- Ular cecak sulawesi berhasil didokumentasikan di lanskap hutan sekunder di Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Selama ini keberadaannya hanya di ketahui di Sulawesi Utara dan Lore Lindu.
- Jenis ini agresif ketika disentuh yaitu coba menggigit, lalu kabur. Jika disentuh lagi, ia melakukan gerakan serupa. Namun, setelah beberapa kali, strategi pertahanan dirinya berganti.
- Kelompok Lycodon sejak lama dikenal sebagai ular malam atau nocturnal. Aktivitasnya yang tersembunyi membuat keberadaannya jarang didokumentasikan. Di Sulawesi, ular ini bahkan hanya tercatat dalam publikasi terbatas, tanpa detil ekologi.
- Ular cecak sulawesi pertama dideskripsikan lebih seabad lalu, tetapi sampai sekarang belum ada evaluasi ulang menyeluruh. Sedangkan variasi warna yang ditemukan di alam cukup beragam, hitam polos, ada pula yang belang mirip Lycodon subcinctus.
Apa jadinya, bila ular yang selama ini dianggap menakutkan justru bagian penting ekosistem? Itulah kisah menarik ular cecak sulawesi (Lycodon stormi), reptil endemik yang berhasil didokumentasikan di lanskap hutan sekunder di Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Muh. Imam Ramdani, anggota komunitas Bogor Nature Wildlife Photography, orang yang beruntung merekam momen langka tersebut.
Tengah malam, di tepi sungai kecil berbatu vegetasi rapat, dia mendapati sosok ramping berwarna cokelat kekuningan itu melata perlahan.
“Saya temukan sekitar 10 meter dari aliran sungai kecil, sekitar jam 10 malam waktu setempat,” ujarnya, Kamis (2/10/2025).
Malam pertama, dia mendapati seekor individu. Malam berikutnya, satu individu lain terpantau menyebrang sungai selebar 3-5 meter dengan kedalaman tak lebih setengah meter.
“Karena dangkal, ular itu terlihat jelas di bebatuan.”
Demi mendapat visual yang baik, lelaki ini harus mendekat dan sempat menyaksikan ular itu berusaha bersembunyi. Menariknya, dari dua individu yang ditemui, Imam melihat perbedaan corak pada tubuh mereka. Satu cokelat polos, sementara satu lagi lebih kontras.

Perilaku dan pertahanan diri
Dari pengamatan Imam, perilaku ular cecak sulawesi mirip kerabat dekatnya, ular cecak (Lycodon capucinus) maupun ular cecak belang Lycodon subcinctus yang umum dijumpai di Kepulauan Sunda Besar.
Jenis ini agresif ketika disentuh: coba menggigit, lalu kabur. Jika disentuh lagi, ia melakukan gerakan serupa. Namun, setelah beberapa kali, strategi pertahanan dirinya berganti.
“Tubuhnya melingkar dan menyembunyikan kepala di bawah badan. Perilaku ini bentuk adaptasi untuk mengurangi risiko serangan predator.”
Meski termasuk kelompok ular kolubrid, spesies ini tak sepopuler ular piton (Pythonidae) atau kobra (Naja) dalam literatur maupun dokumentasi publik.
Minimnya publikasi, membuat Imam menjadikan reptil berdarah dingin ini sebagai target utama pencariannya. Dia pernah mencarinya di Gorontalo, namun tak membuahkan hasil.
“Setahu saya, dokumentasi visual ular ini di internet hampir tidak ada. Hanya tercatat di buku lapangan, itu pun terbit tahun 2005.”
Dengan temuannya, Imam yang sudah dokumentasikan ratusan jenis herpetofauna berharap, bisa memperluas informasi persebaran ular cecak Sulawesi.
“Di buku hanya tercatat di Sulawesi Utara dan Lore Lindu. Ternyata di Morowali ada, jadi menambah catatan distribusinya,” jelasnya, mengacu literatur “The Snakes of Sulawesi A Field Guide Land Snake of Sulawesi with Identification Keys” karangan Ruud de Lang dan Gernot Vogel.
Dalam catatan mereka, tidak ada kejelasan rinci terkait sifat ular ini. Namun secara umum, Genus Lycodon bersifat krepuskular hingga nokturnal dan menghuni berbagai tipe habitat.
“Semua ular dari genus ini bersifat teresterial, tetapi juga pemanjat ulung,” jelas buku setebal 324 halaman tersebut.
Mangsanya kadal, katak, serangga, dan ular dengan spesies lebih kecil juga. Ular muda mempunyai warna lebih intens dan pola lebih kontras. Semua spesies bersifat ovipar, tidak berbisa, dan tidak berbahaya.

Ancaman yang bayangi habitat
Imam menuturkan, perjumpaannya dengan ular ini di area hutan sekunder yang berbatasan langsung dengan bekas tambang nikel. Namun, aktivitas pembukaan lahan di hulu sungai serta wilayah reklamasi, berpotensi mengganggu kelestarian habitat ular dengan karakter kepala sangat cekung ini.
“Saya lihat bekas sedimentasi dari pengerukan tanah di hulu. Itu bisa berdampak ke aliran sungai tempat ular ditemukan.”
Ada kemungkinan, habitat sekunder yang kini tampak aman, akan berubah fungsi jika tekanan industri meningkat. Padahal, keberadaannya bisa jadi jendela edukasi bagi masyarakat luas yang selama ini menganggap semua ular berbahaya.
“Ular berperan menjaga keseimbangan ekosistem serta pengendali alami serangga dan hewan kecil lain,” paparnya.

Informasi masih terbatas
Amir Hamidy, Profesor Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, menjelaskan informasi ilmiah ular cecak sulawesi masih sangat terbatas.
Kelompok Lycodon sejak lama dikenal sebagai ular malam atau nocturnal. Aktivitasnya yang tersembunyi membuat keberadaannya jarang didokumentasikan. Di Sulawesi, ular ini bahkan hanya tercatat dalam publikasi terbatas, tanpa detil ekologi.
Permasalahan utama datang dari pendekatan ilmiah yang digunakan. Selama ini, banyak deskripsi ular hanya didasarkan pada perbedaan morfologi kecil: jumlah sisik, pola belang, atau variasi warna.
“Misalnya beda sisi, orang langsung cepat memberi nama. Akibatnya, nama ular itu banyak, tapi ada juga yang akhirnya disinonimkan,” ujarnya, Minggu (5/10/2025).

Ular cecak sulawesi, katanya, pertama dideskripsikan lebih seabad lalu, tetapi sampai sekarang belum ada evaluasi ulang menyeluruh. Sedangkan variasi warna yang ditemukan di alam cukup beragam, hitam polos, ada pula yang belang mirip Lycodon subcinctus. Perbedaan ini sempat memunculkan kerancuan identifikasi.
“Karena nokturnal, yang mempelajari kelompok ini tidak banyak. Belum pernah juga disekuen secara molekular untuk membandingkan populasi di seluruh Indonesia. Bisa jadi nanti valid sebagai spesies sendiri, bisa juga disinonimkan dengan spesies lain.”
Artinya, status taksonomi ular ini masih ‘menggantung’. Secara ilmiah, namanya valid, namun untuk memastikan apakah benar-benar spesies tersendiri atau bagian dari kelompok lain, dibutuhkan kajian molekuler, ekologi, dan morfologi lebih lengkap.
Minimnya studi jenis ini, tak lepas dari sedikitnya penelitian yang fokus pada kelompok Lycodon. Untuk itu, perlunya regenerasi peneliti muda, khususnya dari Sulawesi, agar kekayaan endemik daerah mereka bisa terungkap lebih banyak.
“Kami dengan senang hati memimpin studi ini, bila ada mahasiswa Sulawesi yang tertarik. Sebab, status taksonominya penting untuk dievaluasi ulang. Dengan itu, bisa ditentukan langkah konservasi yang tepat,” tuturnya.
*****