- Gelombang penolakan hutan Meratus jadi taman nasional makin menguat. Alasan utama, kekhawatiran perubahan status ini bakal mengeluarkan besar-besaran masyarakat adat dan komunitas lokal yang sudah hidup di dalam wilayah itu turun menurun sejak dulu.
- Data penduduk akhir 2024 yang Mongabay himpun dari tiap kecamatan dan Disdukcapil Kabupaten, ada sekitar 20.328 jiwa dari 6.032 KK di dalam 23 desa itu. Mereka lah yang terancam kehilangan ruang hidup.
- Raden Rafiq, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, menduga, ada motif ekonomi di balik ide pengusulan TN Meratus. Sebab, wacana semacam ini berpeluang menjadi pintu masuk bisnis dengan label ‘hijau’.
- Netty Herawaty, dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Lambung Mangkurat (PUS-HAM ULM), memandang, rencana penetapan TN Meratus merupakan kebijakan yang tak berpihak kepada rakyat. Sifatnya sentralistik, top-down, dan eksklusif.
Gelombang penolakan hutan Meratus jadi taman nasional makin menguat. Alasan utama, kekhawatiran perubahan status ini bakal mengeluarkan besar-besaran masyarakat adat dan komunitas lokal yang sudah hidup di dalam wilayah itu turun menurun sejak dulu.
Dalam rencana pemerintah, TN Meratus mencakup kawasan seluas 119.779 hektar, meliputi 23 desa yang tersebar di lima kabupaten, Balangan, Kotabaru, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, dan Banjar.
Data penduduk akhir 2024 yang Mongabay himpun dari tiap kecamatan dan Disdukcapil kabupaten, ada sekitar 20.328 jiwa dari 6.032 keluarga dalam 23 desa itu. Mereka terancam kehilangan ruang hidup.
“Hutan Meratus adalah ibu kami. Tempat hidup, berladang, mencari makan, menjalankan tradisi, dan memperoleh obat-obatan. Menjadikannya TN sama dengan membinasakan kami,” kata Anang Suriani, masyarakat adat Desa Kambiayin, Kecamatan Tebing Tinggi, Balangan, dalam diskusi di Banjarbaru, Rabu (13/8/25).
Penolakan taman nasional ini bukan berarti masyarakat Meratus anti pelestarian. Bahkan, mereka sudah lama memiliki sistem konservasi sendiri yang lebih berkeadilan.
Terlihat dari tata kelola ruang yang berlapis dari cara mereka berladang dengan konsep gilir-balik. Ada huma dan raba, lahan untuk menanam padi demi kebutuhan sehari-hari.
Setelah setahun, huma berfungsi jadi jajapan, pisang mereka tanam di sana sebagai penopang ekonomi warga. Selanjutnya, ada jarungan, lahan berusia 2-3 tahun yang menghasilkan kayu manis dan tanaman lain.
Selain itu, masyarakat juga memiliki mayunan, tempat tumbuh kebun kemiri dan karet. Lalu katuan, wilayah khusus untuk berburu; serta hutan keramat yang berfungsi sebagai ruang spiritual, tempat ritual, dan dianggap terlarang untuk dijamah sembarangan.
“Ini adalah contoh cara kami menjaga hutan. Lalu, untuk apa lagi dijadikan TN?”
Rubi, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Kalsel, mengatakan, kalau jadi taman nasional malah mudah menyingkirkan masyarakat adat di tengah pengakuan dan perlindungan negara terhadap mereka melalui payung hukum formal sangat minim.
“Proses penyusunan regulasi agar pengakuan masyarakat adat diberikan kerap menghadapi jalan terjal,” katanya.
Pergantian pucuk pimpinan pemerintahan, hingga stigma negatif, jadi penghambatnya. Menurut dia, masih ada anggapan pengakuan pada masyarakat adat akan membuat mereka seenaknya babat hutan.
Padahal, katanya, masyarakat adat justru sudah berabad-abad menjaga kelestarian hutan melalui pengetahuan lokal dan sistem hukum adat.
“Mestinya konservasi ala masyarakat adat itu diakui pemerintah. Terbukti mereka mampu menjaga hutan dan lingkungan. Karena itu, perlindungan masyarakat adat sangat penting untuk dilaksanakan.”
Kalsel memiliki tiga regulasi terkait pengakuan masyarakat adat. Di tingkat provinsi, ada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2/2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Namun, implementasinya nihil.
Di Kabupaten Kotabaru, ada Perda Nomor 19/2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Tapi, belum ada pengakuan resmi satu pun komunitas adat di sana.
Di Hulu Sungai Selatan (HSS), ada Perda Nomor 1/2022 yang sedikit lebih berprogres. Setidaknya ada pengakuan empat komunitas adat, meski belum terhadap hutan adat mereka.
Keempat komunitas itu yakni, Karukunan Balai Adat Datu Kandangan di Desa Ulang, Karukunan Balai Adat Datung Makar Desa Malinau, Karukunan Balai Adat Bayumbung di Desa Halunuk, dan Karukunan Keturunan Datu Mayawin-Urui di Desa Loksado.
Selain itu, satu komunitas adat lain, Balai Adat Timanggung Anggut, Desa Tamunih, di Kabupaten Tanah Bumbu dengan pengakuan lewat SK Bupati.
Namun, komunitas-komunitas adat itu tidak berada di wilayah yang termasuk dalam usulan taman nasional. Masyarakat adat yang tinggal di desa-desa dalam rencana kawasan konservasi itu justru masih belum tersentuh pengakuan negara.

Akal-akalan negara?
Raden Rafiq, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, menduga, ada motif ekonomi di balik ide pengusulan TN Meratus. Sebab, wacana semacam ini berpeluang menjadi pintu masuk bisnis dengan label ‘hijau’.
Negara, katanya, bisa meraup keuntungan dari berbagai jalur. Mulai dari dana donor asing, hingga perdagangan karbon.
“Kami juga mendengar di Hulu Sungai Selatan beredar kabar soal rencana pemanfaatan energi panas bumi di kawasan yang berdekatan dengan calon TN,” katanya.
Selain itu, ada pula potensi besar dari bisnis pengembangan ekowisata di taman nasional. Sayangnya, keuntungan-keuntungan ini justru berasal dari pengusiran masyarakat adat.
Ini, katanya, bukan asumsi belaka. Berbagai lokasi sudah mengalaminya, seperti di TN Komodo, Nusa Tenggara Timur.
Masyarakat adat di sana malah terdesak karena status taman nasional. Mereka hanya boleh tinggal di zona terluar. Pemerintah larang mereka manfaatkan hutan, berburu, bahkan memancing. Sementara investasi ekowisata justru terbuka lebar.
“Ironis sekali. Ketika konservasi malah mengorbankan manusianya, sementara negara sibuk mengejar keuntungan.”
Kalau pemerintah serius terhadap pelestarian Meratus, seharusnya mencari konsep yang cocok dengan budaya lokal, yaitu melibatkan komunitas adat.
“Maka sebelum bicara TN Meratus, negara harus terlebih dahulu mengakui keberadaan masyarakat adatnya.”
Netty Herawaty, dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Lambung Mangkurat (PUS-HAM ULM), memandang, rencana penetapan taman nasional merupakan kebijakan tak berpihak kepada rakyat. Sifatnya sentralistik, top-down, dan eksklusif.
“Masyarakat adat Meratus sudah lama menghuni dan mengelola kawasan hutan, sehingga seharusnya dilibatkan penuh dalam setiap proses pembahasan kebijakan.”
Dia juga menyoroti Undang-undang Konservasi anyar yang justru meniadakan ruang bagi pengetahuan lokal masyarakat adat dalam melindungi hutan. Padahal, merekalah yang harusnya jadi aktor utama dalam pengelolaan hutan.
“Konsep konservasi melalui penetapan TN masih jauh dari paradigma yang berbasis pengetahuan tradisional dan penghormatan terhadap hak atas tanah mereka.”
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, dalam diskusi itu prihatin nasib masyarakat adat di Meratus. Mereka sudah bekali-kali mengalami pengabaian karena kebijakan negara.
“Apa yang terjadi di Meratus, lahir dari kebijakan yang disusun di ‘gedung-gedung mewah’ di Jakarta,” katanya.
Sejak era Undang-undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, masyarakat Meratus perlahan tersingkir. Lewat regulasi itu, negara tetapkan sepihak wilayah masyarakat sebagai kawasan hutan dengan fungsi lindung maupun produksi.
Setelah itu, negara memberi hak kelola kepada korporasi. Hasilnya, bentang Meratus ‘ternodai’ oleh aktivitas eksploitasi.
“Semua kerusakan di Meratus hari ini adalah konsekuensi dari kebijakan negara.”
Uli bilang, negara masih mengusung paradigma usang ihwal konservasi. Di mana hanya pemerintah dan korporasi yang mereka anggap berhak melestarikan kawasan.
Sementara, kontribusi masyarakat adat menjaga hutan tak pernah mereka lihat sebagai kerja konservasi.
“Di taman nasional mana ada masyarakat yang tidak digusur?”
Apalagi, dengan militerisasi yang makin kuat, pengusiran masyarakat adat akan kian mudah terjadi. Belum lagi proyek bisnis ‘hijau’, seperti perdagangan karbon, panas bumi, hingga pangan dan energi.
Semua terlegitimasi melalui kebijakan. Sedang masyarakat adat tidak punya dasar hukum yang jelas mengatur kewajiban negara memenuhi, melindungi dan menghormati hak mereka.
“Pembahasan UU Masyarakat Adat sudah 15 tahun mandek di parlemen.”

Resolusi Meratus
Diskusi itu melahirkan Resolusi Meratus, berisi pernyataan sikap bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil. Ada empat poin yang mereka tuntut atas polemik ini.
Pertama, menolak rencana penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus di wilayah adat Meratus, Kalimantan Selatan. Kedua, mendesak gubernur dan DPRD Kalsel segera menarik kembali pengajuan penetapan TN Meratus.
Ketiga, mendesak Kementerian Kehutanan menghentikan seluruh proses penetapan TN Meratus. Keempat, mendesak Pemerintah Kalsel segera mengimplementasikan Perda Kalsel Nomor 2/ 2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

*****
Generasi Muda Kalsel Tolak Hutan Meratus jadi Taman Nasional