- Pulau-pulau kecil indah di wilayah segitiga karang dunia (coral triangle) makin terancam dengan sampah laut akibat kebocoran sampah di darat dan juga produksi sampah dari kunjungan wisata.
- Laporan coral triangle WWF-CTI CFF menyebutkan volume sampah diperkirakan antara 2,2 juta hingga 5,9 juta ton plastik masuk ke laut setiap tahunnya dari enam negara di Segitiga Terumbu Karang.
- Enam negara dalam inisiatif coral triangle ini menyepakati komitmen rencana strategis pengembangan kapasitas jangka panjang selama 10 tahun untuk pulau-pulau terancam dan memiliki keanekaragaman hayati tinggi.
- Pengelolaan sampah ini diharap mendorong ekonomi sirkular untuk memberikan dampak pada warga kepulauan dan mengurangi biaya menuju pusat daur ulang.
Polusi plastik di laut kini makin jadi momok karena mencemari pulau-pulau kecil di wilayah segitiga terumbu karang (coral triangle) dunia. Ketiadaan infrastruktur memadai menyulitkan pengelolaan, termasuk biaya pengangkutan ke daerah tujuan daur ulang. Padahal, sampah laut berdampak langsung pada pelestarian perikanan yang jadi sumber penghasilan warga kepulauan.
Warga Pulau Rhun, Kepulauan Banda, misal, hadapi masalah ini. Masnah Le Empe, Koordinator Bank Sampah Raudatul Jannah di pulau dengan penduduk 1.500an orang ini rutin berhadapan dengan sampah plastik terutama wadah air kemasan di pantainya yang berpasir putih.
Dalam video yang Coral Triangle Center (CTC) bikin bersama bank sampah kelolaan kelompok perempuan di sana.
“Tiap Jumat aksi bersih terutama kalau sampah banyak bisa seminggu beberapa kali. Sampahnya banyak sekali, setelah dipilah sampah kotor bisa 300 kg perhari yang kotor dan sampah bersih 150 kg perhari,” kata Masnah.
Mereka kirim sampah plastik terpilah ini untuk daur ulang ke Surabaya lewat Banda Neira.
Ribuan pulau lain di kawasan coral triangle juga menghadapi ancaman serupa dengan persentase tertangani yang jauh lebih sedikit. Menghadapi situasi itu, sejumlah pihak menggelar pertemuan di Bali guna merumuskan strategi secara komprehensif menangani sampah laut ini.
Pertemuan ini merupakan bagian dari rencana aksi regional (RPOA) 2.0 Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF) bersama WWF. Inisiatif ini beranggotakan enam negara di kawasan segitiga terumbu karang yakni Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor-Leste.
“Amazon laut’ begitu penamaan kawasan segitiga terumbu karang ini karena menjadi rumah bagi 76% spesies karang dunia dan 37% spesies ikan karang dunia, serta mendukung mata pencaharian dan ketahanan pangan lebih dari 130 juta orang.

Jutaan ton sampah ke laut tiap tahun
Ada sekitar 13 juta ton plastik masuk ke laut setiap tahun. Tanpa intervensi berarti, angka bisa meningkat dua kali lipat pada 2040.
Laporan terkait polusi sampah laut di coral triangle pada 2023 menyebutkan, sebagian besar sampah plastik di Segitiga Terumbu Karang berasal dari daratan. Buruknya pengelolaan sampah di daratan, dan masuknya sampah plastik dalam jumlah besar dari dari negara lain memperparah situasi ini.
Setiap tahun, sekitar 2,2-5,9 juta ton sampah plastik masuk ke laut dari enam negara di Segitiga Terumbu Karang. Penelitian oleh WWF dan CTI-CFF juga menunjukkan, pengelolaan sampah buruk, infrastruktur tak memadai, kerangka kebijakan lemah, dan model produksi tidak berkelanjutan jadi kontributor utama krisis ini.
Frank Keith Griffin, Direktur Eksekutif CTI-CFF mengatakan, hasil pertemuan akan menjadi multilevel agreement antar negara. “Sekretariat CTI-CFF akan mengelola aktivitas regional yang akan dilaksanakan tiap negara. Ini sejalan dengan rencana aksi nasional masing-masing negara,” katanya pada jumpa pers di kantor CTC, Bali, 8 Juli 2025.
Diskusi menekankan pergeseran dari pengelolaan di hilir ke pencegahan hulu dengan perubahan sistemik. Penelitian menunjukkan, transisi dari ekonomi linear ke ekonomi sirkular dapat mencegah antara 2,2-5,9 juta ton plastik masuk ke laut setiap tahun hanya dari negara-negara Segitiga Terumbu Karang.
Klaas Jan Teule, WWF Coral Triangle Programme Leader berharap, solusi-solusi dari berbagai negara bersifat praktis untuk mengatasi kebocoran sampah ke laut. Solusi teknis itu di antaranya berinvestasi di manajemen pengelolaan sampah di pulau-pulau kecil seperti fasilitas pemilahan dan daur ulang.
Intervensi utama yang disusun dalam empat tema sentral yakni penguatan tata kelola dan kebijakan, peningkatan kapasitas dan alih teknologi, pendanaan dan akses pasar, dan kolaborasi lintas sektor.
Rili Djohani, Direktur Eksekutif Coral Triangle Center menyebut, peran perempuan dalam manajemen pengelolaan sampah cukup berhasil seperti di Pulau Rhun. Dia berharap, ada pulau kecil bebas sampah plastik, termasuk di Indonesia.
Dia contohkan, Nusa Penida yang masih berjuang menangani pengelolaan sampah di darat dan laut karena pulau padat kunjungan wisatawan. Menurut dia, perlu investasi, seperti menyediakan kapal khusus pengangkut sampah terpilah yang menjemput sampah di pulau karena biaya pengangkutan tinggi.

Jika pesisir dan laut bersih, flora dan fauna laut juga akan terjaga karena mereka sangat rentan dengan cemaran sampah laut, misal, terumbu karang akan cepat mati jika tertutup sampah plastik karena tidak mendapat cahaya matahari. Selain itu, sudah banyak penelitian hewan laut mengandung mikroplastik termasuk penyu dilindungi.
Meskipun pertemuan ini berfokus pada penjajakan awal, terdapat kesepakatan mengenai beberapa langkah selanjutnya. Strategi ini akan terintegrasi dalam RPOA 2.0 CTI-CFF dan rencana strategis pengembangan kapasitas jangka panjang selama 10 tahun.
Implementasinya, akan fokus pada dukungan pada daerah pesisir, pusat-pusat pariwisata, dan kawasan konservasi laut yang memiliki peran penting dalam pelestarian keanekaragaman hayati.
*****