- Aktivitas pertambangan Nikel di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya menimbulkan kerusakan ekologi, mulai dari kerusakan terumbu karang hingga deforestasi yang memicu krisis iklim. Organisasi lingkungan pun mendesak pencabutan seluruh izin tambang nikel di Raja Ampat.
- Hasil investigasi Auriga Nusantara dan Insight Earth, menemukan, deforestasi karena pertambangan menyebabkan sedimentasi perairan pesisir dan kerusakan terumbu karang signifikan. Analisis satelit menunjukkan, dari 2023-2025, terjadi perubahan tutupan lahan signifikan, khusus di Pulau Gag, Kawei, dan Manuran yang masuk dalam kawasan geopark.
- Parid Ridwanuddin, Direktur Pesisir dan Kelautan Auriga Nusantara, mengatakan, konsesi PT Gag Nikel tiga kali lebih luas dari daratan Pulau Gag mengancam ekosistem terumbu karang dan keanekaragaman hayati. Saat ini, pembukaan lahan hutan di Pulau Gag yang lebih dari 187 hektar menciptakan risiko sedimen akibat erosi bagi terumbu karang dan ekosistem laut di sekitarnya.
- Forum Komunikasi Masyarakat Adat Raja Ampat pun menyerahkan delapan maklumat kepada Majelis Rakyat Papua Papua Barat Daya (MRPBD), 6 Oktober 2025 di Sorong. Maklumat ini merupakan hasil dialog kebudayaan dan penguatan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam di Raja Ampat pada 2–3 Oktober 2025.
Aktivitas pertambangan nikel di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya menimbulkan kerusakan ekologi, mulai dari kerusakan pesisir sampai terumbu karang hingga deforestasi yang memicu krisis iklim. Organisasi lingkungan pun mendesak pencabutan seluruh izin tambang nikel di Raja Ampat.
Hasil investigasi Auriga Nusantara dan Insight Earth, menemukan, deforestasi karena pertambangan menyebabkan sedimentasi perairan pesisir dan kerusakan terumbu karang signifikan.
Analisis satelit menunjukkan, dari 2023-2025, terjadi perubahan tutupan lahan signifikan, khusus di Pulau Gag, Kawei, dan Manuran yang masuk dalam kawasan geopark.
“Ini tentu tidak hanya mengancam dari keberadaan hutan dan laut, tapi ada manusia yang tinggal disitu. Menjadi ancaman untuk keanekaragaman hayati,” kata Parid Ridwanuddin, Direktur Pesisir dan Kelautan Auriga Nusantara, ketika rilis laporan September lalu.
Laporan menyebut, lebih separuh, 66% daratan Raja Ampat mencakup tujuh kawasan konservasi dengan luas mencapai 400.000 hektar.
Keanekaragaman hayati yang teridentifikasi di empat pulau yakni Gag, Manuran, Batang Pele dan Kawei saja mencakup 47 spesies mamalia, dengan satu spesies endemis dan tiga spesies dilindungi serta 114 spesies amfibi dan reptil.
Aktivitas tambang nikel, katanya, akan berdampak terhadap biota laut seperti pari manta, termasuk mobula birostris yang merupakan spesies pari manta terbesar di dunia. Juga, lima spesies penyu dilindungi, termasuk penyu sisik yang terancam punah, dan biota laut lain.
Sebelum ramai desakan pencabutan izin, koalisi masyarakat sipil, terdapat lima izin usaha pertambangan (IUP) nikel di kawasan segitiga karang dunia itu. Yakni, PT Kawai Sejahtera Mining (KSM) konsesi 5.922 hektar di Pulau Kawei, PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) seluas 2.193 hektar di Pulau Manyaifun, Batang Pele.
Lalu, PT Anugerah Surya Pratama (ASP) sekitar 1.173 hektar di Pulau Manuran, dan PT Nurham (3.000 hektar) di Yesner Waigeo Timur. Kemudian, PT Gag Nikel (GN) di Pulau Gag seluas 13.136 hektar, lebih luas dari daratan pulau Gag 6.060 hektar.
Setelah desakan berbagai kalangan, pemerintah mencabut empat IUP dan menyisakan GN. Sempat menghentikan perusahaan ini, namun pemerintah kembali mengizinkan anak perusahaan PT Aneka Tambang itu beroperasi.
Pemerintah tidak mencabut izin Gag Nikel karena dianggap menjalankan tata kelola tambang yang baik dan perspektif lingkungan.
Tim gabungan yang terdiri dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) justru memberikan penilaian Proper hijau pada perusahaan pemegang kontrak karya generasi VII 1998 itu.

Ancam ekosistem laut dan terumbu karang
Parid mengatakan, konsesi GN tiga kali lebih luas dari daratan Pulau Gag mengancam ekosistem terumbu karang dan keanekaragaman hayati.
Saat ini, pembukaan lahan hutan di Pulau Gag yang lebih dari 187 hektar menciptakan risiko sedimen akibat erosi bagi terumbu karang dan ekosistem laut di sekitarnya.
“Selain bukaan lahan, terumbu karang disana sudah mengalami kerusakan, terjadi pemutihan terumbu karang. Di Pulau Gag ini berisiko tinggi.”
Begitu juga terjadi di pulau lain di Raja Ampat. Tambang nikel yang seluruhnya seluas 22.000 hektar menciptakan efek kerusakan berantai . Mulai deforestasi, mengancam 2.470 hektar terumbu karang, 7.200 hektar hutan alam, dan mata pencaharian lebih dari 64.000 penduduk.
Parid menjelaskan, dari 7.761 hektar hutan alam di dalam pulau kecil berizin tambang nikel, 7.200 hektar atau 92% berada dalam izin tambang nikel.
Pada radius 12 mil laut terdapat 6.700 hektar terumbu karang, dan 36% (2.400 hektar) berada di dalam radius 5 km atau berisiko tinggi terdampak pertambangan nikel.
“Jadi sedimentasi berasal dari darat menutup dasar dari terumbu karang. Banyak karang-karang yang kemudian patah.”
Pemulihan ekosistem terumbu karang, katanya, memerlukan waktu lama. Dia contohkan, KAW yang sempat eksploitasi 2009 kemudian tutup 2013. Meski sudah lama menghentikan aktivitas, namun dampak kerusakan terumbu karang belum pulih.
“Banyak sedimentasi dan patahan karang. Ini membuktikan recovery ekosistem laut dalam terumbu karang, butuh waktu lebih lama. Walaupun sudah berhenti lama.”
Parid bilang, Raja Ampat mempunyai 14 bentang terumbu karang berbeda dan 75 habitat. Hasil penelitian menunjukkan, terumbu karang di Raja Ampat memiliki daya tahan unik terhadap perubahan iklim, menimbang arus kuat, tingkat konektivitas larva tinggi, dan pembangunan industri.
Pertambangan nikel dan perubahan iklim, katanya, berdampak pada terumbu karang. Data awal dari survei lebih dari 10 lokasi selam yang populer menunjukkan, pemutihan karang sudah terjadi di setiap lokasi.
Konsentrasi kadar nikel berdampak pada jaringan karang dan mengubah struktur komunitas mikrobioma.
Selain berdampak pada lingkungan, aktivitas pertambangan nikel juga mengancam kohesi sosial masyarakat, mata pencaharian, dan praktik budaya leluhur.
Bagi masyarakat adat di Raja Ampat, penambangan nikel tidak sekadar mengancam ekosistem, melainkan menghujat bentang laut yang sakral. Mereka mengibaratkan hutan adalah ibu, laut adalah ayah, dan pesisir adalah anak.
Seiring dengan hilangnya hutan adat, daerah penangkapan ikan menjadi merah, dan garis pantai menjadi gelap karena debu nikel. Praktik biokultural dari leluhur terancam punah.

Cabut izin tambang
Parid menegaskan, jalan satunya-satunya menyelamatkan Raja Ampat dari kerusakan yakni dengan menghentikan seluruh aktivitas tambang.
“Harus dicabut izinnya, karena kalau sudah ditambang akan sulit pemulihannya. Mungkin tidak bisa karena lapisannya sudah diangkat.”
Bagus Hadi Kusuma, Direktur Pertambangan dan Energi, Auriga Nusantara mengatakan, pertambangan nikel di wilayah kepulauan yang kaya keanekaragaman hayati itu terasa janggal ketika pemerintah canangkan agenda ekonomi biru.
Di luar keuntungan berjangka pendek dari pertambangan, Raja Ampat memiliki nilai yang jauh lebih besar sebagai ekosistem hidup dengan nilai ekologis intrinsik, manfaat sosial dan budaya unik, serta peluang ekonomi regeneratif berjangka panjang
Tiffany Hsu, Analis Spasial Earth Insight mengatakan, eskalasi pertambangan nikel terjadi sebagai upaya Indonesia menjadi sejenis OPEC untuk komoditas nikel, guna memenuhi permintaan global kendaraan listrik yang terus meningkat. Kebijakan ini, katanya, justru menjadi ancaman bagi kelangsungan ekosistem Raja Ampat.
“Temuan kami ini menunjukkan ekosistem ini justru terancam industri pertambangan nikel yang berbahaya terhadap terumbu karang, ekosistem laut secara keseluruhan, dan penduduk setempat.”

Desakan dan maklumat masyarakat adat
Parid pun mendesak pemerintah menetapkan Raja Ampat sebagai zona bebas tambang. Lalu Raja Ampat sebagai Geopark Global yang sudah Unesco tetapkan.
Kemudian, menetapkan Taman Nasional Laut dengan zonasi yang menjamin akses masyarakat, kemanfaatan, keterlibatan publik, pengolahan dan keterlibatan pengelolaan.
“Bangun infrastruktur ramah lingkungan dan memastikan ada pemulihan terhadap ekosistem terintegrasi, baik darat, maupun laut, di Raja Ampat.”
Auriga, juga mendesak pemerintah menegakkan regulasi polluter-based principle, yang diatur hukum lingkungan hidup. Jadi, perusahaan-perusahaan tambang bertanggung jawab memulihkan lingkungan atas kerusakan yang ditimbulkan.
Pemerintah juga harus memprioritaskan pembangunan ekonomi berkelanjutan yang melindung baik keragaman hayati maupun mata pencaharian masyarakat sembari melaksanakan kepeloporan konservasi kelautan global.
Forum Komunikasi Masyarakat Adat Raja Ampat pun menyerahkan delapan maklumat kepada Majelis Rakyat Papua Papua Barat Daya (MRPBD), 6 Oktober 2025 di Sorong.
Maklumat ini merupakan hasil dialog kebudayaan dan penguatan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam di Raja Ampat pada 2–3 Oktober 2025.
Mereka lakukan ini sebagai upaya melindungi Raja Ampat dan menghormati hak-hak masyarakat adat yang mendiami kawasan itu.
Poinnya antara lain, tentang pencabutan izin tambang dan pembentukan Perda Masyarakat Adat.
Charles Imbir, Direktur Institut USBA mengatakan, masyarakat adat di Raja Ampat menginginkan pengakuan hak masyarakat adat dan hak ulayat.
Ketika tak ada pengakuan, masyarakat adat di Raja Ampat kerap terabaikan, antara lain tambang-tambang beroperasi tanpa persetujuan masyarakat adat.
“Kalau negara Indonesia menghargai masyarakat adat di Raja Ampat harusnya Presiden Prabowo mencabut semua izin di pulau-pulau kecil di Raja Ampat.”
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan, maklumat ini momentum bagi pemerintah mengubah model pembangunan ekstraktif menjadi berkelanjutan berbasis pada nilai-nilai masyarakat adat.
“Solusi untuk pembangunan berkelanjutan berbasis alam dan menghargai hak-hak masyarakat adat.”

*****