- Legenda Sura dan Baya di Surabaya ternyata punya dasar nyata karena hiu dan buaya memang kadang berinteraksi di alam liar, terutama di muara dan pantai.
- Penelitian di Australia mendokumentasikan hiu macan dan buaya air asin makan bangkai paus bersama tanpa konflik, tetapi ada juga bukti keduanya saling memangsa tergantung ukuran dan kondisi perairan.
- Hiu unggul di laut lepas dengan kecepatan dan gigi tajam, sementara buaya lebih kuat di perairan dangkal dengan rahang dan taktik penyergapan; dalam banyak kasus mereka justru saling menghindar.
Legenda tentang pertempuran antara Sura, sang hiu, dan Baya, sang buaya, sudah berabad-abad hidup dalam cerita rakyat Jawa Timur. Kisah ini bukan sekadar dongeng, melainkan bagian dari identitas sebuah kota besar di Indonesia, Surabaya. Dalam cerita itu, kedua hewan raksasa bertarung sengit untuk memperebutkan wilayah. Pertarungan berlangsung dramatis hingga keduanya terluka, lalu akhirnya buaya tetap menguasai daratan sementara hiu kembali ke lautan.

Masyarakat memaknai legenda ini sebagai simbol keberanian, kekuatan, dan tekad untuk bertahan. Nama Surabaya sendiri diyakini berasal dari gabungan “sura” yang berarti hiu dan “baya” yang berarti buaya. Seiring waktu, legenda tersebut menjadi bagian dari narasi budaya yang menegaskan jati diri kota pelabuhan ini. Meski sering dianggap mitos, cerita Sura dan Baya masih relevan, bahkan digunakan dalam simbol resmi pemerintah kota.
Yang menarik, kisah tentang hiu dan buaya ternyata tidak sepenuhnya hanya ada di ranah legenda. Penelitian ilmiah dan pengamatan di alam liar menunjukkan bahwa interaksi nyata antara kedua predator besar ini memang ada. Mereka kadang bertemu di habitat yang sama, bersaing mencari makanan, bahkan dalam beberapa kasus saling memangsa. Hal ini menjadikan kisah klasik Surabaya terasa lebih hidup, karena ternyata ada dasar biologis yang mendukung cerita pertempuran dua predator puncak tersebut.
Dua Predator yang Berbagi Habitat
Hiu dan buaya sama-sama menempati posisi sebagai predator puncak. Keduanya berada di puncak rantai makanan dengan sedikit sekali ancaman dari hewan lain. Meski berasal dari kelompok hewan yang berbeda, keduanya sering berbagi wilayah. Hiu dikenal sebagai penguasa laut, sedangkan buaya air asin, spesies buaya terbesar di dunia, mampu hidup di air tawar maupun laut. Tidak jarang, mereka bertemu di muara sungai atau perairan pantai yang menjadi titik temu dua dunia.
Perjumpaan itu menciptakan dinamika unik. Hiu biasanya memanfaatkan kecepatan dan indra elektrosensorinya untuk mencari mangsa. Sebaliknya, buaya mengandalkan strategi penyergapan dengan rahang yang sangat kuat. Perbedaan gaya berburu ini justru membuat interaksi mereka semakin menarik. Terkadang, ketika sumber makanan melimpah, mereka bisa terlihat tenang berdampingan. Namun dalam situasi lain, terutama ketika makanan terbatas, persaingan bisa berubah menjadi konflik mematikan.
Pertemuan Nyata Hiu vs Buaya
Pada tahun 2017, ilmuwan dan fotografer berhasil mendokumentasikan peristiwa langka di Kimberley, Australia Barat. Seekor buaya air asin dan beberapa ekor hiu macan terekam kamera sedang memakan bangkai paus bungkuk. Studi yang diterbitkan di Journal of Ethology menegaskan bahwa ini adalah pertama kalinya buaya air asin terlibat dalam aktivitas makan bersama hiu pada bangkai paus.
Fenomena ini membuka pemahaman baru tentang fleksibilitas dua predator besar tersebut. Interaksi yang tadinya diperkirakan selalu penuh konflik ternyata bisa menunjukkan pola toleransi. Saat sumber makanan sangat melimpah, keduanya tidak menghabiskan energi untuk bertarung, melainkan memilih berbagi. Bagi peneliti, temuan ini sangat penting karena menunjukkan bahwa predator puncak juga dapat menunjukkan perilaku koeksistensi.
Jika skenario pertempuran benar-benar terjadi, siapa yang akan menang? Jawaban ini tidak sederhana, karena bergantung pada banyak faktor seperti ukuran, spesies, serta kondisi lingkungan. Hiu putih besar misalnya, mampu tumbuh hingga enam meter dengan berat dua ton. Sementara itu, buaya air asin bisa mencapai panjang tujuh meter dengan berat hampir satu ton. Ukuran yang besar jelas memberikan keuntungan dalam pertarungan fisik.
Dari sisi senjata alami, keduanya sama-sama menakutkan. Hiu memiliki gigi bergerigi yang terus-menerus terganti, tajam layaknya pisau untuk merobek daging. Kecepatan renangnya bisa mencapai 50 kilometer per jam, membuatnya unggul dalam perairan dalam. Buaya memiliki gigitan yang sangat kuat, dengan tekanan hampir setara hiu, serta kulit tebal yang berfungsi sebagai pelindung. Di perairan dangkal atau muara, buaya lebih unggul karena mampu menyergap dengan tiba-tiba dan menggunakan teknik death roll untuk melumpuhkan mangsa.
Bukti Hiu dan Buaya Saling Memangsa
Catatan ilmiah tentang buaya memangsa hiu memang jarang, tetapi ada beberapa dokumentasi dari lapangan yang cukup meyakinkan. Salah satu yang paling terkenal adalah rekaman dari perairan Kimberley, Australia Barat, tahun 2017. Saat itu, drone merekam buaya air asin ikut serta memakan bangkai paus bersama hiu macan. Dalam rekaman tersebut terlihat hiu menjauh setiap kali buaya mendekat, menunjukkan dominasi reptil besar itu terhadap hiu dalam situasi tertentu.
Keberhasilan buaya memangsa hiu tidak terlepas dari strategi serangannya. Berbeda dengan hiu yang mengandalkan kecepatan, buaya mampu menunggu dengan sabar hingga saat yang tepat. Begitu mangsa berada dalam jangkauan, gigitan kuat langsung menutup kemungkinan melarikan diri. Kombinasi antara kekuatan fisik dan taktik penyergapan menjadikan buaya predator yang sangat efektif di habitatnya.
Meski demikian, ada pula kasus sebaliknya. Pada tahun 2013, di pantai St. Lucia, Afrika Selatan, ditemukan kepala buaya terputus yang panjangnya hampir satu meter. Analisis bekas luka pada kepala tersebut menunjukkan tanda gigitan hiu, kemungkinan besar hiu putih besar. Dari ukuran kepala, buaya itu diperkirakan sepanjang tiga setengah meter. Dengan kemampuan hiu putih yang bisa tumbuh hingga enam meter, serangan semacam ini sangat mungkin terjadi.

Kondisi perairan terbuka memberi keuntungan besar bagi hiu. Mereka bisa menyerang dari bawah dengan kecepatan tinggi, memberikan kejutan mematikan sebelum buaya sempat merespons. Kasus buaya yang menjadi mangsa hiu memang jarang terdokumentasi, namun bukti seperti di St. Lucia memperlihatkan bahwa pertarungan di alam liar tidak selalu dimenangkan oleh buaya.
Lebih Sering Menghindar daripada Bertarung
Walaupun ada bukti bahwa keduanya bisa saling memangsa, kenyataan di lapangan justru menunjukkan bahwa hiu dan buaya lebih sering menghindar daripada bertarung. Rekaman drone di Kimberley pada 2020 memperlihatkan seekor hiu banteng berbelok tajam ketika mendekati buaya raksasa sepanjang hampir lima meter. Hiu tampaknya menyadari risiko besar jika memaksakan diri melawan reptil berukuran lebih besar.
Baik hiu maupun buaya memiliki sensor yang sangat peka untuk mendeteksi gerakan di air. Hiu menggunakan garis lateral yang membentang dari kepala hingga ekor, sementara buaya memiliki reseptor tekanan di kulitnya. Mekanisme ini memungkinkan mereka menyadari kehadiran lawan bahkan sebelum berhadapan langsung. Dengan keunggulan ini, keduanya bisa membuat keputusan cepat: menyerang, bertahan, atau menjauh. Dalam banyak kasus, pilihan untuk mundur terbukti lebih menguntungkan.