Revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI tahun 2025. Pemerintah menyatakan bahwa revisi ini diperlukan untuk menyelaraskan tata kelola kehutanan nasional dengan perkembangan regulasi dan kebijakan pembangunan, termasuk harmonisasi dengan Undang-Undang Cipta Kerja serta penguatan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Namun, proses revisi yang dijalankan secara terburu-buru, tertutup, dan minim partisipasi publik menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan masyarakat sipil. Alih-alih memperkuat perlindungan hutan dan pengakuan hak Masyarakat Adat serta komunitas lokal, revisi ini justru dapat terjerumus dan dikhawatirkan membuka ruang yang lebih luas bagi ekspansi industri ekstraktif ke dalam kawasan hutan melalui jalur legal-formal yang diperlonggar.
Konteks kebijakan ini, -setelah lebih dari dua dekade UU Kehutanan diberlakan, hadir dalam situasi di mana tekanan terhadap kawasan hutan terus meningkat. Sektor kehutanan kini berada dalam pusaran ekspansi investasi berbasis lahan, termasuk perkebunan sawit, pertambangan, proyek ketahanan pangan dan energi, yang dilegitimasi oleh kerangka deregulasi dalam UU Cipta Kerja.
Menurut data resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), deforestasi Indonesia pada tahun 2024 tercatat sebesar 175.400 hektar, meningkat dari 121.100 hektar pada tahun sebelumnya dimana sekitar 69,3% deforestasi tersebut terjadi di dalam kawasan hutan.
Jika dibandingkan dengan data Auriga Nusantara angka deforestasi adalah 261.575 hektar, yang disebut sebagian besar kehilangannya terjadi di area konsesi industri besar.

Berlawanan dengan Komitmen Global Indonesia
Arah revisi UU Kehutanan yang menekankan kepada skema multiusaha kehutanan (MUK), perdagangan karbon, serta fleksibilitas izin pemanfaatan kawasan hutan tanpa memperjelas perlindungan sosial-ekologis, jelas bertentangan dengan komitmen internasional Indonesia dalam Perjanjian Paris dan dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC).
Dalam dokumen ENDC yang disampaikan Indonesia kepada UNFCCC pada Juli 2022 lalu, pemerintah menyatakan target penurunan emisi sebesar 31,89% secara mandiri dan 43,20% dengan dukungan internasional, dengan sektor kehutanan melalui strategi FOLU Net Sink 2030 sebagai sektor utama penurunan emisi.
Namun, revisi UU Kehutanan ini justru mengandung risiko tinggi terhadap pencapaian target FOLU Net Sink tersebut, karena membuka kembali ruang legalisasi deforestasi dan ekspansi usaha atas nama restorasi atau mitigasi iklim tanpa perlindungan yang memadai pada kawasan bernilai konservasi tinggi dan wilayah kelola rakyat.
Di sisi lain, hak konstitusional Masyarakat Adat atas wilayah kelola mereka masih belum terjamin secara eksplisit dalam substansi revisi. Padahal Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 telah menyatakan bahwa Hutan Adat bukan lagi bagian dari Hutan Negara.
Namun dalam praktik, pengakuan atas Hutan Adat masih bergantung pada sistem administrasi yang diskriminatif dan berlarut-larut.
Belum adanya pengakuan eksplisit atas prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam proses legislasi maupun perizinan kehutanan yang menunjukkan regresi terhadap standar hak asasi manusia internasional sebagaimana diatur dalam Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), yang telah diratifikasi secara prinsip oleh Indonesia.
Rencana pemerintah membuka hingga 20 juta hektar kawasan hutan untuk proyek pangan, energi, dan infrastruktur sebagaimana tercantum dalam RPJPN 2025–2045, jika tidak disertai mekanisme perlindungan sosial-ekologis yang kuat pun, akan memperburuk deforestasi dan konflik tenurial.
Di sisi lain, ketentuan minimal 30% kawasan hutan per DAS dan/atau pulau, –yang telah dihapus dalam UU Cipta Kerja, merupakan standar ilmiah minimum (FAO) untuk menjaga fungsi ekologis hutan dalam menopang kehidupan manusia, air, dan keanekaragaman hayati.

Delapan Isu Kunci dalam Revisi UU Kehutanan
Revisi UU Kehutanan memuat sejumlah isu mendasar dan risiko krusial yang, apabila tidak diantisipasi secara seksama dalam proses legislasi, akan merusak tatanan tata kelola hutan yang demokratis, adil, dan berkelanjutan.
Kelompok masyarakat sipil memandang terdapat delapan isu krusial yang jika tidak diakomodasi secara serius dalam revisi UU Kehutanan, maka kebijakan yang dihasilkan akan bertentangan dengan prinsip keadilan ekologis, hak asasi manusia, serta komitmen iklim yang telah disepakati dalam Perjanjian Paris dan ENDC Indonesia; yaitu:
1. Reduksi Makna Hutan sebagai Ruang Hidup
Revisi UU baru masih berpijak pada paradigma teknokratis yang melihat hutan semata sebagai objek biofisik untuk dieksploitasi ekonomi. Aras pemikiran ini tentu saja mengabaikan kenyataan bahwa hutan adalah ruang hidup yang melekat dalam identitas dan sistem penghidupan masyarakat adat dan lokal.
Untuk itu, UU Kehutanan yang baru harus memiliki sandaran etis kepada paradigma pengelolaan kehutanan yang mengafirmasi dimensi sosial-ekologis, budaya, dan spiritual hutan serta menjamin perlindungan terhadap nilai-nilai tersebut.
2. Dominasi Korporasi atas Kawasan Hutan melalui Skema Usaha dan Karbon
Revisi yang mendorong perluasan skema multiusaha kehutanan (MUK) dan pasar karbon tanpa landasan prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis yang kuat pada akhirnya akan membuka skema-skema yang membuka peluang bagi korporasi besar untuk menguasai kawasan hutan dengan dalih mitigasi iklim dan restorasi ekosistem, yang justru berpotensi mengusir Masyarakat Adat dari wilayah kelolanya.
Perumusan UU harus memastikan bahwa pendekatan ekonomi hijau tidak menjadi alat baru perampasan lahan. Dalam konteks partisipasi bermakna (Meaningful Participation) maka revisi kebijakan harus mencakup keterlibatan substansial bagi warga negara untuk terlibat dalam perumusan kebijakan, hak untuk menyampaikan keberatan, akses terhadap informasi, serta pengambilan keputusan yang adil dan tidak diskriminatif.
3. Absennya Jaminan Hukum atas Hak Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal
Pengakuan hak Masyarakat Adat masih dibatasi oleh proses administratif yang rumit dan diskriminatif. Padahal, Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 telah mengakui eksistensi hutan adat sebagai bagian dari hak konstitusional. Revisi UU Kehutanan harus menjamin pengakuan langsung dan perlindungan hak-hak tersebut secara eksplisit, tidak bersyarat pada proses birokrasi.
4. Pengabaian Partisipasi Masyarakat dan Peran Pemantauan Independen
Proses legislasi dan implementasi kebijakan kehutanan hingga saat ini minim mengakomodasi partisipasi bermakna (meaningful participation). Padahal, masyarakat sipil dan pemantau independen telah terbukti berkontribusi besar dalam pengawasan dan pengungkapan pelanggaran kehutanan.
Revisi UU harus menjamin ruang legal yang melindungi dan mengakui peran masyarakat sipil sebagai bagian dari sistem akuntabilitas tata kelola hutan.
Sebagai contoh: laporan dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) telah menghasilkan pelaporan 171 kasus dugaan ketidak sesuaian (NC) dan pelanggaran kehutanan yang disampaikan kepada Lembaga Sertifikasi SVLK, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Penegak Hukum dan lembaga pemerintah, yang hasilnya 75% kasus telah ditangani oleh pihak terkait. Ini menjadi model baik bagaimana partisipasi warga sipil dilibatkan dalam pelestarian dan tata kelola hutan.
5. Sentralisasi Kewenangan yang Melemahkan Pemerintah Daerah
Revisi menunjukkan kecenderungan menarik kewenangan pengelolaan kehutanan ke pusat, yang berpotensi menafikan peran pemerintah daerah dan komunitas lokal. Hal ini bertentangan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah. UU Kehutanan harus memberikan ruang afirmatif bagi daerah dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan hutan.
6. Dekriminalisasi Terselubung terhadap Kejahatan Kehutanan
Indikasi pelemahan sanksi terhadap pelanggaran kehutanan dalam revisi sangat mengkhawatirkan. Tindakan ilegal seperti pembalakan liar, konversi hutan tanpa izin, dan pelanggaran korporasi dapat diselesaikan secara administratif. Hal ini melemahkan efek jera dan mencederai upaya perlindungan hutan secara sistemik. UU baru harus mempertegas sanksi pidana dan memperkuat mekanisme penegakan hukum.
7. Ketiadaan Jaminan atas Keterbukaan Informasi Publik
Transparansi data perizinan, status kawasan, tutupan hutan, konflik tenurial, dan hasil pengawasan merupakan prasyarat dasar untuk pengawasan publik. Revisi yang tidak menyebut secara eksplisit keterbukaan informasi menandakan kemunduran dalam prinsip tata kelola yang akuntabel dan inklusif.
8. Rencana Pembukaan 20 Juta Hektar Hutan Tanpa Perlindungan Sosial-Ekologis
Rencana besar dalam RPJPN 2025–2045 untuk membuka kawasan hutan bagi proyek pangan dan energi sangat berisiko mempercepat deforestasi, krisis air, hilangnya keanekaragaman hayati, serta menambah tekanan pada wilayah kelola rakyat.
UU Kehutanan harus memuat ketentuan yang ketat dan berbasis prinsip kehati-hatian serta FPIC sebelum implementasi proyek-proyek tersebut, menjalankan kajian ilmiah ekologis, serta perlindungan terhadap kawasan bernilai konservasi tinggi dan wilayah kelola rakyat.

Penutup
Revisi UU Kehutanan adalah momentum penting untuk mengoreksi ketimpangan tata kelola hutan dan memperkuat komitmen negara terhadap keadilan sosial dan ekologis. Jika dijalankan dengan prinsip kehati-hatian, meaningful participation, dan berbasis hak, maka revisi ini dapat menjadi landasan bagi pembaruan tata kelola hutan yang progresif dan berkelanjutan.
Namun, jika dilakukan secara tertutup dan berorientasi pada deregulasi serta kepentingan korporasi, maka revisi ini hanya akan memperburuk kerusakan hutan, memperkuat ketimpangan struktural, dan mengabaikan hak-hak masyarakat.
Pemerintah dan DPR RI dituntut untuk membuka ruang dialog yang konstruktif dan bertanggung jawab, serta memastikan bahwa kebijakan kehutanan masa depan berpihak pada kelestarian lingkungan, keadilan sosial, dan keberlangsungan hidup generasi mendatang.
Referensi
AMAN. 2023. Dampak UU Cipta Kerja terhadap Wilayah Adat dan Masyarakat Adat. Jakarta: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.
Auriga Nusantara. 2025. Status Deforestasi Indonesia 2024. Diakses dari: https://simontini.id/id/status-deforestasi-indonesia-2024
Bappenas. 2023. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas RI.
FAO. 2010. Global Forest Resources Assessment 2010: Main Report. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Jikalahari, Auriga, JATAM, dkk. 2021. Oligarki Sumber Daya Alam: Mengungkap Kekuasaan di Balik UU Cipta Kerja. Jakarta: Koalisi Masyarakat Sipil.
JPIK. 2024. Pelajaran dari Pemantauan Independen terhadap Kepatuhan Legalitas dan Keberlanjutan.
KLHK. 2022. Strategi Indonesia FOLU Net Sink 2030. Jakarta: Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan.
KLHK. 2022. Data Deforestasi Indonesia Tahun 2024 (rilis Maret 2025). Jakarta: Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan.
KLHK. 2023. Status Hutan dan Lahan Indonesia 2023. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). 2024. Catatan Akhir Tahun 2023: Konflik Agraria dan Jalan Pembaruan Agraria. Jakarta: KPA.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2012. Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat. Jakarta: MKRI.
Pemerintah Indonesia. 2022. Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) of Indonesia. Disampaikan kepada UNFCCC, 23 Juli 2022.
UN 2007. United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP).
WALHI. 2023. Catatan Kritis terhadap Proyek Food Estate dan Energi di Kawasan Hutan. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
* Muhammad Ichwan1 dan Sarah Agustio2. Penulis adalah Direktur Eksekutif Nasional (DEN) Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK)1 dan Peneliti Nugal Ecologica Indonesia2. Artikel ini adalah opini penulis.
***
Foto utama: Hutan Adat Marena di Sulawesi Tengah dengan pohon-pohon besar yang masih lebat. Foto: Rosmini Rivai/Mongabay Indonesia
Aturan Penertiban Kawasan Hutan Libatkan Militer Tuai Kritik