- Suara paus berfrekuensi 52 hertz pertama kali terdeteksi pada akhir 1980-an oleh Angkatan Laut AS di Samudra Pasifik dan sejak itu dikenal sebagai Whale 52 Hz, paus paling kesepian di dunia karena tidak ada paus lain yang menjawab panggilannya.
- Riset terbaru menunjukkan paus ini mungkin bukan individu tunggal, karena analisis akustik dan teknologi kecerdasan buatan mendeteksi lebih dari satu panggilan serupa, sementara metode environmental DNA kini digunakan untuk mengidentifikasi spesiesnya.
- Studi tahun 2024–2025 juga menemukan bahwa struktur laring paus baleen membatasi kemampuan mereka untuk mengubah frekuensi suara, sehingga kebisingan kapal menjadi ancaman besar bagi komunikasi paus dan menegaskan perlunya pengurangan kebisingan laut secara global.
Pada akhir 1980-an, jaringan mikrofon bawah laut milik Angkatan Laut Amerika Serikat menangkap suara yang tidak dikenal di Samudra Pasifik. Frekuensinya sekitar 52 hertz, lebih tinggi dari suara paus biru maupun paus sirip. Suara itu muncul di tengah kebisingan kapal selam dan gelombang sonar yang digunakan untuk memantau aktivitas militer. Awalnya, para teknisi mengira itu gangguan sinyal. Namun setelah dianalisis, suara itu memiliki pola teratur yang menyerupai panggilan paus.
Dalam beberapa tahun berikutnya, suara ini terus muncul. Posisinya berpindah mengikuti musim, dari wilayah utara dekat Alaska hingga ke pesisir California. Frekuensinya tetap sama, sekitar 52 hertz, tanpa variasi besar. Setiap kali terdengar, tidak ada suara lain yang menjawabnya. Para ilmuwan mulai menduga bahwa panggilan itu berasal dari seekor paus yang unik dan berbeda dari spesies lain.
Sumber suara ini kemudian dijuluki Whale 52 Hz (Paus 52 Hz). Selama lebih dari tiga dekade, para peneliti hanya bisa merekam suaranya tanpa pernah melihat wujudnya. Frekuensi panggilannya berada di luar jangkauan komunikasi paus lain yang biasanya di bawah 40 hertz. Karena itu, paus ini dijuluki paus paling kesepian di dunia, simbol dari individu yang terus memanggil tanpa balasan di samudra yang luas.
Pola migrasinya panjang dan konsisten. Rekaman menunjukkan rute tahunan dari utara ke selatan Pasifik, sejalan dengan jalur migrasi paus biru dan paus sirip. Namun, tidak ada bukti paus lain yang membalas panggilannya.
Siapa Sebenarnya Whale 52 Hz (Paus 52 Hz)
Selama lebih dari tiga dekade, para ilmuwan mencoba menjawab satu pertanyaan sederhana namun rumit: siapa sebenarnya Whale 52 Hz (Paus 52 Hz)? Dari semua paus yang pernah dipelajari, tidak ada yang memiliki suara dengan frekuensi setinggi ini. Karena tidak pernah terlihat, para peneliti hanya bisa menebak identitasnya dari pola suara, lokasi migrasi, dan perilaku akustiknya.
Teori pertama yang paling banyak dibahas menyebut Paus 52 Hz mungkin merupakan hasil hibrida antara paus biru (Balaenoptera musculus) dan paus sirip (Balaenoptera physalus). Kedua spesies ini diketahui bisa menghasilkan keturunan campuran di alam liar, dan anak hibrida sering menunjukkan karakteristik campuran dari induknya. Paus biru dikenal memiliki panggilan dengan frekuensi rendah dan ritme lambat, sementara paus sirip memiliki pola panggilan yang lebih cepat dan tinggi. Frekuensi 52 hertz yang dimiliki paus misterius ini berada di antara keduanya, cukup tinggi untuk tidak dikenali sebagai paus biru, tetapi juga terlalu unik untuk dikategorikan sebagai paus sirip.
Namun tidak semua ilmuwan sepakat. Sebagian berpendapat bahwa paus ini bukan hibrida, melainkan individu dari spesies tertentu yang mengalami kelainan anatomi pada organ vokal. Paus baleen menghasilkan suara melalui getaran jaringan lemak dan lipatan di laring, bukan pita suara seperti manusia. Jika struktur ini berbeda sedikit saja, misalnya lebih tebal, lebih pendek, atau memiliki tekanan udara berbeda, hasilnya bisa menjadi frekuensi suara yang tidak lazim. Dalam kasus Paus 52 Hz, perbedaan kecil pada anatomi ini mungkin membuat suaranya tak bisa didengar oleh paus lain, menyebabkan ia hidup dalam “isolasi akustik.”
Rekaman jangka panjang menunjukkan bahwa frekuensi panggilan paus ini perlahan menurun dari 52 menjadi sekitar 49 hertz dalam dua dekade terakhir. Fenomena ini menarik karena perubahan serupa juga ditemukan pada populasi paus biru di berbagai wilayah. Penurunan ini bisa disebabkan oleh faktor usia, perubahan tekanan laut, atau bahkan penyesuaian terhadap lingkungan akustik yang semakin bising. Bagi para peneliti, hal ini menandakan bahwa Paus 52 Hz masih hidup dan aktif bermigrasi, bukan sekadar legenda dari masa lalu.
Minat publik terhadap paus ini meningkat tajam setelah tahun 2021, ketika sutradara Joshua Zeman merilis film dokumenter berjudul The Loneliest Whale: The Search for 52. Film ini mengikuti perjalanan tim ilmuwan dan penyelam yang mencoba mencari sumber suara misterius tersebut. Dengan menggunakan jaringan hidrofon modern dan pemetaan akustik, mereka melacak panggilan 52 hertz di area laut terbuka yang sangat luas—tugas yang sulit karena kebisingan kapal dan arus yang berubah-ubah.

Selama ekspedisi, tim tidak menemukan paus yang dapat dipastikan sebagai sumber suara 52 Hz, tetapi mereka menemukan sesuatu yang tidak kalah penting: ada sinyal lain pada frekuensi serupa di lokasi berbeda. Temuan ini menimbulkan kemungkinan bahwa lebih dari satu paus berkomunikasi di frekuensi tersebut. Jika benar, maka Paus 52 Hz mungkin bukan satu-satunya individu dengan suara unik, melainkan bagian dari kelompok kecil paus dengan karakteristik akustik serupa yang belum dikenal sains.
Hasil penelitian dari ekspedisi ini juga menyoroti perubahan besar pada lingkungan akustik laut. Kebisingan kapal, pengeboran, dan sonar militer membuat banyak suara paus sulit terdengar bahkan oleh spesies mereka sendiri. Dalam konteks ini, Paus 52 Hz menjadi simbol dari perjuangan hewan laut untuk tetap “terdengar” di tengah lautan yang semakin ramai oleh aktivitas manusia.
Hingga kini, identitas biologis paus ini belum dapat dipastikan. Tidak ada bukti visual atau genetik yang mengonfirmasi apakah ia paus biru, sirip, atau spesies lain yang belum dikenali. Namun, keberlanjutan panggilannya selama lebih dari 30 tahun membuktikan satu hal: Paus 52 Hz masih ada, masih memanggil, dan suaranya terus menjadi misteri yang memikat para ilmuwan dan publik di seluruh dunia.
Bagaimana Oaus Baleen Menghasilkan Suara dan Ancaman Kebisingan Kapal
Penelitian baru membantu menjelaskan mengapa paus ini bisa memiliki suara unik. Studi yang diterbitkan di jurnal Nature pada 2024 menemukan bahwa paus baleen menghasilkan suara dengan cara berbeda dari mamalia darat. Mereka memiliki struktur laring berbentuk “U” yang menekan bantalan lemak di tenggorokan. Ketika udara dikeluarkan dari paru-paru, lipatan ini bergetar dan menghasilkan suara rendah yang dapat menempuh jarak ratusan kilometer.
Temuan ini juga menunjukkan bahwa paus baleen memiliki batas biologis dalam mengubah frekuensi suara. Mereka tidak dapat menaikkan atau menurunkan nada dengan mudah. Artinya, paus seperti Whale 52 Hz (Paus 52 Hz) yang memiliki struktur anatomi berbeda bisa menghasilkan suara di luar jangkauan komunikasi paus lain.
Studi lanjutan pada awal 2025 oleh Woods Hole Oceanographic Institution memperkuat temuan ini. Dengan menggunakan algoritma kecerdasan buatan, peneliti mendeteksi lebih dari satu pola suara 52 Hz yang terekam secara bersamaan di lokasi berbeda di Pasifik. Temuan ini membuka kemungkinan bahwa Whale 52 Hz (Paus 52 Hz) bukan individu tunggal, melainkan bagian dari kelompok kecil paus dengan karakteristik serupa.
Namun, kebisingan laut tetap menjadi ancaman besar. Penelitian di Frontiers in Marine Science menunjukkan bahwa suara mesin dan baling-baling kapal memiliki frekuensi yang sama dengan panggilan paus baleen. Kebisingan itu bisa menutupi panggilan paus dan mengganggu komunikasi mereka dalam jarak jauh. Dalam kasus Whale 52 Hz (Paus 52 Hz), gangguan ini dapat memperburuk isolasi akustik yang sudah dialaminya.
Bukti baru menunjukkan paus ini mungkin tidak benar-benar sendirian. Selain hasil analisis akustik, para ilmuwan kini menggunakan teknik environmental DNA (eDNA) untuk mencari jejak genetik di area tempat suara Whale 52 Hz (Paus 52 Hz) terdeteksi. Dengan menganalisis potongan DNA yang tertinggal di air laut, peneliti berharap dapat menemukan spesies paus yang menjadi sumber panggilan unik ini.
Upaya lain datang dari riset kebisingan laut di Kanada dan Australia. Penurunan kecepatan kapal hingga 20 persen terbukti mampu mengurangi kebisingan laut lebih dari 60 persen. Pengalihan rute pelayaran dari jalur migrasi paus juga membantu meningkatkan komunikasi akustik di laut. Langkah-langkah seperti ini bisa diterapkan di Indonesia, yang menjadi jalur penting migrasi paus biru, paus sirip, dan paus Bryde.
Whale 52 Hz kini bukan hanya cerita tentang kesepian. Ia adalah cermin dari bagaimana aktivitas manusia mengubah lanskap akustik laut. Suaranya yang terus terdengar selama lebih dari 30 tahun menjadi pengingat bahwa laut adalah ruang komunikasi yang hidup.
Mungkin Whale 52 Hz tidak benar-benar sendirian. Mungkin di kedalaman samudra ada paus lain yang menjawabnya dalam frekuensi yang sama. Namun, suara yang terus bergema itu juga bisa menjadi pesan dari laut bagi manusia: jangan biarkan kebisingan kita menenggelamkan suara kehidupan lain.