- Puluhan warga di area tapak pembangunan pabrik dan tambang semen di {Pracimantoro, Wonogiri, Jawa Tengah (Jateng) menggelar pertemuan. Mereka saling berdiskusi dan membedah dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) pembangunan pabrik semen tersebut.
- Ada beberapa temuan yang membuat warga sangsi atas kesahihan dokumen tersebut. Misalnya, dari hasil survei pemrakarsa, warga penolak hanya 3%. Versi warga, di lapangan, suara penolakan terjadi di seluruh dusun yang masuk dalam area tapak.
- Suryanto, salah satu warga menyebut, dalam dokumen tersebut terungkap adanya potensi pengurangan pengangguran yang hanya diperkirakan sebesar 0,07%. Angka itu dinlai sangat kecil dibanding ratusan atau bahkan ribuan petani di wilayah setempat yang terancam kehilangan pekerjaannya.
- Amdal amdal juga tidak menganalisa secara utuh realitas yang ada di lokasi. Misalnya saja soal ponor yang menyebut hanya ada satu satu ponor, lima horizontal dan dua gua vertikal yang terdapat aliran air saat musim hujan. Padahal, temuan warga terdapat tiga gua horizontal, 13 gua vertikal, delapan sumber air, 12 ponor dan 21 sumur dan dua telaga.
Rumah di Desa Watangrejo, Kecamatan Pracimantoro, Wonogiri, Jawa Tengah (Jateng) itu terlihat penuh oleh warga, Rabu (21/5/25). Sorak terdengar tatakala warga menemukan kekeliruan dalam dokumen analisa mengenai dampak lingkungan (amdal) pembangunan pabrik semen dan tambang gamping milik PT Sewu Surya Sejati (SSS) dan PT Anugerah Andalan Asia (AAA) itu.
Hari itu, puluhan warga di area tapak pabrik dan tambang menggelar pertemuan guna membedah dokumen amdal rencana itu. Hasilnya, diskusi yang berlangsung sejak pagi itu mendapati sejumlah permasalahan.
Seperti survei persetujuan warga yang disebut melibatkan 200 warga dengan hasil 84% setuju, 13% netral, dan 3% tidak setuju. Angka itu dinilai tidak merepresentasikan realitas di lapangan karena hampir seluruh pedukuhan di enam desa terdampak rencana pabrik dan tambang semen menyatakan menolak.
Suharto, salah satu warga ragu dengan kesahihan survei. Dari data itu disebut warga tak setuju proyek dari 3%. Data BPS Wonogiri mencatat, total penduduk di Pracimantoro ada 16.270 orang, jika mengacu itu hanya ada 490 warga menolak. “Padahal, kalau 500 orang yang menolak saya yakin lebih dari itu, ribuan yang menolak,” katanya.
Data survei ini juga tak menjelaskan rinci demografi respondennya, seperti usia, pekerjaan, dan asal desanya. Dokumen juga tidak menjelaskan secara rinci metode pengambilan sampel, teknik wawancara, instrumen survei yang digunakan, hingga proses validasi data.
Selain itu, hasil survei juga tak representatif karena masih dalam situasi pandemi COVID-19 pada 2022. Saat itu, perekonomian tengah lesu, jelas Suharto, sehingga tak mencerminkan realitas yang ada. Buktinya, petisi penolakan pabrik semen telah ditandatangani 1.475 tanda tangan terverifikasi yang kebanyakan warga Pracimantoro.
Suryanto Perment, warga Watangrejo yang masuk dalam rencana tapak pabrik semen nyatakan serupa. Dia sempat mengecek proses survei ini di beberapa desa yang jadi respondennya. “Mereka menumpang acara lain, respondennya peserta acara itu, prosesnya malah seperti pengarahan bukan didasarkan secara sukarela.”
Dia juga menyangsikan pernyataan dalam dokumen amdal yang menyebut bahwa sudah ada 75 orang yang saat ini bekerja di lahan milik perusahaan. Padahal, di lapangan, tidak ada kegiatan apapun, apalagi melibatkan warga sebagai pekerjanya.
Investasi itu juga diklaim dapat memberantas pengangguran signifikan. Padahal, dalam dokumen itu, pengurangan pengangguran hanya diperkirakan sebesar 0,07%. “Itu sangat kecil sekali, tidak representatif. Hidup warga sudah layak dan sejahtera dengan bertani,” kata Suryanto.
Selain kehidupan warga, rencana pembangunan pabrik semen dan tambang batu gamping juga ancam satwa liar. Setidaknya, ada tiga jenis satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis dan Satwa yang terancam industri ini.
Ketiganya adalah landak (Hystrix sp) dan dua jenis burung yaitu sikep madu asia (Permis ptilorhynchus) yang termasuk famili Accipitridae dan madu sriganti (Cinnyrisjugalaris) bagian famili Nectaridae. Habitat hewan dilindungi ini terancam oleh proyek yang akan mengubah ratusan hektar bentang alam.
Kecamatan Pracimantoro juga menyimpan keanekaragaman hayati yang kaya. Setidaknya terdapat 29 jenis spesies burung, lima jenis mamalia, 21 jenis lepidoptera yang merupakan ordo serangga yang mencakup ngengat dan kupu-kupu.
Ada lagi empat jenis odonatan atau ordo dari serangga karnivora yang umumnya disebut dengan capung, dan tujuh jenis herpetofauna atau kelompok hewan melata yang meliputi amfibi dan reptil. “Selama ini kami hidup berdampingan dengan alam, termasuk dengan satwa-satwa ini. Kami turut menjaganya,” tandas Suryanto.

Penyusunan Amdal tak transparan
Catatan lain dokumen Amdal adalah prosesnya cacat prosedur serta secara substansi mengabaikan keterlibatan warga. Pihak pemrakarsa dua kali menggelar konsultasi publik yang sama-sama berlangsung di rumah dinas Camat Pracimantoro. Yakni, pada April 2021 dengan 37 orang dan Maret 2023 dengan 88 peserta.
Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai, melihat jumlahnya, konsultasi publik tersebut tak memadai karena warga Pracimantoro yang terlibat sangat minim. Dari sisi keterwalikan tapak, juga tak cukup representatif.
Pasalnya, merujuk Amdal proyek ini, sosialisasi oleh pemrakarsa pabrik semen hanya berlangsung di empat desa, yaitu Sambiroto, Suci, Joho, dan Watangrejo, dari enam desa terdampak. Dua desa lainnya, Gambirmanis dan Petirsari tak dilibatkan.
“Jadi, tidak ada transparansi dalam penyusunan Amdal ini,” jelas Muhamad Saleh, peneliti Celios. Indikasinya, lanjut Saleh, warga kesulitan untuk mendapat salinan amdal tersebut. “Padahal mereka yang akan mengalami dampak secara langsung.”
Saleh menyebut dampak-dampak lingkungan dari pabrik semen juga tak banyak diketahui warga. Padahal dalam Amdal menyebut operasionalnya menggunakan batubara dan limbah yang dihasilkan dalam produksi bahan bangunan ini mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3).
Batubara didatangkan dari Kalimantan lewat Semarang sebelum diangkut ke Wonogiri. Sedangkan limbah B3 yang dihasilkan tak disebut secara rinci dalam Amdal. “Minimnya informasi dan pelibatan warga ini tak sesuai dengan prinsip Amdal yang baik dan sesuai regulasi,” katanya.
Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.17/2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Amdal dan Izin Lingkungan. Dalam aturan ini pemrakarsa wajib melibatkan warga terdampak, masyarakat pemerhati lingkungan, dan masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal.
Peraturan Pemerintah No.22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan juga wajib melibatkan masyarakat.
Saleh menyoroti cara inventarisasi dampak oleh pemrakarsa yang mengesampingkan kepentingan warga. Pada tahap prakonstruksi hingga pembangunan pabrik semen dan tambang gamping misalnya, tersebut adanya 606 dampak penting dan 310 tidak penting.
Analisis dampak ini disebut hanya dengan model hipotetik tanpa menyebut sumber data primer yang menghasilkan kesimpulan penting atau tidak penting.
“Dalam beberapa kasus, metodologi yang digunakan bersifat kualitatif dan subjektif, tergantung dari kapasitas teknis tim penyusun dan ketersediaan data primer. Ketidakterbukaan atau ketidakjelasan dalam penggunaan metode dapat menyebabkan ketidakpastian hasil.”

Abaikan potensi bencana
Amdal proyek semen di Pracimantoro juga menganalisa secara utuh realitas yang ada di lokasi. Misal, saja soal ponor yang menyebut hanya ada satu satu ponor, lima horizontal dan dua gua vertikal yang terdapat aliran air saat musim hujan. Padahal, temuan warga terdapat tiga gua horizontal, 13 gua vertikal, delapan sumber air, 12 ponor dan 21 sumur dan dua telaga.
Petrasa Wacana, Ketua Umum Masyarakat Speleologi Indonesia yang turut membedah amdal ini menyebut belum tercatatnya puluhan situs hidrologi ini kian menegaskan bahwa dokumen tersebut tidak merepresentasikan fakta sebenarnya. Ia menyebut pertambangan gamping di kawasan karst juga berpotensi menyebabkan banjir.
Dalam amdal tercatat ada ada lima titik pertambangan yang berada di area tangkapan hujan. Area ini juga memiliki fungsi epikarst bila ditambang akan menghilangkan fungsi penyimpanan air. “Sehingga pada kondisi hujan ekstrem akan meningkatkan runoff dimana air akan tidak tersimpan dan berpotensi menjadi bencana banjir,” katanya.
Banjir bukan hal tak pernah terjadi di Pracimantoro, sebelumnya pada 2017 saat Siklon Cempaka melanda bencana ini menyebabkan sejumlah rumah dan bangunan terendam. Museum Karst bahkan terendam air setinggi 1,5 meter. Banjir tersebut disebabkan oleh luapan sungai yang melewati Dusun Mudal, Desa Gebangharjo.
Petra menduga, basis data amdal hanya didapat berdasarkan sampel wilayah yang jumlahnya terbatas. Padahal, semestinya itu dilakukan secara menyeluruh karena kawasan karst memiliki sistem yang saling terhubung lewat rongga bawah tanah yang bentuknya beragam. Seperti ponor, gua vertikal, gua horizontal, mata air, sungai bawah tanah, hingga telaga. “Satu rusak bisa berdampak luas.”
Resiko pertambangan gamping yang belum dijabarkan dengan baik, menurut Petra, adalah rona lingkungan transportasi. Operasi pengangkutan dari pembangunan sampai dengan proses produksi disebut akan melewati jalan-jalan yang sudah ada.
Dalam kajian tidak menjelaskan tentang dampak dan potensi kerusakan jalan yang akan ditimbulkan. Padahal dalam banyak kasus pertambangan berdampak pada rusaknya akses transportasi ini.
“Karena tidak disebut pemrakarsa akan bertanggung jawab maka asumsinya nanti yang memperbaiki pemerintah, artinya ini malah bikin kerugian negara.”

Tingkatkan kerentanan warga
Hal lain yang tidak disinggung dalam dokumen tersebut adalah potensi dampak kehadiran pabrik semen dari sisi sosial dan budaya. Padahal, kajian Social Research Center (Sorec), Departemen Sosiologi UGM meyakini, investasi itu tidak hanya mengubah lingkungan Pracimantoro, tetapi juga mengancam identitas lokal dan meningkatkan prekariatisasi atau penghilangan mata pencaharian warga sebagai petani.
Andreas Budi Widyanta Ketua Sorec UGM, menjelaskan, prekariatisasi dalam proyek ini menyebabkan kerentanan warga lokal dan makin memperlebar ketimpangan sosial.
“Yang akan diuntungkan hanya segelintir elit saja, dominasi perangkat desa juga akan makin besar karena mengurus sumber daya ekonomi yang juga berdampak pada tingginya potensi konflik.”
Lembaga sosial beserta nilai-nilai budayanya yang sudah ratusan tahun di Pracimantoro akan terganggu dan terancam. “Solidaritas sosial antar warga akan terkikis karena pergeseran nilai. Aktivitas ekonomi warga yang bernaung dan ditopang sepenuhnya oleh ekosistem bentang alam karst yang sudah terbukti mensejahterakan kelak hanya disimplifikasi ke dalam tolok ukur ekonomi finansial semata,” ucap Abe.
Proyek pabrik semen yang makin meruncing konfliknya ini, jika terus dipaksakan pemerintah sama berarti kekerasan.
“Warga dipaksa menggunakan cara pandang lain yang bias antroposen, padahal mereka punya nilai sendiri yang prakitnya sudah terbukti selaras dengan lingkungan. Mereka dipisahkan secara paksa dengan ekosistem alam karst dan seluruh kekayaan keanekaragaman hayatinya.”
*****