa memperhatikan komposisi gizi spesies.
“Sanitasi dan manajemen limbah kerap dilupakan. Kandang kotor bila tak ada sistem pembuangan limbah, serta tak ada pemeriksaan kesehatan rutin membuat penangkaran bisa jadi sumber penyakit baru.”
Bahkan, aspek perilaku mental (enrichment) hampir tak pernah dipikirkan. Alhasil, banyak satwa mengalami kebosanan ekstrem atau kehilangan perilaku alami, karena tak ada stimulasi lingkungan akibat hidup dalam kurungan jangka panjang.
Namun, hal paling bahaya justru terletak pada asal-usul satwa. Verifikasi legalitas dan etika perolehan hewan, yang kerap membuka celah ‘pencucian’ satwa liar, yaitu praktik mengambil dari alam lalu diklaim hasil penangkaran, harus jelas.
“Tanpa protokol standar kesejahteraan dan pelatihan pemeliharaan, kualitas hidup satwa bisa menurun walau secara administratif tampak legal,” tegasnya.

Mengutip Kumparan, Kementerian Kehutanan dan Komisi IV DPR RI sepakat mempermudah pemberian izin bagi masyarakat mendirikan penangkaran satwa endemik dan hampir punah. Tujuannya, untuk menjaga populasi satwa di Indonesia.
Hal tersebut terungkap pada acara seremonial repatriasi 40 ekor burung perkici dada merah dari Inggris ke Bali oleh Kementerian Kehutanan dan anggota Komisi IV DPR RI di Kantor BKSDA Bali, Senin (27/10/2025).
“Teman-teman di daerah masih agak anti dengan penangkaran, regulasinya agak susah, karena itu saya sarankan untuk merelaksasi izin penangkaran,” terang Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan.
*****