- Endah Sulistiorini dan Sumpono Bayu Aji, pasangan suami istri di Banjarmasin, mempraktikkan konsep urban farming di pekarangan rumah. Kebun tersebut berfungsi mengurai limbah, sekaligus menopang pangan keluarga dan warga sekitar. Selain menghemat belanja bulanan, mereka juga lebih yakin akan kesehatan produk yang dikonsumsi.
- Endah dan Bayu menginspirasi terbentuknya Kelompok Tani Kampung Anggur Puma Tiga. Mereka kerap membagikan bibit, pupuk, dan pestisida alami agar warga termotivasi menanam.
- Anis Wahdi, akademisi Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat menilai, kemandirian pangan melalui urban farming bisa menjadi solusi di tengah krisis iklim.
- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan,urban farming jadi asa kemandirian pangan, tapi karena akses lahan timpang membuat warga miskin sulit menerapkannya. Negara dituntut wajib menjalankan reforma agraria agar tanah benar-benar bisa dimanfaatkan rakyat.
Endah Sulistiorini sibuk menyisir barisan tumbuhan di kebun belakang rumahnya di Kompleks Purnama Permai, Banjarmasin Utara, Kalimantan Selatan, akhir September. Perempuan 44 tahun itu sesekali merunduk, meraba batang dan daun, memastikan tak ada jamur yang menempel.
Suaminya, Sumpono Bayu Aji, memegang gembor penuh air. Pria 46 tahun itu cekatan menyirami setiap tanaman yang mereka tanam di sana.
Sejak pandemi COVID-19, kegiatan itu rutin mereka jalani. Menyulap lahan kosong 10×12 meter di samping rumah jadi kebun sederhana.
“Saya memang suka melihat yang hijau-hijau,” ucap Endah.
Anggur jadi tanaman pertama yang mereka budidayakan dalam kebun perkotaan (urban farming) itu. Selain karena suka rasanya, memelihara anggur jadi tantangan bagi mereka di kota yang panasnya bisa mencapai 32°celsius itu.
“Kalau beli, harga buah ini juga terbilang mahal. Kami berpikir, kenapa tidak coba tanam sendiri.”
Bermodal informasi di internet, usaha mereka pun tidak langsung berhasil. Mulai dari tidak kunjung tumbuh, hingga gosong karena kebanyakan pupuk mereka alami, tapi tidak buat patah arang.
Baru setelah delapan bulan, tanaman anggur berbuah. Sebagian hasilnya mereka bagikan ke warga sekitar.
Kabar ini sampai ke telinga Wali Kota Banjarmasin saat itu, Ibnu Sina, ketika menggelar kegiatan serap aspirasi di Sungai Andai.
Ibnu menyempatkan singgah ke kebun Endah dan mencicipi langsung manisnya anggur di sana. Dari situ, muncul usulan pembentukan kelompok tani beranggotakan minimal 20 orang untuk budidaya anggur.
Endah menyanggupi, mengajak tetangga yang punya minat serupa. Setiap orang yang ingin bergabung dia beri bibit anggur gratis. Karena warga tertarik, Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasin memfasilitasi pembentukan Kelompok Tani Kampung Anggur Puma Tiga, pada 2022.
Dari situ, Endah berpikir mengembangkan tanaman lain di lahan kosongnya.
Ada buah-buahan seperti kelapa, pisang, kelengkeng, pepaya, nanas, hingga miracle-fruit. Ada juga sayur mayur seperti, kangkung, jagung, cabai, tomat, bayam, terong, seledri, sawi, dan selada. Tanaman herbal pun ada dari insulin, bidara, kunyit, jahe, kencur, beluntas, laos, hingga sirih. Semua tumbuh subur.
“Karena terbiasa menanam anggur yang susah, mengembangkan tanaman lain jadi gampang.”

Bebas limbah dan sumber pangan
Bukan sekadar menanam, Endah dan sumi pun menjadikan kebun mereka pengurai limbah dan bebas bahan kimia.
Sebagian petak tanam mereka adalah ecobrick bekas botol air mineral dari kantor si suami. Mereka isi botol itu dengan potongan kecil sampah kertas, kemasan makanan ringan, hingga bungkus sabun cuci.
“Saat penuh, botol menjadi padat, dan disusun menjadi bedengan yang kokoh,” kata Bayu.
Untuk pupuk, mereka mengandalkan bahan alami dari kandang ayam peliharaan. Tebasan rumput liar yang mereka taruh di lantai kandang, jadi kompos alami setelah beberapa bulan terinjak-injak dan bercampur kotoran ayam.
Selain itu, mereka juga membuat kompos dari limbah cangkang telur dan buah-buahan, yang berasal dari kebun sendiri, pemberian tetangga, maupun sisa pedagang.
“Istri yang sering mengumpulkan sampah organik untuk dijadikan pupuk alami.”
Keluarga ini juga memelihara ikan di dalam kolam kecil. Ikannya bisa mereka konsumsi, sementara air kolam yang mengandung nitrogen untuk menyiram tanaman agar lebih subur.
Sementara pestisida, mereka buat dari ramuan alami rendaman kulit bawang dan tembakau sisa puntung rokok.
“Kalau ada hama, tinggal disemprot dengan pestisida buatan sendiri,” katanya.
Kebun mereka pun jadi sumber pangan keluarga sekaligus warga sekitar. Selain dari telur ayam peliharaan, Endah bilang, mereka tak lagi bergantung pasar karena hampir semua kebutuhan dapur mereka petik dari kebun.
Ini membuat mereka hemat. Karena harga komoditas di pasar kerap naik-turun.
“Perkiraan bisa memangkas pengeluaran sekitar Rp25.000 per hari. Kurang lebih Rp750.000 atau sekitar 30% ongkos belanja bulanan.”
Selain itu, mereka jadi sepenuhnya tahu kandungan bahan-bahan yang keluarga konsumsi. Karena, bisa saja sayuran tersebut pakai bahan kimia.
Meskipun demikian, Endah menyebut tidak pernah menimbang hasil panen. Pasalnya, tidak semua mereka jual.
Sebagian mereka simpan untuk kebutuhan sehari-hari, sisanya terdistribusi pada anggota kelompok tani dan tetangga.
Itu sebabnya, mereka kerap undang warga ke kebun kala panen tiba. Hal ini jadi cara untuk menjaga keakraban.
“Masih belum kepikiran untuk memasarkan, biarkan teman-teman menikmati dahulu.”

Inspiratif
Kini, Kelompok Tani Kampung Anggur Puma Tiga beranggotakan 25 orang. Mayoritas warga sekitar kompleks.
Mereka tertarik mengadopsi model urban farming setelah melihat keberhasilan kebun Endah dan Bayu. Salah satunya, Gusti Ahmad Rizani, yang terkesan dengan konsep ini.
Dari bimbingan Endah, pria 71 tahun ini mulai menanam di halaman kecil rumahnya. Mulai dari anggur, mangga, hingga alpukat. Juga, bayam brazil, paprika, dan cabai.
Cabai menjadi tanaman yang paling mencolok di sana, karena berbuah lebat. “Semua bisa tumbuh berkat belajar dari Endah. Bibit pertama juga dari pemberian beliau.”
Dia pun menikmati hasil panen dan jarang beli sayur atau buah lagi.
“Kadang, hasilnya juga dibagikan kepada tetangga.”
Di usianya yang sudah senior, berkebun memberikan banyak bonus.
“Rutinitas seperti menyiram, merawat, hingga memetik hasil tanaman membuat saya merasa lebih bersemangat.”
Aminah, anggota lainnya, juga terinspirasi keluarga Endah, sehingga semakin senang menanam.
“Awalnya memang hobi, tapi setelah bertemu Bu Endah jadi makin ingin mendalami. Sering sharing sama beliau, bahkan beberapa kali dikasih bibit,” ujar perempuan 50 tahun itu.
Dia lebih suka menanam buah-buahan, terutama yang agak sulit ketemu di pasaran, seperti sawo, delima, manggis, dan jambu agung. Di kebunnya juga ada pisang, jeruk rambutan, belimbing, pepaya, dan mangga.
Buah, katanya, merupakan tanaman musiman. Dengan menanam sendiri, maka dia bisa memetiknya kapanpun ketika ingin. Tidak jarang dia juga berikan ke tamu atau kerabat yang berkunjung.
Selain itu, ada juga sayuran selada, sawi, tomat, bayam, cabai, kacang panjang, dan buncis. Membuat kebunnya produktif.
“Kalau sedang ada acara di rumah, sebagian keperluan sudah didapat dari halaman sendiri.”

Solusi krisis iklim
Anis Wahdi, akademisi Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, menilai, urban farming Kelompok Tani Anggur Puma Tiga bisa menjadi solusi krisis iklim.
Ketika harga bahan pangan tidak menentu akibat banyaknya panen gagal, kebun di perkotaan dapat menyediakan kebutuhan harian.
“Mereka bisa langsung memetik kebutuhan dapur dari kebun. Selain itu, pengembangan komoditas bernilai ekonomis seperti anggur juga berpotensi mendatangkan rupiah. Hasil penjualannya bisa dipakai untuk menyubstitusi kebutuhan lain.”
Menanam sendiri juga memberi kendali terhadap produksi pangan. Masyarakat, katanya, bisa memastikan penggunaan input yang sehat dan ramah lingkungan, berbeda dengan pangan di pasar yang asal-usul produksinya tidak mereka ketahui, terutama penggunaan pestisida kimia sintetis tanpa aturan yang benar.
Bertani, katanya, membuat masyarakat dapat mengandalkan pupuk organik dan pengendali organisme pengganggu tanaman.
“Hasilnya, produk pertanian yang diperoleh lebih terjamin sehat.”
Jika praktik ini masif, banyak manfaat, seperti memperpendek rantai pasok pangan, yang otomatis memangkas penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi.
Kebun kota juga jadi upaya mereduksi emisi karbon perkotaan dari kendaraan, penggunaan elektronik, serta menyusutnya ruang terbuka hijau.
Dalam konteks ini, urban farming bisa menjadi contoh praktik sederhana untuk mengembalikan fungsi ekologis yang hilang di perkotaan.
“Tanaman yang dibudidayakan juga menyerap panas matahari, mengubahnya menjadi energi melalui fotosintesis. Hasilnya, suhu lingkungan bisa ditekan. Proses fotosintesis juga menghasilkan oksigen, menyediakan udara segar di siang hari, sekaligus menyerap karbondioksida dari padatnya aktivitas manusia.”
Anis berharap, model seperti Kampung Anggur Puma Tiga bisa tereplikasi di tempat lain di Banjarmasin. Banyak kota di Indonesia, katanya, yang memiliki inisiatif serupa dengan komoditas yang bervariasi.
Namun, tantangan terbesar ada pada motivasi masyarakat. Kesibukan hidup, rendahnya literasi budidaya, serta gaya hidup individualistis membuat banyak orang enggan memanfaatkan lahan kosong.
“Padahal, peran individu pelopor yang mau menularkan semangat sangat dibutuhkan. Hal semacam ini lebih mudah ditemukan di pedesaan ketimbang perkotaan,” katanya.
Karena itu, perlu dukungan pemerintah, mulai dari penyuluhan, penyediaan demplot, hingga farmer market khusus produk urban farming.

Hak tanah yang timpang
Konsep urban farming juga bisa jadi perlawanan terhadap ketimpangan peruntukan lahan. Saat ini, pertanian konvensional makin sulit, karena lahan pertanian makin menyusut, tergerus pembangunan.
Dari total luas wilayah kota yang mencapai 9.846 hektar, lahan untuk pertanian yang tersisa pada 2025 hanya sekitar 2.500 hektar—turun dari 2.600 hektar pada tahun sebelumnya.
“Itu sesuai ketetapan Lahan Baku Sawah (LBS) yang ditetapkan Kementerian ATR/BPN,” kata Yuliansyah Effendi, Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan Banjarmasin Banjarmasin.
Kondisinya juga jauh dari ideal. Kerap terendam banjir rob pada Desember-April, menjadikan jadwal tanam mundur, dan panen hanya bisa satu kali dalam setahun.
“Estimasi jika semua lahan ditanami dan panen, hasilnya hanya cukup untuk mengakomodir pangan warga Banjarmasin selama 50 hari.”
Yuliansyah bahkan tak dapat menjamin akan terus mengalokasikan lahan-lahan tersebut untuk pertanian. Bisa saja, sewaktu-waktu, untuk kegiatan lain.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memadang ini sebagai masalah besar yang belum mampu negara bereskan.
“Di kota yang makin sempit, urban farming menjadi asa warga untuk mandiri pangan. Sayangnya, akses terhadap tanah yang timpang membuatnya belum bisa dipraktikkan semua orang, terutama masyarakat miskin yang tinggal di kawasan padat,” kata Roni Septian, Kepala Departemen Advokasi KPA.
Padahal, mengacu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, negara wajib membuat rencana peruntukan dan penggunaan tanah bagi kepentingan masyarakat luas—mulai dari pusat kehidupan sosial, budaya, hingga pengembangan pertanian, peternakan, dan perikanan.
Bahkan UUPA secara tegas melarang monopoli tanah. “Negara semestinya harus menjalankan reforma agraria, agar jaminan atas tanah benar-benar dirasakan rakyat. Termasuk untuk kebutuhan pangan warga kota.”
Konsep urban farming, seharusnya bisa menunjukkan bagian dari hak warga kota untuk memanfaatkan ruang sebagai kebutuhan dasar, termasuk pangan. Apalagi UUPA sudah memahami adanya perbedaan kebutuhan antara masyarakat desa dan kota.
Maka dari itu, katanya, negara harus hadir menyediakan tanah. Karena reforma agraria di perkotaan sangat penting.
Amatan KPA, ada 9 perusahaan properti yang menguasai hampir 60.000 hektar tanah di kota besar. Jika tidak hentikan pola ini, maka redistribusi tanah bagi masyarakat miskin akan makin sulit.
“Redistribusi tanah perlu dilakukan, agar rakyat bisa merasakan perumahan layak, pendidikan, layanan kesehatan, dan ruang hijau yang berkeadilan.”
Dia bilang, keadilan ruang tidak mungkin tercipta tanpa penataan ulang penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah. Reforma agraria, menjadi jalan keluar agar kelompok rentan bisa menikmati ruang yang selama ini hanya kelas menengah ke atas nikmati.
“Itu mandat UUPA 1960. Negara berkewajiban menjamin perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah.”

*****