- Desa Taduno, Pulau Bangkurung, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah, dikenal sebagai daerah penghasil roa atau julung-julung Tetrapterus sp). Tradisi penangkapan ikan di Desa Taduno sudah berlangsung lama, diperkirakan mulai muncul sekitar tahun 1950-an seiring dengan datangnya nelayan pendatang luar, yaitu dari Sangir, Sulawesi Utara.
- Nelayan di Taduno bekerja dalam struktur berupa juragan kapal, kapten (juru mudi), dan saw. Sekali melaut bisa melibatkan hingga 12 orang, bergantung pada ukuran pukat dan kapal.
- Satu hal yang tak bisa dipisahkan dari keberlanjutan roa adalah peran perempuan. Mulai dari menyiangi, menjepit (di-gepe), hingga mengawasi pengasapan, semuanya ada di tangan ibu-ibu kampung.
- Meskipun populasi roa masih melimpah, musim dan cuaca tetap menjadi tantangan. Begitu pula ancaman eksploitasi berlebihan. Penggunaan pukat cincin mini (soma roa) sebenarnya dianggap lebih selektif dan ramah lingkungan. Namun, kebutuhan pasar yang terus meningkat memaksa sebagian nelayan meningkatkan intensitas tangkap tanpa jeda.
Bangkurung, pulau kecil di ujung tenggara Sulawesi Tengah (Sulteng), Kabupaten Banggai Laut, menyimpan cerita panjang antara manusia, laut, dan ikan mungil bernama roa. Di pulau ini, keberlanjutan tidak hanya tertulis dalam dokumen resmi, tetapi menjadi lelakon para nelayan, perempuan pengolah ikan, dan komunitas pesisir yang menggantungkan hidup dari laut.
“Kami di sini hidup dari laut, tapi bukan berarti kami bebas memperlakukannya semaunya,” kata Nurdin Musa, Kepala Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana, Banggai Laut. Dia sekaligus peneliti yang mendalami praktik perikanan dan budaya pengolahan ikan roa di Pulau Bangkurung, tengah April 2025.
Selama lebih dari enam bulan di 2024 silam, Nurdin terjun langsung ke lapangan, mewawancarai nelayan, mencatat tradisi, dan mengamati bagaimana ekosistem perikanan kecil ini bertahan dalam gempuran perubahan.
Roa, atau secara ilmiah disebut Tetrapterus sp., adalah simbol keterikatan itu. Dengan tubuh ramping seperti cerutu dan garis biru keperakan di sisinya, ikan ini berenang lincah di perairan tropis Sulawesi. Ia adalah nafkah, budaya, dan bahkan harapan.

Tradisi hidup
Tradisi penangkapan ikan di Desa Taduno sudah berlangsung lama, diperkirakan mulai muncul sekitar tahun 1950-an seiring dengan datangnya nelayan luar, dari Sangir, Sulawesi Utara (Sulut). Para pendatang inilah yang mengenalkan pertama kali metode penangkapan ikan dan pengolahan roa
“Dulu, mereka dari Sangir datang dengan perahu membawa pukat, setelah mendapatkan hasil mereka mulai tinggal di pulau. Penduduk lokal yang melihat itu kemudian ikut menjadi anak buah atau sawi. Komoditas ini populer karena perempuan juga terlibat dalam proses produksi olahan ikan roa ini,” kata Darwis, tetua desa.
Kehadiran orang Sangir diterima dengan baik penduduk lokal. Warga lokal yang awalnya hanya nelayan umum, tidak memiliki target ikan tertentu, mulai fokus pada roa. Apalagi populasi roa sangat melimpah, khusus di musim-musim tertentu.
Warga lokal yang awalnya hanya sebagai sawiyang bertugas membantu nelayan Sangir menangkap roa, perlahan naik status menjadi kapten kapal atau juru mudi. Bahkan, beberapa juragan pengolah roa adalah penduduk lokal.
Nelayan di Taduno bekerja dalam struktur berupa juragan kapal, kapten (juru mudi), dan sawi. Sekali melaut bisa melibatkan hingga 12 orang, bergantung pada ukuran pukat dan kapal. Hasilnya? Jika mujur, bisa pulang membawa 1 ton ikan dalam 20 keranjang besar tetapi keberuntungan tak datang setiap hari.
“Angin kencang Mei sampai Agustus, nelayan istirahat. Laut bukan musuh, dia harus dihargai,” tambah Nurdin. Dia merujuk pola musiman yang mempengaruhi aktivitas nelayan.
Menurut dia, sangat penting memperhatikan tren iklim jangka panjang yang bisa berdampak pada pergerakan ikan roa dan produktivitas tangkapan.

Peran perempuan
Satu hal yang tak bisa terpisahkan dari keberlanjutan roa adalah peran perempuan. Mulai dari menyiangi, menjepit (di-gepe, hingga mengawasi pengasapan, semua ada di tangan ibu-ibu kampung.
“Kalau banyak hasil, kami kerja malam juga. Daseng cuma ada delapan di desa ini,” kata Suri, perempuan 40 tahun yang sejak kecil akrab dengan bau asap roa.
Daseng adalah rumah pengasapan tradisional berukuran sekitar 3×4 meter. Di dalamnya, ikan dijepit bambu dan diasapi pelan-pelan di atas bara kayu kelapa selama 24 jam. Hasil akhirnya: roa matang yang wangi dan gurih, siap olah untuk konsumsi atau dibuat sambal.
Teknik ini bukan sekadar pengolahan, juga strategi bertahan. Karena belum ada teknologi pendingin memadai, pengasapan adalah satu-satunya cara menjaga ikan tetap awet. Ini sekaligus menciptakan nilai tambah bagi para pelaku usaha kecil.
Asmawati, contoh bagaimana inovasi muncul dari tradisi. Berbekal ilmu dari orang tuanya, dia kini menjalankan usaha sambal dan abon roa lewat kelompok “Sari Roa” yang beranggotakan sembilan perempuan. Produk mereka tak hanya dijual di pasar lokal, tapi juga sudah masuk ke platform digital. “Roa ini bukan cuma makanan, tetapi warisan. Kalau kita kelola baik, bisa hidup terus, anak-anak juga bisa lanjutkan.
Setiap botol sambal roa mengandung lebih dari sekadar rasa. Ia adalah akumulasi dari pengetahuan lokal, kerja kolektif, dan relasi yang dijalin antara manusia dan laut. Dan seperti yang ditekankan Nurdin, “Semua itu baru bisa jalan kalau ikannya masih ada.”
Meskipun populasi roa masih melimpah, musim dan cuaca tetap menjadi tantangan. Begitu pula ancaman eksploitasi berlebihan. Penggunaan pukat cincin mini soma roa) sebenarnya dianggap lebih selektif dan ramah lingkungan. Namun, kebutuhan pasar yang terus meningkat memaksa sebagian nelayan meningkatkan intensitas tangkap tanpa jeda.
“Kalau tidak hati-hati, habis juga. Kita yang rugi sendiri,” kata Haruna, pengusaha pengolahan ikan yang dulunya juga nelayan. Ia kini memiliki daseng sendiri dan menjadi rujukan pengusaha muda di Taduno.
Untuk itulah, edukasi dan pengawasan berbasis komunitas menjadi penting. Nurdin, sebagai peneliti sekaligus pengambil kebijakan, mendorong sistem buka-tutup wilayah tangkap serta membatasi ukuran ikan yang boleh diambil. Dia juga mendokumentasikan tradisi seperti basinolon sebagai wujud relasi spiritual dengan laut.
Basinolon dilakukan dengan cara melarung benda tertentu ke laut disertai harapan dan doa-doa. Pada saat basinolon ini nelayan menyiapkan bahan ritual berupa pinang 4 biji, sirih atau daun sirih, rokok empat batang, kapur sirih secukupnya, telur dua biji dan piring plastik. Semua bahan itu ditempatkan ke piring plastik sebelum dihanyutkan ke laut. Tradisi basinolonsendiri telah mengalami sinkretisme dengan Islam jika dilihat adanya bacaan doa-doa dalam basinolon ini yang dibacakan dalam bahasa Arab bercampur bahasa lokal.
“Kita perlu membangun rasa hormat, bukan hanya aturan. Ritual-ritual itu menjaga kesadaran kolektif bahwa laut bukan mesin penghasil uang,” katanya.

Keberlanjutan
Roa bukan semata soal ekonomi. Dia telah membentuk identitas, menghubungkan generasi, dan mengikat komunitas pada ruang ekologis yang mereka huni.
Namun menjaga roa berarti juga menjaga laut. Keberlanjutan tidak datang dari kebijakan di atas kertas, tapi dari aksi kolektif masyarakat pesisir. Dari pengolahan berbasis rumah tangga, teknologi tepat guna, hingga distribusi yang ramah lingkungan—semua harus berjalan beriring. “Kalau kita rawat laut, laut akan rawat kita,” ujar Nurdin.
Dia menambahkan, dengan mengedepankan pendekatan berbasis komunitas, dan melibatkan aktor-aktor kunci lokal dalam pengelolaan sumber daya, masa depan perikanan roa di Pulau Bangkurung tidak hanya bisa dipertahankan, juga diperluas menjadi model keberlanjutan pesisir yang patut dicontoh.
“Ini bukan hanya tentang bagaimana menangkap, mengolah, dan menjual ikan. Ini tentang bagaimana menjaga warisan laut agar tetap hidup untuk generasi berikutnya.”
*****
Buka-Tutup Kawasan Tangkap Gurita di Makassar Sukses. Bagaimana Keberlanjutannya?