- Bagi masyarakat Kampung Naga, hidup berdampingan dengan alam merupakan filosofi hidup turun-temurun.
- Kampung Naga, merupakan perkampungan adat di Desa Neglasari, Kecamatan Selawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, yang masyarakatnya hidup selaras dengan alam dan menjalankan tata cara leluhur.
- Warga Kampung Naga dilarang menebang pohon sembarangan, serta menjaga kesucian hutan larangan, hutan keramat, dan sumber mata air.
- Kampung yang luas tanah adatnya 1,5 hektar ini, dikelilingi hutan keramat di barat, sawah penduduk di selatan, serta Sungai Ciwulan di utara dan timur yang berhulu di Gunung Cikuray, Garut.
Rintik hujan menemani langkah kami menuruni sekitar 400 anak tangga batu. Sejumlah rumah panggung beratap ijuk terlihat dari balik rerimbun pohon. Sungai, persawahan terasering, dan lanskap hijau menjadi bagian tak terpisahkan dari ekositem Kampung Naga, perkampungan adat di Desa Neglasari, Kecamatan Selawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
“Di dunia kami tidak ada bencana alam, lebih tepat bencana akhlak,” ujar Ijad, warga Kampung Naga, Rabu (30/7/2025).
Bagi masyarakat Kampung Naga, hidup berdampingan dengan alam bukan hanya slogan, melainkan filosofi hidup turun-temurun.
Berada di lembah subur, kampung yang luas tanah adatnya 1,5 hektar ini, dikelilingi hutan keramat di barat, sawah penduduk di selatan, serta Sungai Ciwulan di utara dan timur yang berhulu di Gunung Cikuray, Garut.
“Baik hutan larangan maupun hutan keramat itu tidak bisa dimasuki sembarangan.”
Walaupun berbeda fungsi, kedua hutan ini sangat penting. Hutan larangan sebagai penyangga lingkungan, seperti sumber air dan perlindungan tanah. Sedang hutan keramat sebagai tempat sakral.
“Ini bukan semata keberuntungan, namun hasil dari laku hidup seimbang. Kita jaga alam, dan alam jaga kita,” jelasnya.

Aturan adat bukan beban
Darmawan, warga Kampung Naga lainnya, mengatakan aturan adat bukanlah beban, tapi bagian keseharian yang membawa manfaat nyata.
“Udara sejuk, tanah aman dan subur,” jelas lelaki kelahiran 1969 ini.
Kebutuhan sehari-hari warga, diperoleh dari alam dan kerja kolektif masyarakat.
“Selain tanam padi, kami juga ternak dan budi daya ikan. Kami juga manfaatkan bambu dan kayu secukupnya.”
Hidup berdampingan dengan alam mengajarkan keseimbangan. Bila berlebihan, dikhawatirkan akan membawa petaka.
“Alam harus dijaga, kalau rusak bencana datang.”

Warga Kampung Naga diajarkan untuk hidup selaras dengan alam dan jalankan tata cara leluhur. Misalnya, larangan menebang pohon sembarangan, juga menjaga kesucian hutan larangan, hutan keramat, dan sumber mata air.
Terbukti, aliran Sungai Ciwulan yang membelah lembah tempat mereka bermukin, bebas pencemaran limbah dan sampah plastik. Karena aturan adat juga, masyarakat tidak berani merubah fungsi ruang yang telah ditetapkan, karena pamali.
“Nilai hormat menghormati alam sudah tertanam sejak kecil.”

Rumah ramah lingkungan
Ucu Suherman, Ketua Adat Kampung Naga, menuturkan saat ini terdapat 109 bangunan tradisional yang dihuni 102 keluarga. Tapi, yang benar-benar menetap di inti kampung hanya 287 jiwa, kurang dari 10 persen total warga adat.
“Mayoritas warga kami di luar kampung,” jelasnya.
Meski begitu, nilai-nilai dan prinsip hidup adat tetap mereka pegang teguh. Bedanya, hanya terlihat dari bentuk rumah atau fasilitas yang digunakan, karena disesuaikan dengan kebutuhan tempat tinggal masing-masing.
“Di Kampung Naga tetap harus begini. Bagunannya seragam, bentuk dan bahannya tetap pakai yang tradisional.”
Meski ukuran rumah bisa berbeda, namun tidak menjadi dasar untuk mengklasifikasikan status warga. Semua tetap rata. Rumah-rumah dibangun seperti rumah panggung, berdiri di atas tumpukan batu sekitar 50-60 cm dari tanah.

Lutfi Yandri, arkeolog dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), memaparkan bahwa kearifan lokal warga Kampung Naga dalam menata lahan luar biasa. Mereka menyusun batu-batu andesit dari sungai membentuk bidang miring, yang cukup kuat menahan longsor atau pergerakan tanah.
“Kalau dibawa ke ranah sains, mereka memiliki kemampuan teknis dan matematis. Bisa jadi ini warisan dari nenek moyang Austronesia dalam membangun punden berundak di masa prasejarah,” jelasnya.

Kajian Eulis Entin dan kolega dalam Jurnal Panalungtik edisi Desember 2023, berjudul “Kampung Naga Tasikmalaya Menjaga Alam Dengan Keyakinan Pada Norma dan Tradisi” memberikan contoh menarik kearifan lokal warga Kampung Naga dan kesadaran lingkungan melalui pengelolaan alam.
Ciri khasnya terlihat pada menjaga kelestarian hutan, melestarikan tradisi, bertani ramah lingkungan, memakai energi terbarukan, mengatur air dengan bijak, dan menanamkan nilai-nilai cinta lingkungan.
“Cara hidup ini menunjukkan bahwa dengan menyeimbangkan kebutuhan manusia dan alam, kita bisa mewariskan lingkungan yang sehat bagi generasi berikutnya,” jelas laporan tersebut.

*****