- Polemik Undang-undang nomor 32 tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE/UU Konservasi) masih terjadi. Kali ini, masyarakat sipil menyoroti istilah ‘areal preservasi’ yang berpotensi merampas ruang hidup masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk di Raja Ampat.
- Imam Mas’ud, Kepala Divisi Pengelolaan Pengetahuan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), menjelaskan, penetapan areal preservasi itu wewenang pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu, dia khawatir praktiknya akan sama dengan yang pemerintah lakukan selama ini saat menetapkan areal yang berkaitan dengan KSDAHE lainnya yang tidak melibatkan masyarakat, sehingga hanya merupakan klaim sepihak pemerintah.
- Erwin Suryana, Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), menilai, selama ini praktik perampasan ruang hidup bermula dari pemberian izin terhadap korporasi atau pihak luar.
- Bono Budi Priambodo, akademisi sekaligus pakar hukum ruang kelautan dari Universitas Indonesia, menilai pemerintah menggunakan konsep yang asal-asalan dengan dalih ingin melindungi lingkungan. Menurutnya, konsep konservasi dan preservasi memiliki perbedaan makna yang tidak sembarangan.
Undang-undang Nomor 32/2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi) jadi perdebatan. Kali ini, masyarakat sipil menyoroti istilah ‘areal preservasi’ yang berisiko merampas ruang hidup masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti di Raja Ampat.
Regulasi itu menjabarkan area preservasi sebagai areal di luar Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil yang dipertahankan kondisi ekologisnya untuk mendukung fungsi penyangga kehidupan ataupun kelangsungan hidup sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Imam Mas’ud, Kepala Divisi Pengelolaan Pengetahuan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), menjelaskan, penetapan areal preservasi itu wewenang pemerintah pusat dan daerah. Dia khawatir, praktiknya akan sama dengan yang pemerintah lakukan selama ini saat menetapkan areal yang berkaitan dengan KSDAHE lainnya yang tidak melibatkan masyarakat, sehingga hanya merupakan klaim sepihak pemerintah.
Sejauh ini, ada 4.569 desa pesisir dengan luas lebih dari 21 juta hektar pemerintah klaim sebagai kawasan hutan. “Banyak sekali upaya penetapan kawasan hutan, tanpa ada identifikasi atau pelibatan masyarakat lokal,” katanya, 10 Juni lalu.
Ujung-ujungnya, penetapan itu untuk kawasan eksploitasi oleh korporasi atau pemerintah. JKPP mencatat, pemerintah telah mengeluarkan izin hak pengusahaan hutan (HPH) seluas 485.985 hektar di 466 desa pesisir dan izin hutan tanaman industri (HTI) seluas lebih dari 2 juta hektar di 478 desa pesisir.
Juga, izin hak guna usaha (HGU) dengan luas 973.599 hektar di 862 desa pesisir, dan izin usaha pertambangan dengan luas lebih dari 2 juta hektar di 1.561 desa pesisir lainnya.
Padahal, jika ingin berfokus pada konservasi, pemerintah seharusnya libatkan masyarakat setempat. Imam bilang, masyarakat lebih tahu bagaimana cara rawat ruang hidup mereka.
“Dengan kita mengakui praktik konservasi masyarakat, enggak perlu sebenarnya negara ikut campur urusan konservasi,” katanya.
Pemerintah, lanjutnya, selama ini juga tidak memahami konsep pembagian ruang, sehingga klasifikasi areal KSDAHE-nya tidak tepat. Misal, konsep areal pesisir seharusnya satu kesatuan lanskap darat dan laut.

Menyasar Raja Ampat
Salah satu polemik yang muncul adalah terbukanya pengelolaan areal preservasi oleh pihak luar. Hal ini termaktub dalam Pasal 9 Ayat 4 yang berbunyi “Setiap Orang yang memiliki perizinan berusaha di Areal Preservasi wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah dengan melakukan kegiatan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, termasuk menyediakan pendanaannya.”
Pasal ini memperkuat potensi perampasan ruang hidup. Erwin Suryana, Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), menilai, selama ini praktik perampasan ruang hidup bermula dari pemberian izin terhadap korporasi atau pihak luar.
Areal preservasi, katanya, mungkin tak akan jadi pertambangan, namun modusnya bisa lewat bisnis yang diklaim ‘lebih hijau’ seperti perdagangan karbon (carbon trading). Dia juga menduga area preservasi di lautan akan pemerintah manfaatkan untuk debt swap, mekanisme pembayaran hutang yang diubah jadi pembiayaan konservasi
Dalam hal ini, Raja Ampat dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang masih biru bisa masuk incaran. Areal preservasi bisa menargetkan lautan dengan ekosistem yang masih sangat bagus tersebut. Pasalnya, ekosistem di pesisir dan lautan seperti padang lamun serta mangrove menyerap karbon 2-5 kali lebih efisien ketimbang hutan daratan.
“Ke depannya blue carbon itu sudah menjadi satu isu di internasional dan tampaknya ke depannya untuk proses carbon sequestration akan lebih banyak jatuh ke situ.”
Selain itu, pemerintah kerap menganggap laut sebagai wilayah yang kosong. Sehingga tidak perlu menggusur masyarakat jika ingin mengeksploitasinya.
Padahal, katanya, laut adalah ruang hidup nelayan. Cacat pikir pemerintah mengenai konsep darat, pesisir dan laut ini yang menyebabkan nelayan terusir dari ruang hidup mereka.
Fenomena ini sebenarnya sudah terjadi di beberapa wilayah konservasi. Pemerintah tidak memperbolehkan nelayan menangkap ikan di areal konservasi yang mereka tetapkan. Padahal, nelayan lebih tahu areal tangkap ikan yang aman tanpa merusak ekosistem laut.

Akal-akalan
Bono Budi Priambodo, akademisi sekaligus pakar hukum ruang kelautan dari Universitas Indonesia, menilai, pemerintah menggunakan konsep yang asal-asalan dengan dalih ingin melindungi lingkungan. Menurut dia, konsep konservasi dan preservasi memiliki perbedaan makna yang tidak sembarangan.
“Sesuai dengan istilahnya to conserve. Artinya masih boleh digunakan. Tapi kita conserve, kita hemat-hemat lah.”
Sementara preservasi, berasal dari kata preserved yang artinya ‘diawetkan’. Dengan kata lain, alam harus diawetkan dan dilindungi, termasuk dari manusia yang tinggal di dalamnya.
Konsep ini bisa jadi akal-akalan pemerintah supaya mudah mengusir masyarakat lokal yang secara turun temurun tinggal di sana dengan dalih preservasi. Dengan begitu, kawasan tersebut bisa leluasa pemerintah gunakan untuk untuk eksplorasi.
Selama ini, pemerintah kerap merasa kesulitan mengeksploitasi suatu potensi ekonomi di satu daerah karena ada masyarakat di dalamnya. Adanya istilah preservasi bisa memuluskan niat eksploitasi dengan dalih konservasi.
“Jadi relokasi (masyarakat) kesannya bisa dilakukan sebelum ada inisiatif-inisiatif untuk melakukan eksploitasi secara ekonomis.”
Karena itu, harus ada upaya mencabut aturan preservasi ini. Selain berpotensi greenwashing, aturan ini juga bisa jadi alat penjajahan.
Bono bilang, aturan ini tak jauh beda dengan era Christopher Columbus menemukan benua Amerika pada 1492. Yang jadi titik awal kolonialisasi Eropa di Amerika, saat itu sudah dihuni oleh berbagai suku, termasuk Suku Indian.
Setiap wilayah, lanjutnya, pasti ada kehidupan, bukan tanah kosong. Oleh sebab itu, tidak bisa ada perampasan begitu saja.
“Itu di Amerika. Nah, kita balik lagi ke situ. Kita mundur lagi ke 1492.”
Pembentukan negara, katanya, bukan untuk membagi-baginya ke kelompok tertentuk. Tanah, air, dan segala kekayaan alam di dalamnya bukan barang spekulasi.
Selain itu, pasal preservasi menurutnya juga memungkinkan kriminalisasi warga. Terutama dalam pasal 9 yang menyatakan setiap orang pemegang hak atas tanah di areal preservasi tidak bersedia melakukan kegiatan KSDAHE harus melepas hak atas tanah dengan mendapatkan ganti rugi.
Mustaghfirin, Ketua Forum Peduli Pulau Pari ketar-ketir dengan pasal-pasal bermasalah di UU KSDAHE. Saat ini saja, wilayah daratan yang dia dan warga Pulau Pari lainnya tinggali sudah perusahaan kuasai.
Catatan Wahana Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Walhi), 39,7 hektar dari total 41, 3 hektar luas Pulau Pari sudah diklaim pihak lain sejak 1989. Terdapat 61 sertifikat dengan luas 14,4 hektar atas nama perorangan serta 14 sertifikat hak guna bangunan (SHGB) atas nama PT Bumi Pari Asri dan PT Bumi Griya Nusa. Dua perusahaan itu merupakan anak perusahaan PT Bumi Raya Utama.
Warga Pulau Pari pun terus melakukan perlawanan pencaplokan itu. Pada 2018, Ombudsman RI menemukan ada dugaan maladministrasi dalam penerbitan puluhan SHGB dan SHM itu.
Namun, hingga sekarang perusahaan-perusahaan itu masih mencoba mengambil alih daratan milik warga. Tidak hanya di darat, sekitar kawasan perairan Pulau Pari terancam karena reklamasi yang membuat tangkapan laut warga berkurang drastis.
Mustaghfirin meminta pemerintah tidak lagi mengeluarkan aturan dan izin-izin yang mengancam kelangsungan warga dan ruang hidupnya. “Tolonglah bahwa ini kita pengen punya masa depan yang baik, kita juga pengen hidup kita damai, aman.”

*****