- Riset Center of Economic and Law Studies (Celios) menyebut total kerugian ekonomi dari rencana tambang batu gamping dan pabrik semen di Pracimantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, mencapai Rp22,71 triliun dalam 70 tahun operasinya. Angka ini bisa membengkak hingga Rp26,49 triliun jika ada akselerasi aktivitas pertambangan.
- Riset Center of Economic and Law Studies (Celios) menyebut total kerugian ekonomi dari rencana tambang batu gamping dan pabrik semen di Pracimantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, mencapai Rp22,71 triliun dalam 70 tahun operasinya. Angka ini bisa membengkak hingga Rp26,49 triliun jika ada akselerasi aktivitas pertambangan.
- Sariko, Warga Watangrejo, Kecamatan Pracimantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, berkeras mempertahankan sawahnya yang masuk dalam rencana proyek itu. Baginya, pabrik semen bukan hanya menghilangkan penghidupan warga, tapi juga memicu bencana.
- Warga Pracimantoro berupaya menolak proyek itu dengan audiensi ke DPRD Wonogiri dan DLH Jawa Tengah. Saat berhadapan dengan dewan, Setya Dewi, perwakilan kelompok muda, menyebut pabrik semen hanya meminggirkan posisi petani perempuan.
Sariko, Warga Watangrejo, Kecamatan Pracimantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, berkeras mempertahankan sawahnya yang masuk dalam rencana pengolahan gamping dan bahan lain pabrik semen PT Anugrah Andalan Asia (AAA) dan PT Sewu Surya Sejati (SSS). Selain karena tidak pernah minta izin, dia yakin tambang itu akan membawa bencana tak berkesudahan.
Dia baru tahu proyek mencaplok tanahnya Mei lalu, saat warga membedah dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) kedua perusahaan tersebut. Padahal, sejak Januari, muncul pipa putih dengan tutup abu-abu yang terpancang di dekat sawahnya. Ukurannya, hingga 28 meter ke dalam permukaan tanah.
Amdal menyebut, ada lima titik pipa terpasang untuk mengecek kekuatan kontur tanah. Kelimanya membentuk diagonal di hamparan sawah di wilayah itu. Sebanyak 123 hektar lahan akan jadi tapak pabrik semen.
“Sawah saya pernah ditawar mau dibeli, tapi saya menolaknya. Tanpa tanah itu saya enggak tahu lagi mau apa untuk memenuhi kebutuhan hidup karena cuma satu-satunya,” kata pria 45 tahun itu pada Mongabay, pertengahan September.
Hingga kini, Sariko masih memegang sertifikat hak milik atas sawahnya. Dia bilang, penawaran atas tanahnya hingga berkali lipat harga normal, tapi tetap tidak dia jual.
“Kalau tanah di sini harga normalnya Rp60.000 per meter perseginya, kemarin sudah ditawar Rp125.000. Sekalipun ditawar Rp5 juta per meter, saya enggak kasih kalau buat pabrik semen.”
Baginya, pabrik semen bukan hanya menghilangkan penghidupan warga, juga memicu bencana. Mulai dari polusi udara, hilangnya mata air karena penambangan karst, hingga limbah berbahaya yang mencemari lingkungan. Jadi, bayangan di kepalanya jika industri itu berjalan.
Belum lagi, izin pertambangan untuk pabrik semen berlangsung selama 70 tahun. “Umur saya sudah 45 tahun, kalau izin saja 70 tahun berarti kemungkinan besar setelah saya meninggal pun pabrik semen masih ada.”
Dia tidak mau kehidupannya bersanding dengan pabrik semen. Baginya, terlalu besar risiko yang mengancam, baik untuk kesehatan atau lingkungannya.
“Kami disini jadi petani sudah sejahtera, kebutuhan kami tercukupi semua.”

Bukan tanpa dasar
Kekhawatiran Sariko atas dampak semen yang merugikan Pracimantoro bukan tanpa dasar. Riset Center of Economic and Law Studies (Celios) menyebut, total kerugian ekonomi dari industri ini mencapai Rp22,71 triliun dalam 70 tahun operasinya.
Rinciannya, biaya kesehatan Rp9 triliun, dampak kehilangan air untuk rumah tangga Rp1,8 miliar, lalu kerugian pertanian padi Rp10,2 triliun.
Indikator lainnya, biaya penyerapan karbon yang hilang dari kawasan karst sebesar Rp4,72 miliar dan hilangnya keanekaragaman hayati yang berdampak pada kerugian Rp1,72 triliun.
Panji Kusumo, peneliti Celios yang terlibat langsung dalam riset itu, menyebut, proyeksi kerugian dari temuannya berdasarkan perhitungan yang konservatif.
“Biaya dari dampak buruk pabrik semen bisa lebih dari itu karena beberapa hal tak kami hitung seperti peternakan dan pertanian palawija,” katanya.
Dia bilang, kerugian bisa membengkak hingga Rp26,49 triliun jika ada akselerasi aktivitas pertambangan.
Dalam kajian mereka, skenario pertambangan dengan pola eksploitasi yang lebih cepat akan menghasilkan dampak lingkungan lebih dini dan intensif.
Secara khusus, dia menjelaskan hilangnya keanekaragaman hayati di konsesi industri semen seluas 598 hektar ini bernilai Rp1,72 triliun. Perhitungannya memakai indeks biodiversitas Shannon-Wiener.
Rata-rata indeks biodiversitas Indonesia 3,5. Sementara Pracimantoro yang memiliki 88 fauna memiliki nilai 3,82, tanda jasa ekosistemnya tinggi.
Mengacu studi Robert Costanza, nilai ekonomis kawasan Pracimantoro asumsinya US$5.000 per hektar tiap tahun atau setara Rp82,47 juta.
Kerusakan akibat tambang berlangsung bertahap hingga indeks jatuh mendekati nol, yang dalam simulasinya berdampak pada 95,5% kawasan.
Penelitian Sutanto Trijuni Putro dari UGM jadi dasar hitungan kerugian hilangnya serapan karbon dari rencana industri semen ini. Pemda Yogyakarta pernah menjadikan riset ini sebagai rujukan menghitung jasa lingkungan Gunung Sewu yang menunjukkan 13.000 kilometer persegi karst di sana mampu menyerap 293,8 ribu ton karbon.
Panji bilang, perhitungan tersebut menunjukkan kemampuan serapan karbon area industri semen mencapai 1.351,5 ton karbon per tahun. Sementara, harga satu ton karbon di Bursa karbon Indonesia sebesar Rp96.000.
“Sehingga total dalam 70 tahun itu kerugiannya mencapai Rp4,72 miliar. Jika pakai harga luar negeri kerugiannya bisa lebih besar.”
Biaya kerugian kesehatan Rp9 triliun yang mereka hitung baru mencakup bagian pernapasan saja. Hitungan valuasi itu merujuk penelitian Julius Mwaiselage dan Hyun Seung Lee, yang spesifik mengkaji dampak pabrik semen.
Menurut dia, pabrik semen dalam penelitian keduanya termasuk industri paling kotor bagi kesehatan yang menyebabkan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).
Penyakit kronis paru-paru ini memiliki kategori tingkat paparan, yaitu pekerja pabrik dampaknya 58,3%, warga yang tinggal dalam radius 1 kilometer prevalensinya 14,3%, dan masyarakat dalam radius 5 kilometer tingkat paparannya 9,1%.
Rata-rata penderita mengeluarkan US$1.876 pada 2003, karena inflasi, maka perlu mengonversinya jadi US$3.427 berdasarkan nilai 2025. Dalam rupiah, biaya kesehatan itu setara Rp16,3 juta per tahun tiap orang yang terdampak.
Dari data awal itu, Celios memproyeksikan biaya dampak kesehatan ke warga sekitar pabrik dengan memperhitungkan jaraknya. Hasilnya total ada 18 desa yang potensial terdampak infeksi pernafasan dan paru-paru.
Pracimantoro jadi yang paling tinggi biaya kesehatannya, mengingat jaraknya dengan pabrik kurang dari 1 kilometer dan jumlah penduduknya mencapai 7.553 jiwa. Mereka mesti menanggung biaya kesehatan mencapai Rp12,28 miliar per tahun.
Sedangkan Desa Gebangharjo jadi yang paling sedikit tanggungan biaya kesehatannya, sebesar Rp3,3 miliar, karena jumlah penduduknya hanya 2.235 dan jaraknya dengan pabrik 1-5 kilometer dengan prevalensi 9,1%.
Dari total 18 desa yang berpotensi terdampak, total biaya kesehatan per tahun mencapai Rp117,38 miliar, atau Rp9 triliun dalam 70 tahun.
Karst hancur, sumber air hilang
Pracimantoro merupakan kawasan karst. Ekosistem ini mampu menyerap hujan dan menampung air dalam jumlah banyak. Menghancurkan kawasan ini untuk industri semen sama saja menghilangkan sumber air warga.
Celios menghitung biaya kerugian hilangnya sumber air berdasarkan kapasitas area itu untuk menampung air. Menggunakan indikator curah hujan, luasan kawasan, kedalaman zona epikarst yang jadi wadah penampung air, dan persentase epikarst dari luas total kawasan.
Data BPS Wonogiri menyebut curah hujan di wilayahnya 1.980 milimeter sepanjang 2024. Sementara rata-rata kedalaman epikarst sekitar 15 meter, lalu total kawasan yang hancur jadi industri semen 598 hektar, dan persentase epikarst di area tersebut sekitar 35%.
“Maka dapat dihitung total jasa penyediaan air bersih per tahunnya yang berpotensi hilang adalah sejumlah 31.081.050 meter kubik,” terang Panji.
Padahal, kebutuhan air harian tiap orang rata-rata 150 liter. Sedangkan total penduduk di Pracimantoro 66.703 orang, maka total kebutuhannya 3,65 juta meter kubik.
Selama ini, kebutuhan itu terpenuhi dengan air tanah dari sistem karst di sana. Jika karst hancur maka sumber air akan menggunakan PDAM dengan harga Rp7.400 per meter kubik. Maka kerugian warga dari hilangnya sumber air untuk kebutuhan sehari-hari adalah Rp1,8 triliun selama 70 tahun.
“Nilai kerugian ini belum termasuk pemasangan instalasi pipa dan perawatannya, jadi bisa lebih besar lagi ruginya.”
Masalahnya, air di Pracimantoro juga jadi tulang punggung pertanian, terutama padi. Artinya, jika tidak ada air dari sistem karst, maka petani akan rugi lebih banyak lagi.
Penelitian tersebut mengutip data produksi gabah kering di Pracimantoro 2025 dari BPS Wonogiri, sebesar 26.160 ton. Sementara kebutuhan air untuk pertanian padi, menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, untuk 1 kilogram gabah kering adalah 1.432 liter, maka perlu 34,6 juta meter kubik.
Harga gabah kering Rp8.000 per kilogram. Artinya kerugian yang akan timbul sekitar Rp10,2 triliun.
“Ini baru kerugian dari padi, padahal di Pracimantoro ada palawija yang nilainya juga cukup besar juga. Termasuk hewan ternak yang potensi ekonominya tinggi, indikator ini belum kami hitung.”
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Tengah belum merespons temuan riset ini. Upaya konfirmasi dengan mengirim pesan dan menelpon Widi Hartanto, Kepala DLH tidak mendapat tanggapan.
Mongabay juga meminta tanggapan perusahaan. Melalui pesan dan telpon ke Suwadi Bing Andi, Direktur PT AAS, namun tidak mendapat respons.
Warga Pracimantoro berupaya menolak proyek itu dengan audiensi ke DPRD Wonogiri dan DLH Jawa Tengah. Saat berhadapan dengan dewan, Setya Dewi, perwakilan kelompok muda, menyebut pabrik semen hanya meminggirkan posisi petani perempuan.
Dia bilang, ibunya seorang petani yang terdampak industri itu karena sawahnya persis berada di depan rencana tapak pabrik. “Bagaimana ibu saya mau bertani kalau di dekatnya ada pabrik semen, pasti polusinya mengganggu, sumber air sawah hilang.”
Padahal hasil bertani itu mampu membuat Setya mengecap dunia pendidikan.
“Keluarga kami terancam penghidupannya, tidak mungkin ibu saya bekerja di sana dengan kondisinya yang sudah berusia dan tak berpendidikan.”

*****