- Gaboon viper (Bitis gabonica) adalah ular Afrika dengan taring terpanjang di dunia, mencapai 5 cm, dan mampu menyuntikkan venom paling banyak dibandingkan ular lain—cukup untuk membunuh 30 orang dewasa.
- Meski terlihat lamban, ular ini memiliki serangan cepat hingga 6 meter per detik dan tak melepaskan mangsa hingga benar-benar lumpuh, membuatnya menjadi predator yang sangat berbahaya.
- Kasus serangan fatal pernah tercatat pada monyet liar di Kenya, menunjukkan bagaimana ular ini memengaruhi perilaku kewaspadaan primata di habitatnya. Gaboon viper adalah puncak evolusi predator kamuflase yang mengandalkan taring raksasa dan cadangan racun luar biasa untuk berburu dalam diam.
Gaboon viper (Bitis gabonica) merupakan salah satu ular berbisa terbesar dan paling unik yang hidup di kawasan hutan tropis lembap serta sabana Afrika sub-Sahara. Spesies ini dikenal luas karena memiliki taring terpanjang di antara semua ular, yang panjangnya mencapai 5 sentimeter, memungkinkan penetrasi jaringan mangsa secara mendalam dalam satu gigitan. Selain itu, Gaboon viper memiliki kepala lebar dan pipih dengan pola warna khas menyerupai dedaunan kering, yang membuatnya hampir mustahil terdeteksi di lantai hutan. Kemampuan kamuflasenya begitu efektif sehingga banyak peneliti atau herpetolog pun kerap melewatkan keberadaannya meskipun dalam jarak dekat.
Selain panjang taringnya yang memecahkan rekor, ular ini juga mampu menghasilkan dan menyuntikkan venom dalam jumlah terbesar dibandingkan ular berbisa lainnya, mencapai hampir 10 mililiter dalam satu gigitan. Kombinasi anatomi rahang yang kuat, cadangan racun yang melimpah, dan serangan yang sangat cepat menjadikannya predator yang sangat efisien. Meski sering terlihat lamban saat berdiam diri, Gaboon viper memiliki kecepatan serangan hingga 6 meter per detik, membuat peluang mangsa untuk menghindar hampir tidak ada. Faktor-faktor inilah yang membuat spesies ini sering dianggap salah satu ular paling berbahaya di Afrika, meskipun pada kenyataannya ular ini umumnya tidak agresif dan jarang menyerang manusia tanpa provokasi.

Karakteristik Anatomi dan Strategi Berburu
Gaboon viper dewasa dapat tumbuh hingga panjang 1,8 meter dan berat lebih dari 20 kilogram. Tubuhnya tebal dan kuat sehingga sering dijuluki “tank” di antara ular berbisa. Taringnya, yang mencapai panjang 50 milimeter, tersimpan dalam rongga mulut dengan mekanisme lipat mirip pisau lipat yang akan bergerak ke posisi tegak saat ular menggigit. Panjang taring yang ekstrem ini diduga merupakan adaptasi evolusi untuk berburu mamalia berdaging tebal. (Sebagian sumber mencatat variasi panjang taring antara 4–5 cm tergantung individu atau populasi.)
Kamuflase Gaboon viper didukung pola tubuh berwarna cokelat tanah, ungu, dan motif kontras yang menyerupai lapisan daun gugur. Dengan strategi diam total, ular ini menunggu mangsa lewat dalam jarak serangan. Kepalanya berbentuk segitiga besar dengan satu set sisik memanjang di ujung yang menyerupai tanduk kecil, mirip struktur pada badak. Begitu sasaran mendekat, serangan dilakukan dalam sepersekian detik. Gaboon viper menggunakan metode “serang dan tahan,” yakni menggigit sambil mencengkeram mangsa hingga racun tersuntikkan seluruhnya.
Ular ini bersifat soliter dan aktif terutama saat senja hingga malam (nokturnal), keluar dari persembunyian untuk berburu. Adaptasi ini menjadikan spesies ini predator puncak yang efektif dalam memangsa hewan pengerat, burung tanah, dan mamalia kecil di habitatnya.
Baca juga: Bersisik Tapi Bukan Ular. Makhluk Apakah Ini?
Resiko Terhadap Manusia
Venom Gaboon viper terdiri dari kombinasi sitotoksin, hemotoksin, dan kardiotoksin. Satu gigitan dapat menyuntikkan hingga 2.400 mg venom kering, dengan efek merusak jaringan, menghentikan pembekuan darah, dan memicu kegagalan organ vital. Untuk perbandingan, dosis sekitar 100 mg venom kering saja cukup untuk membunuh manusia dewasa. Dalam salah satu kasus di Swiss, korban meninggal dalam waktu 1,5 jam setelah tergigit di dada. Meski demikian, toksisitas per miligram racunnya sebenarnya lebih rendah dibanding mamba hitam. Risiko tinggi muncul terutama karena volume yang disuntikkan sangat besar dan kedalaman penetrasi taring.
Ular ini jarang menyerang manusia secara aktif. Mayoritas kasus gigitan terjadi akibat langkah tidak sengaja saat individu berkamuflase di lantai hutan. Saat terganggu, Gaboon viper sering mendesis keras sebagai peringatan sebelum menggigit. Di Afrika Barat, penelitian menunjukkan bahwa primata seperti monyet biru muda akan memperlihatkan perilaku waspada ekstrem jika mendeteksi keberadaan ular ini. Kasus predasi terhadap monyet pernah tercatat di Kenya, ketika seekor juvenil mati akibat gigitan Gaboon viper. Fenomena tersebut mendukung hipotesis bahwa ular berbisa memiliki pengaruh signifikan terhadap evolusi perilaku penghindaran predator pada primata.

Menurut Dr Mirza Dikari Kusrini dari Institut Pertanian Bogor, Gaboon viper merupakan spesies yang berbisa tinggi tetapi umumnya bersifat pasif. “Berhubung berbisa, ya jelas berbahaya, walaupun hewan ini sebenarnya agak pasif,” ujarnya kepada Kompas.
Spesies ini bukan ular asli Indonesia, dan tidak tersedia antivenom lokal di wilayah Asia Tenggara. Selain itu, Gaboon viper terdaftar dalam kategori Least Concern menurut IUCN Red List, artinya populasinya saat ini dianggap stabil meskipun tetap menghadapi ancaman deforestasi.
Sebagai predator puncak, spesies ini memiliki peran penting dalam mengendalikan populasi hewan pengerat dan burung. Keberlangsungan populasinya menjadi salah satu aspek penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan Afrika.
Baca juga: Fosil Hidup: Ular-ular yang Hidup Bersama Dinosaurus, dan Masih Ada Hingga Kini
Taring dengan Panjang Rekor Dunia
Gaboon viper dewasa dapat tumbuh hingga panjang 1,8 meter dan berat lebih dari 20 kilogram. Taringnya yang panjang, mencapai 5 cm, dirancang untuk menembus jaringan mangsa secara maksimal. Mekanisme lipat taring memungkinkan struktur ini tersimpan aman di rongga mulut saat rahang tertutup, lalu bergerak ke posisi tegak lurus ketika menyerang.
Penelitian menunjukkan bahwa panjang ekstrem ini kemungkinan merupakan adaptasi evolusi untuk berburu mamalia berdaging tebal. Meski ukuran absolut taringnya adalah yang terpanjang, secara proporsional masih lebih kecil dibanding taring Speckled Forest Pitviper (Bothrops taeniatus) dari Amerika Selatan. Gaboon viper juga memiliki rahang yang sangat fleksibel, memungkinkan proses menelan mangsa berukuran besar secara efisien.

Venom dalam Jumlah Sangat Besar
Gaboon viper dapat menyuntikkan hingga 2.400 mg venom kering atau sekitar 9,7 ml venom cair dalam satu gigitan. Racunnya mengandung sitotoksin, hemotoksin, dan kardiotoksin yang merusak jaringan, mengganggu pembekuan darah, dan memicu kegagalan organ vital. Untuk perbandingan, hanya sekitar 100 mg venom kering sudah cukup mematikan manusia dewasa.
Meskipun toksisitas venom per miligram lebih rendah dibanding bisa mamba hitam, volume yang disuntikkan menjadikannya salah satu ular dengan efek gigitan paling serius. Dalam kasus di Swiss, seorang korban meninggal dalam waktu 1,5 jam setelah tergigit. Namun, ular ini umumnya bersifat tenang dan akan menghindar bila tidak merasa terancam. Sebagian besar insiden gigitan terjadi akibat langkah manusia yang tidak sengaja menginjaknya.
Strategi Berburu dan Kamuflase yang Efektif
Gaboon viper memanfaatkan pola tubuh yang menyerupai dedaunan kering untuk berkamuflase di antara serasah hutan. Corak warnanya terdiri dari kombinasi cokelat tanah, ungu, dan motif kontras yang membuatnya hampir tidak terlihat, bahkan oleh pengamat berpengalaman.
Tubuhnya yang tebal sering disamakan dengan “tank,” karena relatif berat dan tidak gesit saat berpindah tempat. Namun saat menyerang, kecepatannya dapat mencapai 6 meter per detik, sehingga mangsa tidak memiliki cukup waktu untuk menghindar. Gaboon viper menggunakan metode serangan “serang dan tahan,” di mana ia mencengkeram mangsa hingga seluruh venom tersuntikkan dan korban benar-benar lumpuh.
Adaptasi ini menjadikan spesies ini predator puncak yang efektif dalam memangsa hewan pengerat, burung tanah, dan mamalia kecil di habitatnya.
Pada Maret 2006 di Kakamega Forest, Kenya, peneliti mendokumentasikan kasus serangan Gaboon viper terhadap seekor monyet biru muda (Cercopithecus mitis stuhlmanni). Monyet tersebut mati akibat gigitan dengan gejala perdarahan parah. Ular kemudian mencoba menelan bangkai, tetapi gagal karena ukuran mangsa terlalu besar.
Penelitian lain di Afrika Barat menunjukkan bahwa beberapa spesies monyet akan menunjukkan perilaku kewaspadaan tinggi saat mendeteksi keberadaan Gaboon viper di sekitar mereka. Temuan ini mendukung hipotesis bahwa ular berbisa berperan dalam evolusi perilaku penghindaran predator pada primata.
Selain itu, reputasinya yang kuat memicu fenomena mimikri. Katak raksasa Kongo diketahui meniru pola warna dan suara desisan Gaboon viper untuk menghindari pemangsa lain.
Meskipun memiliki potensi bahaya, Gaboon viper jarang berkonflik dengan manusia secara langsung. Sebagian besar gigitan terjadi karena ketidaksengajaan, ketika individu terinjak saat berkamuflase. Saat merasa terancam, ular ini sering mendesis sebagai peringatan. Jika gigitan terjadi, penanganan medis cepat dan pemberian antivenom menjadi sangat penting.
Sebagai predator puncak, Gaboon viper membantu mengendalikan populasi tikus dan burung di habitatnya. Namun, spesies ini juga terancam oleh hilangnya habitat akibat deforestasi dan perluasan aktivitas manusia.