- Pembangunan vila di Pulau padar, Nusa Tenggara Timur, menimbulkan keresahan masyarakat. Alimudin tak dapat menyembunyikan kemarahan atas rencana pembangunan vila di Pulau Padar, wilayah Taman Nasional Komodo, Manggarai Barat, ini. Pria 46 tahun ini menilai, proyek ini akan berdampak pada satwa langka komodo.
- Masyarakat lokal sudah terusir dari Loh Liang, karena alasan konservasi. Tapi alih-alih melibatkan masyarakat pada konservasi alam, pemerintah justru memberikan penguasaan lahan pada perusahaan. Masyarakat hanya mendapat lahan pemukiman 26 hektar untuk 2.000 jiwa, tapi perusahaan mendapat izin konsesi seluas mungiin.
- Roni Septian, Kepala Departemen Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), menyebut, pembangunan pusat bisnis dan wisata di Pulau Padar akan memperburuk masalah agraria.
- Venan Haryanto, Peneliti Sunspirit for Justice and Peace di Labuan Bajo, menyampaikan, penolakan publik atas keberadaan proyek-proyek bisnis itu telah berlangsung sejak lama. Publik menyampaikan penolakan atas rencana investasi besar-besaran dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
Pembangunan vila di Pulau padar, Nusa Tenggara Timur, menimbulkan keresahan masyarakat. Alimudin, salah satunya, tak dapat menyembunyikan kemarahan atas rencana pembangunan vila di Pulau Padar, wilayah Taman Nasional Komodo, Manggarai Barat, ini. Pria 46 tahun ini menilai, proyek ini akan berdampak pada satwa langka komodo.
Dia khawatir nasib masyarakat yang menggantungkan hidup dari berbagai aktivitas di sekitar pulau. Apalagi, info yang dia dapat, ratusan vila akan berdiri di wilayah konservasi itu.
“Yang menjadi kekhawatiran besar kita ini, kita kan tidak tahu, seluruh lintang bagian utara Padar ini bakal dikuasai, itu berhadapan langsung kan dengan masyarakat Komodo,” ucapnya ketika Mongabay hubungi, Senin (11/8/25).
Masyarakat, katanya, dulu sudah terusir dari tanah asli di Loh Liang, Pulau Komodo, ke Kampung Komodo, karena alasan konservasi. Namun, bukan mempertahankan konservasi alam dengan menekankan pengelolaan pada masyarakat, pemerintah malah memberikan penguasaan lahan pada perusahaan.
Sementara, hidup masyarakat sudah terhimpit dengan lahan zona pemukiman seluas 26 hektar untuk 2.000-an jiwa. Negara, katanya, tidak adil pada warga.
“Menjadi pertanyaan masyarakat, ada apa ini kok politis sekali ya, terhadap perusahaan dikasih konsesi seluas mungkin, kepada masyarakat ditekan nih, hanya 26 hektar,” kata warga yang tinggal di Taman Nasional Komodo itu.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor SK.796/Menhut-I/2014 memberi izin untuk PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) melakukan hak usaha penyediaan sarana wisata alam dengan luas 274,13 hektar atau 19,5% dari luas Pulau Padar.
Yang membuat masyarakat kaget, katanya, penolakan sudah terjadi sejak 2014 dan berujung penundaan. Kini rencana kembali mencuat dengan pembangunan ratusan vila mewah.
Menurut dia, ada beberapa konsekuensi serius. Pertama, ada sekitar 30 komodo di Pulau Padar. Masuknya perusahaan yang akan mengembangkan proyek besar, secara langsung akan mengganggu habitat hewan purba itu.
Kedua, pantai utara Pulau Padar yang terkenal memiliki keindahan bawah laut juga merupakan sumber kehidupan penyu dan jenis ikan lain. “Kalau ada manusia, itu akan mengganggu kenyamanan satwa,” katanya.
Ketiga, keberadaan proyek tidak serta merta memberi dampak pada masyarakat lokal. Di bagian utara, terdapat lebih kurang 50 warga yang menjajakan kuliner seperti kelapa muda dan kopi di pantai.
Mereka yang menggantungkan harapan dari jumlah kunjungan wisatawan ke beberapa titik lokasi pantai itu tentu akan terdampak pembangunan vila di konsesi KWE.
Dia curiga, masyarakat yang melakukan kegiatan ekonomi di sana akan segera terusir ketika proyek pembangunan berjalan.
“Kita mengacu pengalaman beberapa tempat, investor akan membuat pola, tidak mengusir langsung, tapi nanti sistem dibuat,” kata Orang Komodo atau Ata Modo itu.
Dia menyinggung pengakuan Taman Nasional Komodo sebagai salah satu Situs Warisan Budaya Dunia Unesco 1991. Harusnya, negara bangga dan menjaga lebih ketat kawasan konservasi itu, bukan memberi ruang pada investor untuk membuka lahan bisnis.
Unesco juga memberi catatan supaya pemerintah memastikan model wisata yang benar benar berkelanjutan dan melaporkan perkembangan proyek sesuai evaluasi dari International Union for Conservation of Nature (IUCN). Sebagai penduduk asli Komodo, Alimudin pesimis dengan kajian analisis lingkungan perusahaan.
Dia dan masyarakat lokal lain tetap menolak keberadaan proyek itu. Mereka menolak hadir dalam sosialisasi KWE pada 23 Juli 2025. Dia juga menantang pihak-pihak yang menyebut sudah ada komunikasi dengan masyarakat terkait rencana pembangunan vila.
“Tidak ada komunikasi. Tidak ada mereka datang. Kalau persekongkolan terselubung, mungkin, itulah mereka ada di foto itu.”

Perburuk masalah agraria
Roni Septian, Kepala Departemen Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), menyebut, pembangunan pusat bisnis dan wisata di Pulau Padar akan memperburuk masalah agraria.
Ada tiga hal yang dia soroti atas masalah ini. Pertama, tidak ada upaya pengakuan hak atas tanah bagi masyarakat di Pulau Padar dan Pulau Komodo. Kedua, kerusakan habitat komodo akibat kebijakan pengelolaan wisata oleh Balai Taman Nasional Komodo dan Pemerintah Provinsi NTT. Ketiga, izin yang terbit berada di tanah-tanah masyarakat tanpa persetujuan mereka.
“Ketiga masalah itu tidak muncul dengan sendirinya, melainkan telah terjadi puluhan tahun dan dibiarkan oleh pemerintah pusat,” ungkapnya saat Mongabay hubungi.
Pembangunan pusat bisnis dan wisata KWE di Pulau Padar, lanjutnya, menunjukkan Kementerian Kehutanan kurang memahami konservasi. Kementerian pimpinan Raja Juli Antoni itu juga gagap bertindak dan tidak menunjukkan sikap jelas antara konservasi atau korporasi.
“Kami kira masalah kerusakan lingkungan di Pulau Padar dan sekitarnya tidak bisa diselesaikan hanya dengan menyusun Environmental Impact Assessment (EIA).”
Kemenhut, katanya, mesti berdialog dengan masyarakat di Pulau Padar untuk mendengarkan kesulitan hidup dan memahami keterlibatan mereka dalam usaha wisata. Hasil dialog bisa jadi rujukan memperkuat kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan di pulau itu.
Dialog juga penting untuk mengambil langkah musyawarah ihwal pembagian tanah untuk perkampungan, pertanian, perairan, dan pengolahan limbah sebagai penunjang ekonomi sektor wisata.nantinya. Ia bisa juga terangkum dalam aturan bersama tentang prinsip dan praktik wisata berbasis masyarakat dan konservasi.
Saat ini, katanya, Kemenhut tidak dialog dan tidak mengenal masyarakatnya. Kementerian pun merasa sebagai pemilik tanah yang berhak memberikan izin, pada pengusaha.
“Dianggapnya Pulau Padar tanah kosong atau lebih celaka tanah atau hutan negara, akhirnya pengaturan peruntukannya sesuai dengan kehendak pengusaha seperti hari ini.”
Venan Haryanto, Peneliti Sunspirit for Justice and Peace di Labuan Bajo, menyampaikan, penolakan publik atas keberadaan proyek-proyek bisnis itu telah berlangsung sejak lama. Publik menyampaikan penolakan atas rencana investasi besar-besaran dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
Menurut dia, penolakan masyarakat tidak lagi pada tataran urusan prosedural, tapi pada konteks tidak boleh ada investasi di daerah konservasi. Namun, pemerintah merespon resistensi warga hanya pada urusan belum terpenuhinya persyaratan seperti dokumen EIA yang diminta Unesco.
“Level perlawanan warga tidak lagi terletak pada urusan prosedural tapi seluruh rancang bangun investasi di dalam kawasan ditolak total dengan alasan-alasan yang sangat mendasar,” katanyapada Mongabay, 12 Agustus lalu.
Perbedaan pandangan ini tentu saja merugikan warga dan berdampak pada berbagai aspek. Dia menilai, ada ketidakadilan agraria yang timbul dari rencana investasi di sana.
“Suatu bentuk ketidakadilan dalam kawasan, dari sejarah orang Komodo sudah berkorban untuk konservasi, tapi tanah mereka diserahkan ke perusahaan dalam konteks PT KWE yang punya investasi.”
Dia berharap, aksi dan kampanye penolakan masif untuk menekan Unesco dan melihat komitmen terhadap TN Komodo yang menjadi situs warisan dunia. Juga menekan pemerintah untuk mencabut izin-izin perusahaan yang hendak berinvestasi.
“Kalau Unesco diberikan informasi yang baik-baik saja, proses amdal (analisis mengenai dampak lingkungan), konsultasi publik, dan lain lain, maka ya perusahan ini bisa merealisasikan proyeknya.”

Monopoli tanah
KPA Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam rilis kepada Mongabay, menyebutkan, pengembangan kawasan pariwisata Taman Nasional Komodo merupakan upaya sistematis monopoli tanah. Pemerintah pun meminggirkan masyarakat adat Ata Modo.
“Pulihkan Hak-hak Masyarakat Adat Ata Modo dengan Menjalankan Reforma Agraria Sejati,” kata Honorarius Quintus Ebang, Koordinator KPA Wilayah NTT.
Dia mengecam keras berbagai bentuk izin konsesi di TNK dan menilai konsultasi publik baru-baru ini untuk izin konsesi KWE hanyalah prosedural semata. Menurutnya, pemerintah akan terus memberi izin para investor untuk menguasai sumber-sumber agraria dan mengabaikan hak masyarakat Ata Modo.
“Konsultasi publik untuk izin konsesi di TNK sangat melukai martabat Ata Modo. Hadirnya TNK atas nama konservasi hanya untuk memonopoli ruang dan memberi peluang investasi untuk mengakumulasi pendapatan segelintir orang pemodal.”
Intus menilai pemerintah terus merampas dan mengabaikan hak masyarakat Ata Modo. Mereka bahkan rentan kriminalisasi.
Dia bilang, model pariwisata yang di Kawasan Komodo saat ini Industry-Based Tourism bukan Community-Based Tourism. Pemerintah terus memberikan ruang konsesi bagi perusahaan besar untuk mengendalikan dna mendapatkan manfaat dari pariwisata, sementara Ata Modo jadi pekerja upah dari para pemodal.
“Atas nama konservasi dan untuk kepentingan warga, izin konsesi terus diberikan. Ratusan hektar tanah dengan mudah diserahkan kepada perusahaan-perusahaan untuk terus mengakumulasi kekayaan dari tanah Ata Modo.”
KPA sedang mendorong Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) di Komodo. Juga, untuk menciptakan reforma agraria sejati demi kesejahteraan rakyat, KPA juga berupaya mengembangkan Gerakan Desa Maju Reforma Agraria (Damara).
Dia pun meminta pemerintah mengembalikan harga diri Ata Modo sebagai masyarakat yang punya kesejarahan di atas tanah Komodo dan punya hak konstitusional untuk mengakses sumber-sumber agraria di Komodo.
“Ata Modo juga memiliki nilai-nilai kearifan lokal dan kedekatan dengan binatang langkah Komodo sehingga mereka harus menjadi pelaku utama dari seluruh pembangunan dan cita-cita konservasi di Komodo.”

Apa kata pemerintah?
Kemenhut, lewat rilis di laman resmi mereka, menyebut, lokasi izin usaha sarana pariwisata alam KWE berada di zona pemanfaatan Pulau Padar. Pengembangan usaha wisata alam boleh di Zona Pemanfaatan sesuai dengan UU 32/2024.
Menurut Kemenhut, rencana pembangunan sarana dan prasarana pariwisata alam masih tahap konsultasi publik atas dokumen environmental impact assessment (EIA) sesuai standar World Heritage Centre (WHC) dan IUCN. Pemerintah pastikan tidak akan mengizinkan pembangunan sebelum ada persetujuan dokumen, sebagai bagian komitmen perlindungan Outstanding Universal Value (OUV) situs warisan dunia.
Mereka pun melakukan kajian dampak secara ilmiah dan partisipatif. Penyusunannya oleh tim ahli linta disiplin, dan konsultasi terbuka bersama pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, tokoh masyarakat, LSM, pelaku usaha, dan akademisi dalam forum konsultasi publik di Labuan Bajo, 23 Juli 2025.
Dalam rilisnya, Kemenhut pastikan pemerintah menjamin setiap pembangunan tidak akan berdampak negatif terhadap kelestarian komodo dan habitatnya. Evaluasi terhadap OUV, baik dari aspek ekologi, lanskap, hingga sosial-budaya, menjadi dasar utama dalam seluruh proses penilaian.

*****
Pasca UNESCO dan IUCN Kunjungi Taman Nasional Komodo, Meluruskan Klaim Pemerintah