- Perdagangan merkuri ilegal di Indonesia masih marak meski pemerintah sudah meratifikasi Konvensi Minamata dan menetapkan target bebas merkuri pada 2030. Di Indonesia, aliran zat beracun dan berbahaya itu terus bergerak ke berbagai lini terutama ke tambang-tambang emas hingga pasar gelap internasional.
- Lembar kebijakan Nexus3 Foundation, Climate Pollution Reduction Grants ( CRPG), dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) juga menyebut, belum ada regulasi ekspor yang komprehensif dan pengawasan lemah dari hulu menjadi celah utama dalam peredaran merkuri di Indonesia.
- Indonesia satu pusat PESK terbesar di dunia. Berdasarkan data Nexus3 Foundation, terdapat sekitar 1.200 lokasi PESK tersebar di 190 kabupaten/kota di 31 dari 34 provinsi di Indonesia, termasuk di 15 kawasan lindung. Lebih dari 1.500 ton merkuri untuk mengekstraksi emas dari tambang-tambang yang tersebar di hampir 200 kota dan kabupaten itu. Dampaknya, kini meluas ke lingkungan dan kesehatan masyarakat.
- Ratih Andrawina Suminar, Koordinator Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten mengatakan, penegakan hukum soal merkuri menuntut koordinasi lintas sektor, seperti, dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Kementerian Perdagangan, Bea Cukai, hingga BPOM. Kerangka hukum dan kelembagaan memang sudah ada, tetapi budaya koordinasi antar-lembaga masih lemah.
Perdagangan merkuri ilegal di Indonesia masih marak meski pemerintah sudah meratifikasi Konvensi Minamata dan menetapkan target bebas merkuri pada 2030. Di Indonesia, aliran zat beracun dan berbahaya itu terus bergerak ke berbagai lini terutama ke tambang-tambang emas hingga pasar gelap internasional.
“Indonesia belum melarang ekspor merkuri secara resmi. Itu sebabnya masih banyak produk merkuri ilegal yang diekspor ke Sudan, Mesir, dan Uni Emirat Arab,” kata Krishna Zaki, General Manager Nexus3 Foundation, dalam webinar menuju COP 6 Minamata, Kamis (16/10/25). Bulan depan, 3-7 November akan berlangsung Conference of Parties (COP) VI Konvensi Minamata di Jenewa.
Laporan Nexus3 Foundation dengan analisis dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dan UN Comtrade menunjukkan, Indonesia mengekspor sekitar 2.196 ton merkuri ke berbagai negara selama periode 2014–2025.
Pada periode 2020–2024, volume ekspor merkuri dari Indonesia cenderung fluktuatif, namun tetap ada.
Adapun negara-negara tujuan utama ekspor ini meliputi Uni Emirat Arab, Arab Saudi, India, Sudan, Mesir, dan Jepang, dengan nilai perdagangan lebih US$8,56 juta.
Merkuri yang kirim ke Uni Emirat Arab bahkan tercatat sekitar US$64 per kilogram. Sedang pengiriman ke Sudan dan Mesir diduga merupakan barang selundupan, dengan harga jauh di bawah nilai pasar.
Lembar kebijakan Nexus3 Foundation, Climate Pollution Reduction Grants ( CRPG), dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) juga menyebut, belum ada regulasi ekspor yang komprehensif dan pengawasan lemah dari hulu menjadi celah utama dalam peredaran merkuri di Indonesia.
Tak hanya menjadi pengekspor, Indonesia juga tercatat sebagai negara tujuan impor merkuri. Dalam periode 2015-2024, negara-negara mitra dagang mengekspor sekitar 1.700 ton merkuri ke Indonesia.
Krishna menyoroti pula ketidaksesuaian data antara laporan ekspor Indonesia dan laporan impor Jepang.
Dia bilang, ekspor merkuri ke Jepang muncul di data Indonesia, tetapi tak tercatat pada data impor Jepang. Ketimpangan ini, katanya, kemungkinan akibat perbedaan kode perdagangan (HS code) dan pelabelan produk, yang membuka celah bagi penyelundupan di jalur resmi.
Untuk itu, katanya, perlu koordinasi lintas lembaga, antara Bea dan Cukai, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menyelaraskan data ekspor-impor serta memperketat pengawasan di lapangan.

Terus marak
Konvensi Minamata lahir dari tragedi pencemaran merkuri di Teluk Minamata, Jepang, pertengahan abad XX. Zat horor itu mencemari laut dan menyebabkan ribuan orang meninggal atau menderita cacat seumur hidup. Sejak itu, dunia menyadari bahaya merkuri dan sepakat menekan penggunaannya.
Konvensi yang PBB adopsi melalui United Nations Environment Programme (UNEP) pada 2013 itu kini 153 negara sudah meratifikasinya. Tujuannya, menghapus penggunaan merkuri secara bertahap di sektor industri, pertambangan, dan kesehatan.
Indonesia, termasuk yang menandatangani, dan sudah punya rencana aksi nasional penghapusan dan pengurangan merkuri (RANPPM) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 21/2019. Ia menempatkan empat sektor prioritas—manufaktur, energi, PESK, dan kesehatan.
Di lapangan masih karut marut. Merkuri seakan jadi ‘dagangan’ bebas. Penelitian Nexus3 Foundation bersama Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2012 mencatat, pertambangan emas skala kecil (PESK) menjadi penyumbang terbesar pelepasan merkuri di Indonesia.
Dari aktivitas inilah ribuan ton merkuri dilepaskan ke udara, tanah, dan sungai setiap tahun.
“PESK menyumbang porsi terbesar, lebih 50% emisi merkuri nasional,” kata Krishna, seraya sebutkan, emisi merkuri di Indonesia, estimasi pelepasan 307.125 kg per tahun.
Sumber merkuri itu, kata Krishna, berasal dari penambangan batuan sinabar di Pulau Seram bagian barat. Aktivitas serupa juga ada di Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara.
Dari tambang-tambang liar itu, batuan sinabar dengan kadar merkuri tinggi (60%–70%, salah satu tertinggi di dunia) disuling di berbagai lokasi seperti Sukabumi, Jombang, Surabaya, Ambon, hingga Manado.
“Hasil penyulingannya berupa merkuri elemental, dan sebagian besar untuk kebutuhan tambang emas skala kecil yang umumnya beroperasi tanpa izin,” katanya.
Indonesia memang satu pusat PESK terbesar di dunia. Berdasarkan data Nexus3 Foundation, terdapat sekitar 1.200 lokasi PESK tersebar di 190 kabupaten/kota di 31 dari 34 provinsi di Indonesia, termasuk di 15 kawasan lindung.
Lebih dari 1.500 ton merkuri untuk mengekstraksi emas dari tambang-tambang yang tersebar di hampir 200 kota dan kabupaten itu. Dampaknya, kini meluas ke lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Berdasarkan hasil pemetaan Nexus3 Foundation bersama Biodiversity Research Institute (BRI), risiko pencemaran merkuri di Indonesia tergolong menengah hingga tinggi.
Dari hasil pengambilan sampel, kadar merkuri di berbagai media lingkungan—air, tanah, sedimen, udara—menunjukkan angka melampaui ambang aman.
Pada ikan, data dari Sumatera Barat, Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, hingga Nusa Tenggara Barat menunjukkan, empat spesies, termasuk barakuda dan kakap putih, mengandung merkuri di atas 0,5 mg/kg.
Dari 87 jenis ikan yang diuji, sekitar 17% memiliki tingkat konsumsi mingguan yang melampaui batas aman (provisional tolerable weekly intake).
Bahkan, lebih dari sepertiga sampel menunjukkan hazard quotient di atas satu. Dengan level ini, katanya, indikasi konsumsi rutin bisa berdampak buruk bagi kesehatan.
Lebih memprihatinkan lagi, penelitian terhadap anak-anak di Nusa Tenggara Barat menunjukkan, 76% memiliki kadar merkuri di rambut di atas 1 ppm, bahkan mencapai 85% jika menggunakan ambang batas baru 0,58 ppm. Tes IQ terhadap 142 anak menunjukkan 41% di bawah rata-rata.
“Paparan merkuri terbukti menurunkan kecerdasan anak,” ujar Krishna.
Anak-anak di komunitas tambang umumnya berasal dari keluarga berpenghasilan rendah dan kekurangan gizi, hingga dampak merkuri terhadap perkembangan mereka menjadi berlipat ganda.
Sebagai bagian dari upaya global, Indonesia pernah memimpin peluncuran Bali Declaration pada COP 4.2 Minamata di Bali.
Deklarasi itu menjadi simbol komitmen untuk memerangi perdagangan merkuri ilegal lintas negara. Namun, menurut Krishna, komitmen itu perlu diperkuat dengan langkah konkret menjelang COP 6 di Jenewa, agar tidak berhenti sebagai simbol politik semata.
Dia merekomendasikan, menutup tambang sinabar ilegal dan memulihkan lahan tercemar merkuri, serta memperkuat penegakan hukum terhadap perdagangan gelap merkuri.
Pemerintah, katanya, perlu membangun fasilitas penyimpanan limbah merkuri yang aman dan permanen, sekaligus memperluas pemantauan lingkungan dan kesehatan masyarakat di daerah terdampak.
“Ini bukan sekadar isu bahan kimia.”
Perdagangan merkuri marak, katanya, merupakan cermin tata kelola lemah. “Dampaknya, menyentuh masa depan manusia serta bumi yang kita tinggali.”

Penegakan hukum lemah?
Ratih Andrawina Suminar, Koordinator Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten mengatakan, sejak meratifikasi Konvensi Minamata melalui UU Nomor 11/2017 dan Perpres Nomor 21/2019 tentang RANPPM, Indonesia sejatinya sudah memiliki landasan hukum kokoh.
Dia mempertanyakan sejauh mana pemahaman tentang bahaya merkuri benar-benar seluruh pemangku kepentingan miliki. Bahkan, di kalangan aparat penegak hukum sekalipun, katanya, kesadaran isu ini sering kali baru muncul ketika ada pihak yang secara langsung memperkenalkan serta menunjukkan dampak nyata dari penggunaan merkuri.
Menurut dia, kesadaran pemahaman tentang bahaya merkuri menjadi tantangan pertama dalam penegakan hukum. Banyak pihak, katanya, masih memandang merkuri sebatas urusan teknis lingkungan.
Padahal, persoalan jauh lebih dalam. Ketika kesadaran masih lemah, penegakan hukum akan pincang.
“Di atas kertas, regulasi kita lengkap, di lapangan, pelaksanaannya terpecah-pecah. Tiap instansi berjalan dengan peta sendiri-sendiri. Padahal, isu ini melibatkan lintas sektor,” katanya, dalam diskusi yang sama.
Dalam hukum, ada namanya prinsip das sollen dan das sein—apa yang ideal dan apa yang nyata. Cita-cita Indonesia bebas merkuri sudah jelas, namun fakta, penggunaan merkuri terutama di pertambangan emas skala kecil masih marak.
Menurut dia, menjembatani kesenjangan ini perlu kebijakan hukum yang nyata, terintegrasi, dan penerapan bisa berjalan efektif.
Masalah juga muncul di tingkat teknis, misal, dalam mengklasifikasikan merkuri sebagai “barang rampasan negara.”
Dalam hukum, barang rampasan umumnya bernilai guna, sedang merkuri bersifat berbahaya, tidak dapat dimanfaatkan, dan membutuhkan penanganan khusus.
“Ketidakjelasan ini menunjukkan perlunya kualifikasi hukum baru bagi merkuri, bukan sekadar zat berbahaya, tetapi entitas hukum tersendiri yang menuntut perlakuan khusus dalam penyitaan, pengelolaan, hingga pemusnahan.”
Ratih bilang, penegakan hukum soal merkuri menuntut koordinasi lintas sektor, seperti, dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Kementerian Perdagangan, Bea Cukai, hingga BPOM.
Dia menilai, kerangka hukum dan kelembagaan memang sudah ada, tetapi budaya koordinasi antar-lembaga masih lemah.
“Di sinilah pentingnya memahami budaya hukum. Banyak aparat dan masyarakat belum melihat merkuri sebagai barang berbahaya setara narkotika”
Penjualan pun masih marak di e-commerce, mencerminkan rendahnya kesadaran bahwa perdagangan merkuri adalah tindak pidana.
Struktur Kejaksaan sebenarnya mendukung kerja komprehensif, dari intelijen untuk deteksi dini, pidana umum, pidata khusus, maupun pidana militer untuk penanganan yuridis, dan BPA untuk pengelolaan barang sitaan. Namun, katanya, semua itu akan efektif kalau ada dukungan pedoman teknis nasional yang seragam.
Masalah lain, katanya, penegakan hukum tak seragam. Banyak kasus berujung pada hukuman ringan, seperti enam bulan penjara, padahal dampak merkuri berlangsung puluhan tahun dan merusak ekosistem serta kesehatan manusia.
Ratih mengatakan, Kejaksaan tengah menyusun pedoman penanganan merkuri sebagai panduan nasional. Pedoman ini membedakan dua jenis merkuri, Tipe A, diserahkan kepada instansi berwenang untuk olah atau ekspor secara aman. Tipe B, diserahkan kepada pengelola limbah B3 untuk penanganan sesuai prosedur lingkungan.
Dengan pedoman ini, harapannya tidak lagi terjadi perbedaan tafsir antara jaksa dan hakim, serta barang bukti merkuri tidak boleh dikembalikan meski terdakwa bebas.
Tanpa dukungan logistik memadai, seperti sarana, teknologi pengelolaan, dan koordinasi lintas-instansi, pedoman ini kurang efektif.
“Kejaksaan pun berpikir perlu menyiapkan anggaran khusus untuk pengelolaan barang bukti merkuri, yang seharusnya didukung oleh pemerintah pusat.”

Perang di lapangan
Yunik Kuncaraning Purwandari, Koordinator Pokja Penetapan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Direktorat Pengelolaan B3, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengatakan, sejak menandatangani Konvensi Minamata pada 10 Oktober 2013 di Jepang, Indonesia sudah menyatakan komitmen menekan dan menghapus penggunaan merkuri.
Dia bilang, hal itu termaktub lewat UU Nomor 11/2017 yang meratifikasi Konvensi Minamata, dan Peraturan Presiden Nomor 21/2019 tentang RAN-PPM. Regulasi-regulasi itu, katanya, jadi peta jalan nasional pengendalian merkuri di Indonesia.
Pemerintah, katanya, mulai memperkenalkan teknologi pengolahan emas tanpa merkuri di berbagai daerah. Sejak 2019, fasilitas pengolahan bersih terbangun di Pulang Pisau (Kalimantan Tengah), Pohuwato (Gorontalo), Halmahera Selatan (Maluku Utara), Riau, Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), hingga Kulon Progo (Yogyakarta).
“Teknologi yang digunakan beragam, dari gravitasi konsentrasi hingga sianidasi, dengan kapasitas olahan mencapai dua ton per lokasi,” kata Yunik.
Selain membangun fasilitas, pemerintah mulai memperketat pengawasan. Sebanyak 15 kontainer batuan sinabar pernah disita di Pelabuhan Tanjung Priok, bersama 34,9 ton merkuri ilegal dari berbagai daerah.
Pada 2024, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) bahkan membentuk Direktorat Penegakan Hukum khusus untuk menindak tambang ilegal yang menjadi sumber utama perdagangan merkuri.
Pemulihan lingkungan, katanya, juga dilakukan. Di Desa Ciladen, Kabupaten Lebak, KLHK merehabilitasi lahan 1.171 meter persegi dengan volume material terkontaminasi mencapai 2.856 meter kubik.
Upaya penghapusan merkuri tak berhenti di sektor tambang. Di bidang kesehatan, pemerintah menarik puluhan ribu alat medis yang mengandung merkuri, dari termometer hingga tensimeter.
Sejak 2022, lebih 79.000 alat kesehatan ditarik dari rumah sakit di 20 provinsi, termasuk gerakan besar-besaran di Kalimantan pada 2024.
Di sektor perdagangan, dia bilang, pengawasan juga ke dunia digital. Pemerintah bekerja sama dengan Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA), Kementerian Perdagangan, dan Kominfo untuk menindak penjualan produk mengandung merkuri.
“Namun pengawasan tidak bisa berhenti. Penjual kini makin canggih, memakai kata kunci baru untuk menghindari sistem deteksi,” ujar Yunik.

Di level global, Indonesia tampil sebagai salah satu pelopor pengendalian merkuri. Pada 2022, dalam Konferensi COP 4 Minamata di Bali, Indonesia memprakarsai Bali Deklarasi—gerakan internasional melawan perdagangan ilegal merkuri.
Deklarasi ini bertumpu pada tiga pilar. Jangka pendek, memperkuat kesadaran publik dan politik tentang bahaya perdagangan merkuri. Jangka menengah, katanya, mendorong kerja sama regional dan bilateral. Jangka panjang, membangun tata kelola global untuk menghapus perdagangan merkuri secara permanen.
Untuk memperkuat kerja sama ini, kata Yunik, Indonesia menggelar focus group discussion (FGD) bersama Kementerian Lingkungan Hidup Jepang pada 2024 dan 2025.
Pertemuan ini membahas praktik terbaik dalam penegakan hukum dan pertukaran informasi intelijen terkait perdagangan merkuri lintas negara.
Pemerintah juga membentuk satgas nasional terdiri dari KLH, KESDM, Polri, dan Kejaksaan untuk memperkuat koordinasi penindakan. Salah satu operasi verifikasi di Seram Bagian Barat, Maluku, yang menemukan mayoritas penambang sinabar adalah pendatang, bukan warga lokal.
“Temuan ini penting untuk memutus rantai pasokan merkuri dari hulu,” katanya.
Namun, perang melawan merkuri bukan tanpa kendala. Yunik mengaku, ribuan tambang emas rakyat masih beroperasi tanpa izin resmi sampai saat ini. Banyak tersebar di wilayah terpencil, sulit terjangkau pengawasan.
Selanjutnya, Indonesia juga belum memiliki fasilitas penyimpanan nasional untuk limbah merkuri hasil sitaan atau penarikan dari alat kesehatan. Saat ini, seluruh hasil sitaan disimpan sementara di jasa pengolahan limbah B3.
Yunik mengaku ada tumpang tindih regulasi antar kementerian masih sering menghambat efektivitas penegakan hukum. KLH kini mendorong revisi sejumlah aturan untuk memperkuat koordinasi lintas sektor.
Bangun kesadaran publik
Sapariah Saturi, Pimpinan Redaksi Mongabay Indonesia, mengatakan, pentingnya membangun memberikan informasi kepada publik hingga terbangun narasi kuat mengenai bahaya merkuri dan tambang emas yang kini menjadi masalah serius di Indonesia.
Menurut Sapariah, merkuri bukan hanya mencemari udara, air, dan tanah, juga mengancam kesehatan anak-anak dan generasi mendatang yang terpapar racun logam berat ini sejak dini.
“Dampak jangka panjangnya bisa sangat fatal, mulai dari gangguan saraf hingga penyakit kronis yang sulit diobati,” katanya saat menjadi narasumber dalam diskusi itu.
Dia menyadari pemberitaan mendalam tentang isu ini di media terbilang minim. Pemberitaan soal merkuri dan tambang ilegal biasa muncul hanya ketika ada penangkapan aparat atau peristiwa dramatis, seperti kecelakaan tambang.
“Proses hukum, penyitaan, dan aspek penanganan hilir hampir tidak pernah mendapatkan sorotan yang memadai,” katanya.
Peran media, lanjut Sapariah, menjadi sangat vital dalam menghadirkan narasi yang sistematis, mulai dari masyarakat umum hingga pelaku usaha dan pemerintah daerah maupun pusat.
Dia juga menyoroti kompleksitas persoalan tambang emas ilegal yang makin meluas. Satu contoh, di Taman Nasional Kerinci Seblat dan Gorontalo, aktivitas tambang emas masuk kawasan konservasi, merusak hutan, ekosistem penting bagi flora fauna. Fenomena ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.
“Akibatnya, kerusakan lingkungan terus berlangsung tanpa henti, dan ini bukan hanya soal alam yang rusak, tetapi juga soal kesehatan masyarakat dan kerugian ekonomi jangka panjang bagi negara.”
Kondisi makin parah, ketika aktor di balik tambang ilegal tak jarang melibatkan oknum aparat. Sapariah contohkan insiden antar aparat di Sumatera Barat buntut tambang emas, hingga jatuh korban jiwa.
“Tidak hanya penambang dan pemodal, juga oknum aparat yang seharusnya menegakkan hukum justru menjadi pelindung, bahkan pemain aktif dalam bisnis tambang ilegal,” katanya.
Dia juga menyoroti ancaman merkuri dari sektor lain yang sering kali luput dari perhatian media, yakni, PLTU dan kawasan industri. Pasalnya, sekitar 30% sumber pelepasan merkuri di Indonesia dari sektor ini, hanya di PLTU di bawah PT PLN.
Padahal, katanya, puluhan PLTU di kawasan industri besar beroperasi tanpa pengawasan yang memadai, yang berisiko menimbulkan pencemaran udara dan air dengan skala besar, termasuk cemaran merkurinya.
Dia juga menekankan pentingnya transparansi dan keterbukaan data kebijakan serta hasil pengawasan terkait penghapusan merkuri dari pemerintah hingga publik termasuk media dapat mengakses informasi secara akurat.
Sapariah pun mengajak semua pihak dari media, lembaga riset, organisasi masyarakat sipil, sampai pemerintah dapat membangun kesadaran dan memperkuat narasi tentang bahaya merkuri.

*****