- Polemik rencana pembangunan terminal gas alam cair atau Liquified Natural Gas (LNG) di kawasan mangrove pesisir Bali terus berlanjut. Berdalih sebagai bagian dari upaya mewujudkan Bali Mandiri Energi Bersih, Gubernur Bali I Wayan Koster bersikukuh melanjutkan rencananya.
- Awal bulan ini, Koster bertemu perwakilan masyarakat terdampak proyek dari Serangan, Desa Intaran dan Desa Sidakarya. Pertemuan di kantor gubernur ini juga diikuti investor dari PT Dewata Energi Bersih, Perumda milik Pemprov Bali. Koster menyatakan bahwa pembangunan terminal LNG merupakan bagian dari program Bali Mandiri Energi Bersih. Tujuannya, untuk mewujudkan ketahanan energi daerah, mendukung net zero emission 2045, dan menjaga kualitas lingkungan serta citra pariwisata Bali.
- Nyoman Pariata, Bendesa (pemimpin) Desa Adat Serangan Nyoman Pariata mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi kekhawatiran warga atas proyek ini. Misalnya, lokasi proyek berada di wilayah konservasi, jarak terminal dengan pesisir yang terlalu dekat, sekitar 500 meter yang memicu rasa takut warga dengan kemungkinan bau gas dan dampak lingkungannya.
- Aktivis lingkungan menyebut gas masih energi fosil dengan jejak emisi tinggi mulai dari penambangan, kompresi, dan distribusinya dan bukan termasuk transisi energi komitmen net zero emission. Transisi energi terbarukan yang dinilai perlu dibangkitkan adalah PLTS, PLTMH, dan lainnya yang potensinya tinggi.
Polemik rencana pembangunan terminal gas alam cair atau Liquified Natural Gas (LNG) di hutan mangrove pesisir Bali terus berlanjut. Berdalih sebagai bagian dari upaya mewujudkan Bali Mandiri Energi Bersih, Gubernur Bali I Wayan Koster bersikukuh melanjutkan rencananya.
Awal bulan ini, Koster bertemu perwakilan masyarakat terdampak proyek dari Serangan, Desa Intaran dan Desa Sidakarya. Pertemuan di kantor gubernur ini juga bersama investor dari PT Dewata Energi Bersih, Perumda Pemerintah Bali.
Dalam keterangannya, Koster menyatakan, pembangunan terminal LNG bagian dari program Bali Mandiri Energi Bersih. Tujuannya, mewujudkan ketahanan energi daerah, mendukung pencapaian net zero emission 2045, dan menjaga kualitas lingkungan serta citra pariwisata Bali.
Sampai saat ini, katanya, Bali sangat bergantung pada pasokan listrik dari Jawa melalui kabel bawah laut yang rentan terganggu. Seperti saat blackout 12 jam bulan lalu. Untuk itu, infrastruktur energi lokal berbasis gas alam cair (LNG) dia nilai menjadi kebutuhan mendesak.
Namun, rencana itu mendapat pertentangan warga. Sebelumnya, pengurus desa adat dan masyarakat Desa Intaran aksi terbuka melibatkan ribuan warga. Selain soal keamanan, mereka juga khawatir rencana itu berdampak pada kerusakan ekosistem mangrove dan ancam pencaharian nelayan. Protes juga dilakukan ke DPRD guna mempertanyakan revisi tata ruang yang dikhawatirkan ancam hutan mangrove.
Koster meyakini proyek ini tidak akan bermasalah karena sudah ada dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Misalnya jalur kapal sudah eksisting dan tidak melewati terumbu karang aktif, kapal pengangkut LNG hanya datang setiap 42 hari dan proses bongkar muat dilakukan dalam 24 jam. “Pipa gas dipasang di kedalaman 15 meter, di bawah akar mangrove, tanpa mengganggu ekosistem,” katanya.
Dia menyebutkan, LNG berbeda dengan LPG, yakni tidak mudah meledak. Ketika bocor, gas akan menguap di udara. Demikian juga saat pengerukan, akan dilakukan dengan menggunakan teknologi ramah lingkungan seperti kapal hisap pasir dan kelambu lumpur untuk mencegah kekeruhan.
Terminal LNG ini juga akan terintegrasi dengan PLTG Pesanggaran dan pembangkit baru di perbatasan Denpasar-Gianyar, dengan total kapasitas 1.550 MW pada 2029, sejalan dengan pertumbuhan kebutuhan listrik Bali.

Ancam wilayah konservasi
Nyoman Pariata, Bendesa (pemimpin) Desa Adat Serangan Nyoman Pariata mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi kekhawatiran warga atas proyek ini. Misalnya jarak terminal dengan pesisir yang terlalu dekat, sekitar 500 meter yang memicu rasa takut warga dengan kemungkinan bau gas dan dampak lingkungannya.
“Warga dihantui secara psikis karena mencium gas bocor dari tabung 3 kg saja takut. Kami sudah cari tahu tentang terminal LNG di daerah lain, letaknya sampai puluhan kilometer dari pesisir,” katanya.
Ketakutan lain adalah kerusakan ekosistem akibat proses pengerukan atau dredging karena masih banyak nelayan yang menggantungkan hidup dari laut sekitarnya. “Warga yang paling tahu kondisi alam di sini, kalau dredging pasti ada lumpur, sampah yang berdampak.”
Pariata juga menyebut sejumlah warga sudah menyampaikan keberatan langsung ke pejabat menteri ketika datang ke Serangan. Warga ingin memastikan keamanan dengan keberadaan kapal pengangkut gas itu.
Polemik ini juga menjadi perhatian kelompok mahasiswa Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi (LMND) Denpasar. Made Dirgayusa, Ketua LMND menyampaikan hasil pemantauannya terkait terminal LNG dari aspek lingkungan, ekonomi, tata ruang, dan rawan bencana. “Terminal LNG kemungkinan akan mengurangi mata pencaharian nelayan karena ada pengerukan, kami memang fokus pada isu nelayan dan petani,” ujarnya.
Pihaknya sudah membaca Amdal dan menilai adanya persoalan dari keberadaan fasilitas ini, terutama soal emisi. “LNG tidak 100% bersih, tapi lebih bersih dari batubara, LNG tetap mengeluarkan emisi,” lanjut Dirgayusa. Catatan lainnya, lokasi proyek berada di kawasan konservasi Tahura Ngurah Rai yang memiliki fungsi ekologis, spiritual, dan sosial penting.
Tahura Ngurah Rai disebut memiliki stok karbon 1.023 MgC/ha yang penting dalam menyerap emisi gas rumah kaca. Kehilangan 1-2 hektar mangrove setara dengan melepas ribuan ton CO₂.
Ekosistem ini juga berfungsi sebagai nursery ground bagi 78% larva ikan ekonomis serta menjadi habitat bagi Elang Bondol (Haliastur indus) dengan populasi <25 ekor dan Gajahan Eurasia (Numenius Arquata) sebagai spesies yang terancam punah dan dilindungi Undang-undang.
Pengerukan 3,3 juta m³ sedimen diperkirakan mengancam terumbu karang yang sudah mengalami kerusakan berat (tutupan 12%) serta lamun sebagai sumber pakan penyu. Arus laut di lokasi juga dipastikan berubah imbas keberadaan Unit Regasifikasi Penyimpanan Terapung (FSRU).
Kelompok nelayan di Serangan juga dinilai berpotensi kehilangan akses hingga 40% wilayah tangkap akibat dibutuhkannya ruang manuver kapal FSRU yang berdiameter 570 meter. Hal itu belum termasuk penyempitan jalur pelayaran di wilayah Pembangunan FSRU yang berada dilepas pantai.
Indeks kerentanan nelaryan (LVI) mencapai 0,72 karena 85% pendapatan mereka bergantung pada ekosistem mangrove yang tentunya akan terdampak sebagai imbas dari aktivitas drilling serta aktivitas kapal LNG yang mempengaruhi tingkat kekeruhan air.
Lokasi proyek juga berada di zona merah tsunami (ketinggian 4–6 meter), menurut InaRISK BNPB bisa ada domino effect jika terjadi resiko kecelakaan dari lingkungan sekitar yang berdampak terhadap lokasi FSRU dan terminal LNG, apalagi keberadaan FSRU berdekatan dengan lingkungan padat penduduk di Pulau Serangan.
Dari dimensi hukum dan tata ruang, proyek pembangunan FSRU yang berada dalam area lepas pantai, menurut RZWP3K merupakan area yang ditetapkan sebagai zona pelabuhan, tetapi pembangunan infrastruktur pendukung pipa gas LNG berada di wilayah Taman Hutan Raya.
Karena berada di kawasan konservasi, perencanaannya seharusnya mengikuti aturan yang berlaku, seperti UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Perda Bali No. 16/2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029. “Tapi hukum tidak memberi kepastian hukum juga,” keluh Dirgayusa.
LMND merekomendasikan relokasi FSRU ke zona offshore (>10 km dari pantai) dengan kedalaman >15 m dan di luar jalur migrasi mamalia laut. Keberadaan FSRU di Lampung dan Jakarta dapat menjadi referensi karena berjarak lebih dari 10 KM dari garis pantai.

Emisi tinggi
Suriadi Darmoko, pengampanye energi terbarukan dari 350 Indonesia juga menyayangkan transisi energi dengan gas. “Gas bukan energi bersih, mulai dari proses penambangan, kompresi, distribusi dan pembakaran masih meninggalkan jejak emisi karbon gas fosil ini sangat tinggi. Karena sama-sama dari fosil, artinya itu tidak terbarukan” katanya.
Dia menjelaskan net zero emission adalah komitmen secara global yang bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 1,5°C. Salah satu penyebab utamanya adalah penggunaan bahan bakar fosil, batubara, minyak bumi dan gas.
Dalam upaya mencapai target tersebut yang prioritaskan adalah penggunaan energi terbarukan yang bersumber dari matahari, angin dan air. Gas bukan termasuk dalam kualifikasi energi bersih dan terbarukan yang dipilih untuk mencapai target net zero.
Transisi energi, adalah aksi iklim untuk menurunkan gas rumah kaca akibat penggunaan bahan bakar fosil. “Malu rasanya jika Bali sering menjadi tuan rumah pembahasan aksi iklim dan transisi energi pada level international baik di UNFCCC maupun G20 tapi elit politik dan pejabat tidak terliterasi dengan bagi soal bagaimana aksi iklim dan transisi energi seharusnya berjalan.”
Saat ini, transisi energi di Bali alami stagnasi. Kalau Bali mau mandiri energi maka ada tiga potensi sumber utamanya, angin (10.000 MW), surya (1.000 MW) dan mini/mikro hidro 37 MW. Dimana, secara teknologi, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dinilai paling siap.
“Dua sumber energi ini dapat dibangkitkan secara gotong royong mulai dari level pemerintah desa hingga pemerintah daerah. Sayang sekali, saat ini pengembangan energi terbarukan diswastanisasi ke korporasi, pemain energi fosil skala besar.”
*****
Warga Intaran Paparkan Dampak Pembangunan Terminal LNG pada Tahura Mangrove