- Gray fox adalah satu-satunya anggota keluarga anjing liar di Amerika Utara yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di atas pohon, dengan kemampuan memanjat setara primata dan cakar melengkung seperti kucing.
- Penelitian menunjukkan rubah ini memilih wilayah dengan banyak pohon untuk menghindari coyote, predator utamanya yang bertanggung jawab atas 90% kematian, dan sering menyimpan sisa tulang mangsa di cabang tinggi sebagai gudang makanan.
- Kehidupan sosialnya kompleks: meski dikenal monogami, sekitar seperempat anak rubah lahir dari pasangan sementara, menjadikan spesies ini contoh evolusi adaptif yang luar biasa di padang gurun Sonora.
Gray fox atau rubah abu-abu (Urocyon cinereoargenteus) adalah satu-satunya anggota keluarga Canidae di Amerika Utara yang secara konsisten hidup di atas pohon. Meski sering disebut rubah, spesies ini sebenarnya termasuk keluarga Canidae, kerabat jauh anjing liar, serigala, dan coyote. Spesies ini memiliki kombinasi anatomi, perilaku makan, dan strategi pertahanan yang tidak ditemukan pada rubah lain maupun kerabat dekatnya. Cakarnya melengkung menyerupai cakar kucing, pergelangan tangannya fleksibel seperti primata, dan kebiasaan arborealnya menjadi cara utama untuk menghindari predator. Mereka juga memanfaatkan kemampuan memanjat untuk mencari makan, menyimpan sisa tulang mangsa di cabang tinggi, serta membesarkan anak. Sebaran geografisnya sangat luas, mulai dari Kanada bagian selatan, seluruh Amerika Serikat, Meksiko, hingga Kolombia. Di beberapa wilayah, mereka dikenal sebagai predator oportunistik yang juga membantu regenerasi tanaman dengan menyebarkan biji buah liar yang dikonsumsi. Karena keunikan anatomi dan perilaku tersebut, banyak ahli biologi menyebut spesies ini sebagai salah satu anjing liar paling aneh di dunia.
Gray fox sering disalahartikan sebagai spesies rubah merah, padahal keduanya berbeda secara morfologi dan kebiasaan. Rubah merah (Vulpes vulpes) lebih sering hidup di darat, sedangkan gray fox memiliki kebiasaan naik ke ketinggian untuk beristirahat atau menghindari ancaman. Keahlian ini bukan hanya sekadar perilaku sesaat, melainkan adaptasi yang telah bertahan selama jutaan tahun. Keberhasilan mereka menggunakan pohon sebagai tempat berlindung dan sarang telah membuat gray fox bertahan di lanskap yang semakin terfragmentasi oleh aktivitas manusia.
Baca juga: Si Rubah Terbang dari Flores
Keahlian Memanjat dan Asal Usul Evolusi
Gray fox memiliki panjang tubuh sekitar 80–112 cm, termasuk ekor yang lebat dan panjangnya bisa mencapai 30 cm. Beratnya berkisar 3,5–7 kg tergantung lokasi dan musim. Telinganya besar untuk membantu mendeteksi suara mangsa, dan matanya relatif besar yang mendukung penglihatan dalam kondisi senja atau cahaya redup. Pergelangan tangannya fleksibel, memungkinkan mereka mencengkeram batang pohon secara efisien. Ekor besar mereka juga berperan penting menjaga keseimbangan saat memanjat dan turun.
Secara evolusi, genus Urocyon adalah garis keturunan canid paling kuno yang masih hidup yang masih hidup di Amerika Utara. Fosil menunjukkan mereka sudah terpisah dari leluhur serigala, rubah merah, dan anjing domestik sejak jutaan tahun lalu. Karena itu, banyak ahli meyakini kemampuan memanjat pohon adalah ciri kuno yang diwarisi dari nenek moyang. Ini yang membedakan gray fox dari spesies canid (keluarga hewan mamalia karnivora yang mencakup semua anjing liar dan rubah) lain yang lebih modern dan telah kehilangan keterampilan arboreal, yakni menghabiskan banyak waktunya di atas pohon.

Penelitian pada tahun 2019 menemukan bahwa gray fox secara konsisten memilih pohon yang memiliki percabangan saat harus memanjat. Dalam studi tersebut, mereka tercatat empat kali lebih sering menggunakan pohon bercabang dibanding batang lurus polos. Pola ini menunjukkan mereka menerapkan strategi risk-averse foraging, yaitu mencari makan sambil memastikan jalur mundur aman bila muncul ancaman.
Selain membantu menghindari predator, kemampuan memanjat juga membuat mereka lebih mudah mengakses sumber makanan musiman, seperti buah kaktus di padang gurun atau buah anggur liar yang tumbuh di kanopi. Di beberapa wilayah berhutan, individu dewasa tercatat menggunakan cabang tinggi untuk memantau pergerakan mangsa di tanah sebelum turun perlahan melakukan serangan.
Sebagai perbandingan, di Indonesia terdapat musang atau luwak (keluarga Viverridae) yang dikenal memiliki perilaku arboreal yang serupa. Luwak sering memanjat pohon untuk mencari buah, memangsa burung kecil di sarang, atau memanfaatkan rongga batang sebagai tempat tidur dan berkembang biak. Namun secara kekerabatan, luwak sama sekali tidak terkait dengan keluarga Canidae. Kemiripan perilaku memanjat dan penggunaan pohon lebih disebabkan oleh tekanan evolusi yang sama: kebutuhan menghindari predator darat dan memanfaatkan sumber makanan yang hanya tersedia di ketinggian.
Baca juga: Inilah Ajag, Anjing Liar yang Keberadaannya Antara Ada dan Tiada
Strategi Makan Gray Fox atau Rubah Abu-abu
Gray fox adalah omnivora oportunistik dengan diet yang sangat bervariasi tergantung musim dan ketersediaan makanan. Pada musim panas, terutama di wilayah gurun Sonora kawasan gurun panas yang terletak di barat daya Amerika Serikat dan utara Meksiko, porsi terbesar makanannya berasal dari buah kaktus prickly pear, beri liar, dan tanaman yang kaya air. Makanan ini membantu mereka mencukupi kebutuhan cairan di habitat yang kering ekstrem. Sumber buah juga menjadi asupan energi saat aktivitas malam meningkat.
Saat musim gugur dan musim dingin, konsumsi mamalia kecil meningkat. Gray fox memangsa kelinci ekor kapas, tikus kanguru, tupai tanah, dan berbagai jenis rodensia. Di musim semi, mereka lebih aktif memburu burung dewasa yang sedang bersarang. Kamera pengintai mencatat kebiasaan mengambil telur, anak burung, dan kadang menyerang induk burung yang tidur di rongga pohon.

Serangga besar seperti jangkrik malam, kumbang, dan belalang menjadi tambahan penting dalam diet, terutama di habitat padang rumput. Fleksibilitas pola makan inilah yang memungkinkan gray fox menempati berbagai habitat, dari gurun hingga kawasan hutan gugur. Di beberapa area pinggiran kota, mereka bahkan memanfaatkan sampah rumah tangga sebagai sumber makanan tambahan.
Selain berburu aktif, gray fox juga dikenal memiliki kebiasaan menyimpan cadangan makanan. Mereka sering membawa potongan tulang dan sisa bangkai ke cabang pohon setinggi 6–10 meter. Tumpukan tulang ini bukan hanya cadangan, tetapi juga berfungsi sebagai penanda wilayah yang menegaskan keberadaan individu dominan di suatu area.
Ancaman yang Mempengaruhi Populasi
Walaupun status konservasi globalnya Least Concern, populasi gray fox di sebagian wilayah Amerika Serikat bagian timur dan tengah mengalami penurunan. Beberapa faktor penyebab utama mencakup wabah penyakit, hilangnya habitat, persaingan dengan spesies lain, dan peningkatan risiko predasi. Penyakit seperti canine distemper, rabies, dan parvovirus dapat mengakibatkan kematian massal pada populasi lokal dalam waktu singkat.
Fragmentasi habitat menjadi ancaman serius. Penebangan hutan, pembangunan jalan, dan konversi lahan pertanian mengganggu jalur pergerakan alami. Gray fox sangat bergantung pada mosaik habitat yang menyediakan koridor arboreal. Ketika jalur pepohonan terputus, mereka terpaksa turun ke tanah, yang meningkatkan risiko pertemuan dengan coyote (Canis latrans), predator utama yang tercatat sebagai penyebab lebih dari 90% kematian individu dewasa di banyak lokasi.

Persaingan dengan rakun juga menjadi tekanan tambahan. Rakun yang berkembang pesat akibat ketersediaan sampah manusia sering mengambil alih lubang pohon yang digunakan gray fox untuk bersarang. Selain itu, hilangnya pohon besar berdampak langsung terhadap ketersediaan lokasi melahirkan dan tempat persembunyian anak-anak rubah.
Gray fox berkontribusi penting dalam menjaga keseimbangan populasi tikus, kelinci kecil, serangga, dan burung tanah. Mereka membantu mengendalikan hewan pengerat yang dapat merusak tanaman pertanian atau menjadi vektor penyakit. Melalui aktivitas mencari makan dan menyebarkan biji buah, mereka turut mendukung regenerasi vegetasi alami.