Saat ini, kita hidup di tengah status darurat ekologis global. Dunia menghadapi apa yang oleh PBB sebut sebagai triple planetary crisis, yaitu, krisis iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, serta polusi kimia dan limbah.
Ketiga krisis ini saling terkait, saling memperparah, dan memicu keruntuhan ekosistem yang menopang kehidupan di bumi. Data IPCC menunjukkan, suhu global meningkat sekitar 1,45 °C dibandingkan era praindustri. Ia membawa konsekuensi langsung berupa gelombang panas, kebakaran hutan, kekeringan ekstrem, banjir bandang, dan gangguan sistem pangan global.
Indonesia dengan posisi geografis di jalur cincin api dan wilayah pesisir yang luas menjadi salah satu negara paling rentan. Walhi mencatat, 83% wilayah Indonesia rawan bencana, sementara mayoritas masyarakat tak siap menghadapinya.
Bencana ekologis kini bukan lagi sekadar peristiwa acak, ia menjelma menjadi siklus tahunan yang terus berulang.
Banjir, kebakaran hutan dan bencana ekologis lainnya di Sumatera, Kalimantan, hingga Papua, menjadi nyanyian kelam yang terus bergema.
Dampak terbesar dari bencana ekologis tentu saja dirasakan masyarakat adat, masyarakat miskin di pedesaan maupun perkotaan, kelompok nelayan tradisional. Serta mereka yang hidup di garis depan wilayah terdegradasi, yang sehari-hari harus berjuang menghadapi penurunan daya dukung lingkungan dan meningkatnya pencemaran yang mengancam kelangsungan hidup mereka.
Ironisnya, suara mereka nyaris tak terdengar. Di tengah hiruk-pikuk kebijakan dan pembangunan, jeritan mereka tenggelam, seolah tak layak untuk terdengar. Padahal, merekalah yang paling tahu arti kehilangan, seperti kehilangan tanah, udara bersih, air yang layak dan harapan masa depan.

Krisis tak terjadi di ruang hampa
Krisis ekologis global dan nasional tak berdiri sendiri. Ia lahir dan beroperasi dalam kerangka politik-ekonomi yang timpang, di mana dominasi oligarki, proyek pembangunan ekstraktif, serta sistem hukum yang bias pada kepentingan modal makin memperparah kerusakan lingkungan dan memperdalam ketidakadilan sosial.
Pengalaman di Rempang dan Merauke, menggambarkan paradoks ini. Proyek strategis nasional yang pemerintah klaim untuk “kepentingan umum” justru mengorbankan masyarakat adat, memicu konflik agraria, dan merusak ekosistem yang terjaga selama beberapa generasi hingga saat ini.
Pola yang sama terus berulang, dengan mengedepankan kepentingan ekonomi-politik jangka pendek yang mengorbankan keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial, menciptakan lingkaran krisis yang sulit diputus.
Sejarah menunjukkan bahwa, relasi kuasa antara manusia dan alam telah bergeser jauh dari harmoni menjadi dominasi. Pandangan antroposentris yang menempatkan manusia di pusat, dengan hak istimewa untuk mengeksploitasi alam, telah terinstitusionalisasi dalam hukum, kebijakan dan praktik pembangunan.
Di bawah kapitalisme global, alam tereduksi menjadi “komoditas mentah” dan “cadangan siap pakai,” kehilangan nilai intrinsiknya dan semata-mata sebagai objek untuk memenuhi akumulasi modal.

Mengapa keadilan ekologis?
Di tengah krisis ini, keadilan ekologis muncul sebagai paradigma tanding yang melampaui keadilan lingkungan konvensional.
Kalau keadilan lingkungan fokus pada distribusi beban dan manfaat lingkungan di antara manusia, maka keadilan ekologis melangkah lebih jauh dan menyentuh akar persoalan.
Pertama, keadilan ekologis mengakui hak entitas non-manusia seperti hutan, sungai, satwa liar, dan keanekaragaman hayati lain untuk hidup dan berkembang tanpa harus diukur dari manfaat ekonominya bagi manusia.
Pengakuan ini sudah mendapatkan momentum global, misal, melalui pengakuan hak hukum bagi Sungai Whanganui di Selandia Baru dan Hutan Amazon, di beberapa yurisdiksi Amerika Latin. Ia jadi preseden penting dalam hukum lingkungan internasional.
Kedua, menolak model pembangunan eksploitatif yang berorientasi pada pertumbuhan tanpa batas. Dalam kerangka ini, pertumbuhan ekonomi yang mengorbankan ekosistem dianggap bukan kemajuan, melainkan kemunduran yang terbungkus retorika pembangunan.
Kritik ini relevan untuk konteks Indonesia, di mana proyek-proyek skala besar seperti tambang, perkebunan monokultur dan infrastruktur dan industri ekstraktif lainnya seringkali merampas ruang hidup masyarakat adat, petani dan kelompok masyarakat rentan lain dan menghancurkan fungsi ekologis kawasan.
Ketiga, keadilan ekologis menegakkan keberlanjutan lintas generasi, memastikan generasi mendatang tidak mewarisi bumi rusak, tercemar, dan kehilangan daya dukungnya. Prinsip ini sejalan dengan amanat konstitusi yang menjamin lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi seluruh warga negara, kini dan nanti.
Keempat, keadilan ekologis mengintegrasikan seluruh lapisan kelas sosial ke dalam prinsip keadilan sosial, politik dan ekonomi dalam kerangka advokasi lingkungan. Krisis ekologis tak pernah netral terhadap kelas sosial terutama pada kelompok miskin dan terpinggirkan yang secara sistematis menanggung dampak paling berat. Sementara mereka memiliki akses paling sedikit untuk melakukan pemulihan.
Dalam titik inilah, keadilan ekologis bersinggungan dengan gerakan petani, masyarakat adat, feminis, gerakan buruh, gerakan hak asasi manusia dan gerakan masyarakat lainnya untuk membangun solidaritas lintas isu yang saling menguatkan.
Keadilan ekologis menantang akar struktural ketidakadilan, mulai dari paradigma antroposentris yang menempatkan manusia di puncak hierarki kehidupan, hingga struktur ekonomi-politik global yang mendorong ekstraktivisme dan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir elit.
Ia mengajak kita keluar dari narasi “manusia sebagai penguasa alam” menuju pemahaman bahwa, manusia adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem, bergantung pada keseimbangan dan kelestarian seluruh makhluk hidup.
Lebih dari itu, keadilan ekologis menawarkan peta jalan untuk transformasi sistemik dengan membangun kebijakan publik yang berpihak pada keberlanjutan, mereformasi hukum agar mengakui hak alam, serta mendorong perubahan budaya yang menghargai keterhubungan seluruh kehidupan.

Dimensi sosial dalam keadilan ekologis
Dalam diskusi panjang di internal gerakan lingkungan, termasuk pada workshop penyusunan Naskah Deklarasi Hari Keadilan Ekologis Sedunia dengan inisiasi Walhi, muncul pertanyaan fundamental, apakah yang dimaksud adalah “keadilan ekologis” atau “keadilan sosial-ekologis?” Apakah kita akan memakai keadilan ekologis atau keadilan sosial-ekologis?
Bagi sebagian kita, menambahkan kata “sosial” penting untuk menegaskan bahwa ketidakadilan ekologis hampir selalu terkait dengan ketidakadilan sosial. Perampasan tanah, pencemaran industri, dan krisis pangan tidak hanya merusak alam, juga menghancurkan struktur sosial dan ekonomi komunitas.
Sisi lain, ada pandangan bahwa keadilan ekologis sudah mencakup dimensi sosial secara inheren hingga penegasan cukup di dalam narasi, strategi dan praktik, tanpa harus mengubah istilah.
Perbedaan dan perdebatan ini penting, di tengah perbedaan itu, ada satu kesepahaman yang mempersatukan bahwa keadilan ekologis tidak mungkin terwujud tanpa keadilan sosial dan ekonomi.
Keduanya adalah satu tarikan napas dalam perjuangan yang sama, yaitu, perjuangan untuk memastikan bumi lestari dan kehidupan bermartabat bagi semua.

Pengakuan hak alam dari etika ke kebijakan
Gagasan bahwa alam memiliki hak (environmental rights atau rights of nature) bukan sekadar retorika moral. Konsep ini lahir dari kesadaran bahwa manusia bukan satu-satunya subjek yang memiliki kepentingan di bumi.
Negara seperti Ekuador dan Bolivia, telah memasukkan secara eksplisit ke dalam konstitusi, mengakui hak alam untuk eksis, berkembang, dan beregenerasi.
Di beberapa yurisdiksi lain, seperti Selandia Baru, sungai dan hutan telah diberi status hukum sebagai entitas yang dapat “diwakili” di pengadilan, hingga kerusakan yang menimpa mereka bisa kena proses sebagai pelanggaran hak, bukan sekadar pelanggaran administratif atau kontrak.
Di Indonesia, konstitusi memang mengakui hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28H UUD 1945) serta mandat pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 UUD 1945). Namun, hingga kini belum ada pengakuan eksplisit bahwa alam, sebagai entitas, memiliki hak melekat.
Tanpa pengakuan ini, kerusakan ekosistem kerap terukur hanya dari kerugian ekonomi manusia, dengan melihat berapa nilai kayu yang hilang, berapa potensi tambang yang tak tergarap, tetapi bukan dari hilangnya fungsi ekologis, keanekaragaman hayati, atau nilai intrinsik alam itu sendiri.

Pelajaran dari krisis dan perlawanan di tapak
Kisah-kisah dari lapangan memberi wajah nyata tentang perampasan dan ketidakadilan ekologis yang masyarakat alami.
Kisah di Rempang, misal, menunjukkan bagaimana warga menolak penggusuran demi proyek industri, bahkan menyatakan “siap mati” untuk mempertahankan tanah leluhur mereka.
Di Merauke, proyek food estate mengancam lebih dari sejuta hektar wilayah adat, memusnahkan hutan dan mengubah lanskap ekologis yang selama ini menopang kehidupan masyarakat.
Kedua kisah ini, dan kisah-kisah lain yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia, memperlihatkan di balik jargon pembangunan dan modernisasi, terdapat narasi perjuangan, kehilangan dan ketidakadilan yang terus membayangi mereka yang hidup paling dekat dengan alam.
Situasi-situasi ini memperlihatkan bahwa ketidakadilan ekologis bukanlah fenomena yang terisolasi, melainkan bagian dari pola berulang di berbagai wilayah dan justru melahirkan gelombang perlawanan yang mengakar di tengah masyarakat.
Gerakan lingkungan di Indonesia sudah lama menunjukkan bentuk-bentuk ketidakadilan ekologis. Meski istilahnya bervariasi, dari perlawanan tambang di Tumpang Pitu, blokade jalan tambang di Kalimantan, hingga advokasi hak masyarakat adat atas wilayah adatnya. Setiap aksi dan inisiatif ini menunjukkan, keadilan ekologis bukan sekadar konsep, melainkan praksis hidup dan bernapas di tapak.
Ia tergerak oleh kesadaran bahwa masa depan lingkungan dan komunitas saling terkait. Dari berbagai bentuk perlawanan itulah, kita belajar bahwa perjuangan mempertahankan lingkungan tak hanya berkaitan dengan ruang hidup, juga kelangsungan identitas, budaya, dan martabat komunitas.
Pengalaman-pengalaman ini mengajarkan, bahwa, mempertahankan ekosistem berarti juga mempertahankan kedaulatan pangan, menjaga kesinambungan budaya, dan menegakkan hak hidup komunitas.
Perlawanan di tapak menjadi benteng terakhir yang menjaga bumi tetap layak huni, sekaligus jadi sumber inspirasi bagi gerakan yang lebih luas untuk menuntut perubahan kebijakan di tingkat nasional maupun global. Inilah bukti bahwa, perjuangan lokal, ketika dihubungkan dengan kesadaran kolektif yang lebih besar, mampu menjadi kekuatan yang mendorong transformasi menuju masa depan adil dan berkelanjutan bagi semua generasi.

Menuju Hari Keadilan Ekologis, momentum kolektif untuk transformasi global
Deklarasi Hari Keadilan Ekologis yang akan digulirkan pada Pekan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) 2025 di Sumba adalah upaya mengonsolidasikan gerakan ini.
Tujuannya, bukan sekadar menambah daftar peringatan hari-hari lingkungan, tetapi menciptakan momentum perubahan paradigma dengan menggeser arah pembangunan dari eksploitatif menjadi berkeadilan ekologis.
Momentum ini penting bukan hanya sebagai seruan simbolis, tetapi langkah strategis mengembalikan narasi bencana ekologis pada perspektif keadilan. Hingga isu kerusakan lingkungan tak lagi semata dari kerugian ekonomi atau teknis, melainkan dampak struktural terhadap hak-hak hidup manusia dan entitas non-manusia.
Saat sama, momentum ini harus mampu menggalang solidaritas lintas sektor dengan menghubungkan gerakan lingkungan, gerakan sosial, komunitas masyarakat adat, petani, nelayan, akademisi, pekerja seni, generasi muda, dan kelompok rentan dalam satu arus perjuangan bersama.
Lebih jauh, penting pula mendorong pengakuan formal Hari Keadilan Ekologis di tingkat nasional maupun global, agar nilai-nilai keadilan ekologis tak hanya hidup dalam ruang advokasi masyarakat sipil. Ia juga diakui dan terintegrasi dalam kebijakan negara serta menjadi bagian dari kesepakatan internasional yang mengikat.
Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa, deklarasi tanpa strategi tindak lanjut sering kali berakhir menjadi simbol kosong yang seiring waktu kehilangan daya dorong. Tantangan terbesar adalah memastikan bahwa Hari Keadilan Ekologis benar-benar memiliki daya gerak dan dampak konkret yang masyarakat dan lingkungan rasakan.
Untuk itu, perlu langkah-langkah strategis saling menguatkan. Langkah-langkah itu, pertama, menyusun naskah akademik yang memetakan secara komprehensif berbagai bentuk ketidakadilan ekologis di Indonesia sebagai dasar argumentasi yang kokoh.
Kedua, mengintegrasikan dimensi sosial, ekonomi, dan politik ke dalam setiap strategi advokasi agar gerakan ini memiliki cakupan luas dan relevansi lintas sektor.
Ketiga, merancang aksi publik serentak di berbagai wilayah untuk membangun gaung nasional sekaligus menunjukkan kekuatan kolektif masyarakat.
Keempat, mendorong pengakuan hukum atas hak-hak alam sebagai pijakan kebijakan yang dapat mengikat pemerintah dan sektor swasta untuk menghentikan praktik-praktik destruktif terhadap lingkungan.

Kelima, pesan keadilan ekologis harus disampaikan dalam bahasa yang menyentuh emosi, memanggil empati, dan memicu partisipasi terutama di kalangan anak muda yang merupakan mayoritas demografi Indonesia.
Keadilan ekologis juga terhubung dengan perdebatan global tentang keadilan iklim, transisi energi berkeadilan, dan pengakuan hak alam.
Forum internasional seperti COP dan UN Biodiversity Conference memberi ruang bagi narasi ini, tetapi hanya jika gerakan di akar rumput cukup kuat.
Indonesia memiliki posisi strategis memimpin wacana ini di tingkat global, asalkan komitmen politik di dalam negeri selaras dengan tuntutan masyarakat sipil.
Kita tidak bisa menunggu hingga “kiamat ekologis” datang dalam bentuk spektakuler. Dalam kenyataannya, kiamat itu sudah berjalan diam-diam namun pasti. Setiap hektar hutan yang hilang, setiap sungai tercemar, setiap spesies punah, adalah bagian dari proses itu. Seperti Paus Fransiskus ingatkan dalam Laudato Si,’ krisis ekologis adalah krisis moral.
Pertobatan ekologis yang dia serukan menuntut perubahan paradigma, dari melihat alam sebagai objek eksploitasi menjadi subjek setara dalam komunitas kehidupan.
Keadilan ekologis bukan tujuan akhir, melainkan proses transformasi sosial-ekologis yang berkelanjutan. Ia menuntut keberanian untuk menantang struktur kekuasaan yang menghancurkan alam, mengakui hak-hak entitas non-manusia dan membangun sistem ekonomi-politik yang berpihak pada keberlanjutan dan kesetaraan lintas generasi.
Deklarasi Hari Keadilan Ekologis, bisa menjadi tonggak perjalanan panjang ini, asal disertai strategi, aksi kolektif dan komitmen untuk mengakar di komunitas.
Di tengah krisis global, keadilan ekologis ini adalah satu-satunya jalan untuk memastikan masa depan layak huni.
*Penulis: Ferry Widodo, Manajer Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat Eksekutif Nasional Walhi. Tulisan ini merupakan opini penulis.
*****
Opini: Revisi UU Kehutanan, Ancaman Keadilan Ekologis dan Hak Masyarakat