- Warga Desa Sendang dan Kemligi, Batang, Jawa Tengah, resah akan aktivitas tambang ilegal di pinggir Kali Gede. Pasalnya, aktivitas ekstraktif ini mengancam sumber air pertanian warga. Sebelumnya sudah ada tambang di bagian hulu sungai yang membuat irigasi tak berfungsi lagi. Debit air berkurang akibat pendangkalan dari limbah pengerukan yang masuk ke daerah aliran.
- Supriono, Kepala Dusun Sendang Lor, yang wilayahnya terdampak tambang menyebut sebagian besar warganya yang petani beralih profesi sejak tambang merusak irigasi, tahun 2015. Padahal, dulu banyak petani di daerah ini yang menanam padi dengan panen tiga kali setahun.
- RTRW Batang menyebut hanya ada 6 kecamatan yang boleh ada aktivitas pertambangan. Yaitu Banyuputih, Gringsing, Limpung, Subah, Tersono, dan Tulis. Di luar itu, aktivitas pertambangan sudah pasti ilegal, termasuk yang ada di Wonotunggal.
- Warga banyak yang menduga pasir dari tambang-tambang ilegal ini mengalir ke kawasan perindustrian Batang Industrial park yang jaraknya hanya 8,5 kilometer dari Jembatan Sendang dan juga Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) di Kecamatan Gringsing. Kawasan pertama bahkan masih dalam tahap pembangunan April lalu.
Jembatan Sendang di Kecamatan Wonotunggal, Batang, Jawa Tengah (Jateng) sesak dengan ribuan orang, awal April. Alunan adzan dzuhur tidak menghentikan aksi massa yang menolak aktivitas tambang pasir, batu dan tanah di bawah jembatan itu.
Tambang di pinggir Kali Gede yang mereka duga ilegal ini mengancam sumber air pertanian warga. Karena, sebelumnya sudah ada tambang di bagian hulu sungai yang membuat irigasi tak berfungsi lagi. Debit air berkurang akibat pendangkalan dari limbah pengerukan yang masuk ke daerah aliran.
Karena itu, warga Desa Sendang tak mau kejadian itu terulang lagi. Bersama warga Desa Kemligi yang juga membutuhkan irigasi dari Kali Gede, mereka memprotes tambang yang baru beroperasi satu minggu itu.
Untungnya, tambang itu belum mengeruk material batuan dan tanah dari sana. Sejauh ini, mereka baru melakukan penataan lahan untuk membuat akses dari pinggir sungai menuju Jalan Wonotunggal.
Warga pun pergi dari lokasi setelah menerima ajakan audiensi di Kantor Kecamatan Wonotunggal. Dalam audiensi, tidak ada satupun pejabat dari desa, kecamatan hingga kepolisian yang mengetahui perizinan tambang ini. Mereka pun sepakat menutup area itu.
Tambang benar-benar berhenti beroperasi hingga akhir April. Satpol PP Batang bahkan menancapkan papan informasi yang menyebut tambang tersebut tidak berizin, berdiri persis di atas lokasi bekas penataan lahan.
Dalam papan itu tertulis tambang di situ menyalahi Perda Batang Nomor 13 tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Dalam perda, Wonotunggal bukan kawasan pertambangan batuan.
Pentupan tambang itu menginspirasi desakan serupa di Desa Kemligi yang sudah digeragoti tambang sejak 2015 hingga akhir April lalu. Lokasinya sama-sama di bantaran Kali Gede yang juga mengancam irigasi pertanian warga.

Petani alih profesi
Supriono, Kepala Dusun Sendang Lor, yang wilayahnya terdampak tambang menyebut sebagian besar warganya yang petani beralih profesi sejak tambang merusak irigasi, tahun 2015. Padahal, dulu banyak petani di daerah ini yang menanam padi dengan panen tiga kali setahun.
Kini, lahan pertanian beralih jadi kebun pohon sengon, karena kebutuhan air untuk pertanian tak mencukupi. “Sejak irigasi mati karena tambang itu, lalu sekarang malah ada rencana tambang lagi di bagian bawah jembatan, makanya langsung kami tolak,” tuturnya.
Pertambangan di bagian hulu sudah berhenti beroperasi pada 2018 seiring pembangunan Tol Batang-Semarang rampung, tapi irigasi tetap tak rusak. Limbah tambang yang menimbulkan sedimentasi lebih tinggi ketimbang Kali Gede.
Pohon sengon kemudian warga tanam di puluhan hektar lahan bekas pertanian. Komoditas kayu ini tak butuh banyak air. Sama seperti tanaman singkong yang juga mereka tanam.
Sebagian besar petani di Sendang, katanya, beralih profesi jadi tukang bangunan. “Yang masih muda terpaksa merantau jadi tukang, karena bertani udah susah, enggak ada air.”
Padahal, pertanian merupakan tumpuan utama perekonomian di Sendang. Sektor ini menyumbang kedaulatan pangan dan lapangan kerja.
“Kalau jadi kebun sengon atau singkong, tidak ada lagi buruh tani karena enggak perlu banyak perawatan.”
Sementara untuk kedaulatan pangan, dia bilang sawah di sana memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Tapi, sejak sawah berkurang drastis, warga jadi banyak yang membeli beras. Mereka makin tercekik harga yang terus naik.
Data BPS Batang mencatat pada 2014 saat ada tambang, luas lahan sawah di Sendang sebanyak 167,8 hektar. Kemudian luasnya menyempit jadi 71,9 hektar menurut sensus pertanian 2024.
Fenomena ini yang mendorong Supriono dan warga lain menolak rencana pertambangan di Jembatan Sendang. “Kalau tambang di bawah Jembatan Sendang yang kemarin tidak ditolak, pasti lahan sawah berkurang drastis karena irigasi di sekitarnya mati seperti yang dulu 2015 itu.”

Untuk kawasan industri?
RTRW Batang menyebut hanya ada enam kecamatan yang boleh ada aktivitas pertambangan, yaitu Banyuputih, Gringsing, Limpung, Subah, Tersono, dan Tulis. Di luar itu, aktivitas pertambangan sudah pasti ilegal, termasuk yang ada di Wonotunggal.
Begitu pula di Kecamatan Reban. Beberapa lokasi bahkan masih beroperasi hingga saat ini, seperti di Desa Polodoro. Ironisnya, papan informasi yang menyatakan tambang tersebut ilegal dan tanah itu milik Pemprov Jateng sengaja dicoret hitam oleh orang tidak dikenal untuk menutup keterangan pelarangan penambangan.
Di balik papan itu nampak sebuak eskavator mengeruk bukit di depannya. Tebing curam terbentuk akibat aktivitas tambang itu. Aliran air bekas hujan deras mengucur dari sela-sela bukit yang sudah hancur.
Seorang warga Reban yang tidak mau menyebutkan namanya mengkhawatirkan potensi longsor dan banjir. “Kondisinya makin bahaya ini karena sekarang kalau hujan genangan air makin tinggi, lama juga keringnya,” katanya.
Cap ilegal bagi tambang itu sudah lama terjadi. “Tapi enggak ada yang berani menindaknya, backing-nya kuat.”
Desa Adinuso di Kecamatan Reban pun mengalami hal yang sama. Tambang ilegal pertama kali beroperasi tahun 2020, lalu warga protes pada 2021, dan membuatnya berhenti. Pertambagan ini berada di pinggir sungai dekat saluran irigasi menuju persawahan.
Warga banyak yang menduga pasir dari tambang-tambang ilegal ini mengalir ke kawasan perindustrian Batang Industrial park yang jaraknya hanya 8,5 kilometer dari Jembatan Sendang dan juga Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) di Kecamatan Gringsing. Kawasan pertama bahkan masih dalam tahap pembangunan April lalu.
Muhammad Hazmi, warga Adinuso juga menolak tambang menyebut, material kerukan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan kawasan industri. “(Dapat info) dari sopir truk pengangkut materialnya, itu untuk Kawasan Industri Terpadu Batang di Kecamatan Gringsing,” katanya.
Pertambangan di Adinuso ini menyebabkan kerusakan sempadan sungai sepanjang satu kilometer. Bendungan di dekat lokasi bahkan hampir ambrol karena perubahan arus air karena pengerukan tambang.
Padahal bendungan ini tumpuan utama untuk irigasi pertanian warga. “Air dari bendungan ini juga buat perikanan warga juga, jadi kalau rusak perekonomian kami sangat terganggu,” ungkapnya.
Setelah penambang pergi, tak ada reklamasi atau perbaikan lahan bekas tambang. Tanah di pinggir sungai yang dulunya produktif kini tak bisa warga tanami lagi.
Hazmi yang juga aktif di Lembaga Kajian Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU Batang ini menyebut pertambangan ilegal jadi masalah serius karena lokasinya berada di banyak tempat.
“Kami juga terus memantau lokasi-lokasi lain sampai sekarang, termasuk yang di Sendang, Wonotunggal kemarin. Rencananya ada riset sebagai bahan untuk rekomendasi kebijakan.”

Rentan banjir
Bukan hanya lokasi tambang yang rusak karena aktivitas ekstraktif ilegal ini. Banjir pun terjadi di KITB dan Batang Industrial Park, serta pemukiman dan pertanian di dekat lokasi industri ini setiap tahunnya.
Kecamatan Gringsing, tempat KITB berdiri, rutin kena banjir sejak pembangunan proyek ini tahun 2020. Laman resmi Pemkab Batang mencatat kejadian bencana ini tiap tahunnya. Terbaru, awal 2025 yang merendam tiga desa dan memaksa sebagian warga mengungsi.
Pemkab Batang sudah menyadari pembangunan KITB ini berdampak pada peningkatan banjir sejak 2022 lalu. Solusi saat itu adalah penampungan kolam dan pelebaran gorong-gorong, tapi bencana hingga kini masih terus terjadi.
Begitu juga yang terjadi di sekitar Batang Industrial Park di Kecamatan Tulis. Sumiyati, warga yang huniannya tak sampai dua kilometer dari kawasan turut terdampak banjir tiap tahunnya.
Perempuan 54 tahun ini menyebut sejak Batang Industrial Park dibangun kejadian banjir lebih meningkat. “Memang banjir itu dari dulu ada, tapi sekarang lebih banyak kejadiannya dan tinggi air juga meningkat,” katanya.
Dulu, lokasi kawasan industri itu adalah area penangkap air hujan. Setelah alihfungsi, dan karena letaknya lebih tinggi dari rumah Sumiyati, kawasan itu justru rutin mengirim air. ”Terutama kalau musim hujan, jalan depan ini sekarang jadi enggak bisa dilewati karena genangan airnya tinggi.”
Dia menyebut banjir di wilayahnya itu bahkan kini kerap meluap hingga Jalan Pantai Utara (Pantura). Jalan protokol itu awal tahun lalu bahkan lumpuh.
M. Aminudin, Ketua Lakpesdam NU Batang, menyebut, perlu kaji ulang keberadaan kawasan industri di wilayahnya yang menyebabkan peningkatan tambang ilegal. Menurutnya, dampak aktivitas itu meluas dan warga yang jadi korban.
Jangan sampai, kawasan industri yang bertujuan menguatkan ekonomi malah menyebabkan kerusakan besar karena tidak cermat mengkalkulasi dampaknya.
“Sudah banyak contoh tambang ilegal menyebabkan kerugian bagi petani karena mematikan irigasi, warga juga kesulitan air bersih, termasuk alih profesi yang menyebabkan kerentanan ekonomi. Semua ini selama ini tidak dipertimbangkan sebagai kerugian.”
Dia mendesak Pemkab Batang lebih tegas atas tambang ilegal ini. Mereka harus menjalankan ketentuan Perda RTRW.
“Ini (RTRW) harus dijalankan. Karena kami melihat banyak tambang berada di luar wilayah yang ditentukan.”
M. Faiz Kurniawan, Bupati Batang menanggapi tambang ilegal di wilayahnya dengan menyebut itu bukan kewenangannya. Menurutnya, perizinan tambang yang ada datang dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Sehingga kami dari Pemerintah Daerah tidak dalam kapasitas memberi atau menolak izin,” katanya dalam rilis untuk kejadian penolakan warga Desa Sendang, Wonotunggal.
Namun, Pemkab Batang memiliki kewenangan dalam penataan ruang pertambangan. Dia membenarkan hanya ada enam kecamatan yang boleh terdapat tambang batuan.
Di luar enam wilayah itu, katanya, tidak boleh ada pertambangan batuan. Termasuk di Wonotunggal, sehingga ia telah melarang tambang di Sendang tersebut.
“Jika melanggar tata ruang, maka kami dapat melakukan penertiban.”
Mongabay berupaya mengonfirmasi temuan dan informasi dari warga ke pengelola KITB dan Batang Industrial Park melalui kontak yang tertera di laman resmi mereka sejak 12 Juni, serta berkirim surat resmi sejak 25 Juni. Namun tidak ada respons yang Mongabay terima hingga berita ini terbit.

*****