- Bertahannya populasi gajah sumatera di wilayah rawa gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, dikarenakan masyarakat menilai gajah memiliki peran penting terkait populasi ikan.
- Lebung-lebung yang merupakan habitat beragam jenis ikan air tawar terbentuk dari kubangan atau tempat berendam gajah sumatera di rawa gambut.
- Hubungan harmonis masyarakat yang menetap selama ratusan tahun di rawa gambut Kabupaten OKI dengan gajah, dibuktikan dengan tidak adanya tradisi berburu gajah.
- Meskipun populasi gajah sumatera di Kabupaten OKI masih bertahan, tapi memiliki sejarah kelam. Tahun 1982, gajah pernah dipindahkan dari habitatnya..
Pada masanya, gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) hidup di hampir semua wilayah hutan rimba di Sumatera Selatan (Sumsel). Dari hutan dataran tinggi hingga dataran rendah atau lahan basah. Tapi saat ini, mengapa populasi gajah hanya banyak ditemukan di wilayah lahan basah?
Tahun lalu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel memperkirakan populasi gajah sumatera di Sumsel sekitar 200 individu. Sebagian besar populasi tersebut berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
Kabupaten OKI yang luasnya 1,7 juta hektar memiliki lahan basah cukup luas. Rawa gambutnya mencapai 650 ribu hektar. Di rawa gambut tersebut gajah sumatera hidup dalam beberapa kantong. Populasi terbesarnya di lanskap Padang Sugihan sekitar 127 individu. Beberapa individu gajah ditemukan di lanskap Mesuji.

Berdasarkan penelitian Wildlife Conservation Research Unit (WildCRU), University of Oxford, yang dipimpin Yusuf Bahtimi Samsudin, menurut masyarakat yang menetap di rawa gambut di Kabupaten OKI, seperti di Desa Perigi Talangnangka, Kecamatan Pangkalan Lampam, kehadiran gajah memberikan dampak pada populasi ikan air tawar sebagai sumber pangan dan ekonomi.
Penelitian tersebut menjelaskan masyarakat memiliki pengetahuan bahwa lebung di rawa gambut, awalnya adalah kubangan gajah untuk berendam. Sementara, lebung ini adalah habitat berbagai jenis ikan air tawar. Tempat memijah, berkembang, dan berlindung. Di musim kemarau, berbagai jenis ikan air tawar berkumpul di lebung-lebung tersebut. Selanjutnya, masyarakat memanen banyak ikan di lebung-lebung.
Pengetahuan ini terlihat dengan adanya nama Desa Lebung Gajah, di Kecamatan Tulung Selapan.
“Ingatan kolektif masyarakat tentang hadirnya gajah serta kebiasaan mereka berkubang yang menciptakan lebung membuka mata kami tentang hubungan positif antara populasi gajah, ikan, dan manusia,” kata Yusuf kepada Mongabay Indonesia, Minggu (10/8/2025).
Jadi, gajah sumatera memiliki peran penting ekologis di ekosistem rawa gambut dalam menghadirkan lebung-lebung ikan sebagai sumber pangan dan ekonomi, yang melahirkan berbagai tradisi dengan berbagai pengetahuan lokalnya.
“Agar hubungan harmonis tersebut bertahan, prasyaratnya adalah integritas ekosistem rawa gambut harus terjaga” ujarnya.
Penelitian tesebut juga mengungkap bahwa nilai konservasi gajah sumatera terekam mendalam pada sistem dan warisan budaya maritim di masyarakat. Sudah selayaknya, para peneliti melihat keanekaragaman hayati dan budaya sebagai entitas yang padu.
“Konstruksi pengetahuan koeksistensi manusia dan gajah, merupakan elaborasi dari konsep sympoiesis, seperti yang ditawarkan Donna Haraway untuk melawan antroposen,” kata Yusuf.

Tidak berburu gajah
Pentingnya peranan gajah tersebut, membuat masyarakat yang hidup di rawa gambut di Kabupaten OKI, tidak memiliki tradisi berburu gajah, seperti mengambil gadingnya.
“Dari masa leluhur kami hingga saat ini, tidak dikenal tradisi berburu gajah. Jika pun terjadi konflik dengan gajah, kami tidak membunuhnya, hanya mengusirnya,” kata Eddy Saputra [48], warga Desa Perigi Talangnangka, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten OKI, Sumsel, Minggu (10/8/2025).
Tapi, jelas Eddy, konflik itu jarang terjadi. Selama hidupnya, hanya satu kali kawanan gajah masuk kebun warga. Tapi kemudian mereka pergi. Tidak ada korban jiwa, baik manusia maupun gajah.
Rawa gambut di Desa Perigi Talangnangka mencapai 1.050 hektar. Kawasan ini berbatasan dengan Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor, yang merupakan rumah bagi puluhan individu gajah jinak dan liar.
Rawa gambut tersebut terbagi menjadi Rawang Teluk, Rawang Gedeh, Rawang Bangsal, Rawang Pulau Kubu, Rawang Pang Jauh, dan Rawang Pulau Sepanggil. Di rawang ini terdapat beberapa lebung, yang terbentuk dari kubangan atau tempat berendam kawanan gajah.
Sebelumnya, Fachruddin (51), warga Desa Simpang Tiga, Kecamatan Tulung Selapan, mengatakan, “Kami tidak pernah mengganggu tempat hidup gajah. Kalau ada gajah, kami tidak akan merusak hutan, seperti membangun rumah atau kampung. Selain itu, saat mereka masuk kampung atau kebun, kami cukup bicara baik-baik, serta menghormatinya. Beberapa saat kemudian mereka pergi.”

Sejarah kelam
Meskipun gajah sumatera masih bertahan di Kabupaten OKI, tapi satwa besar ini memiliki sejarah kelam. Pada tahun 1982, pemerintahan Soeharto menjalankan Operasi Ganesha, yakni operasi penggiringan 242 gajah dari Air Sugihan ke Lebong Hitam, Kabupaten OKI, yang jaraknya sekitar 70 kilometer. Operasi yang dipimpin IGK Manila melibatkan 400 prajurit TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan 2.000 kepala keluarga transmigran. Operasi ini berjalan dari November-Desember 1982.
Kawanan gajah sumatera tersebut dipindahkan karena dinanggap merusak kebun dan permukiman transmigran. Sebelum dijadikan lokasi transmigran, Air Sugihan merupakan rimba yang menjadi habitat gajah sumatera. Beberapa tahun kemudian, ratusan gajah yang dipindahkan tersebut kembali ke Air Sugihan hingga saat ini. Mereka bertahan di lanskap Padang Sugihan.
Sementara konfik gajah dengan masyarakat transmigran di Air Sugihan terus berlangsung hingga saat ini. Sebagian besar masyarakat memandang gajah adalah hama bagi kebun sawit, sawah, dan palawija.
Selain disebabkan pembangunan lokasi permukiman dan perkebunan transmigran, rusak atau hilangnya habitat gajah di Kabupaten OKI, juga dikarenakan aktivitas HPH (Hak Pengusahaan Hutan), perkebunan skala besar, hingga kebakaran lahan dan hutan.
Yusuf berpendapat, agar konflik manusia dengan gajah di Air Sugihan dapat dihentikan dengan cara menerapkan etika lingkungan, yang telah dijalankan oleh masyarakat sebelumnya. Etika yang diturunkan dalam beberapa generasi, yang menciptakan keharmonisan manusia dengan gajah. Misalnya, manusia dengan gajah berbagi ruang hidup, sumber pangan, dan berkomunikasi yang baik dalam menyelesaikan sebuah konflik.
“Guna mengetahui atau memahami etika tersebut, caranya belajar dengan masyarakat lokal,” katanya.

Silakan unduh buku “Kisah Gajah Sumatera” di tautan ini.
*****
Kisah Gajah Sumatera: Liputan Jurnalistik Mongabay Indonesia