- Tim IPB University dan WRI Indonesia melakukan ekspedisi selama lima hari di TN Sebangau untuk mengumpulkan sampel genetika pohon ramin sebagai bagian dari pengembangan teknologi identifikasi kayu guna mendukung pelacakan kayu legal dan mencegah penyelundupan.
- Sejak 2022, tim peneliti menembus hutan di berbagai wilayah Indonesia demi mewujudkan teknologi baru yang mereka idamkan. Sedikitnya 20 sampel kayu mereka kumpulkan di setiap lokasi untuk membangun database, meski harus berjibaku dengan medan berat dan keterbatasan akses di lapangan, salah satunya di TNS.
- Fifi Gus Dwiyanti, Project Coordinator sekaligus peneliti dari Forest Genetics Lab IPB, menyebut, pengembangan genetika ramin merupakan bagian dari proyek nasional Wood ID, yang bertujuan membangun sistem identifikasi kayu Indonesia berbasis sains dan teknologi.
- Berdasarkan target, proyek ini rampung Juli 2025. Nantinya, mereka akan hasilkan beberapa teknologi identifikasi kayu baru, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Masih terang dalam ingatan Faulan Rahman, warga Palangkaraya, ketika dengan mudahnya menemukan pohon ramin (Gonystylus bancanus) saat masih kecil. Pohon-pohon berdiameter lebih dari satu meter, sangat mudah dia temukan di Taman Nasional Sebangau (TNS), Kalimantan Tengah, menjulang tinggi di antara rimbunnya vegetasi hutan.
“Sangat jauh berbeda. Padahal dulu hampir di semua titik di Sebangau ini terdapat banyak pohon ramin,” kenangnya, saat menemani tim IPB University dan World Resources Institute (WRI) di TN Sebangau mencari sampel pohon ramin.
Kesulitan mencari tanaman yang tumbuh di lahan gambut ini terjadi sejak kawasan yang dulu berstatus hutan produksi dan menjadi lokasi operasi berbagai perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH), maupun pembalakan liar era 1990-an. Penebangan pohon ramin terjadi besar-besaran.
Ilan, panggilan karibnya, kini bekerja di taman nasional. Dia bilang, perburuan saat itu mendorong orang-orang membangun kanal demi menghanyutkan gelondongan kayu—panjang bisa mencapai empat meter—ke sungai yang lebih besar, untuk memudahkan pengangkutan. Sebagian kanal bahkan masih ada hingga sekarang.
“Bayangkan dulu harga kayu Ramin dijual dengan harga sekitar Rp500.000 per kubik. Apa tidak mahal.”
Penebangan masif kayu kala itu berkorelasi dengan banyaknya perusahaan penggergajian kayu (sawmill) yang beroperasi. Bahkan, sekitar 50 hingga 60 sawmill aktif di sekitar DAS Sebangau.
Setiap sawmill pada umumnya memiliki tiga hingga lima bandsaw, masing-masing mampu memproses antara 15-20 meter kubik kayu per hari, tergantung jumlah pasokan yang tersedia. Selain ke pasar lokal, sepengetahuannya, penadah kayu-kayu hasil tebangan itu juga mengekspornya ke berbagai negara seperti Italia, Amerika Serikat, Taiwan, Jepang, Tiongkok, dan Inggris.
Di pasar internasional 2003, kayu ramin memiliki harga yang relatif tinggi, hingga US$1,000 per meter kubik. Hingga, tidak heran kayu ini jadi yang paling berharga di pasar dunia kala itu.
Banyak ragam pemanfaatan kayu ramin. Mulai dari konstruksi ringan, bahan mebel, rangka pintu dan jendela, kayu lapis, moulding, hingga sebagai campuran wewangian, karena ramin mengandung gaharu di dalamnya.
“Yang dijadikan gaharu itu ada bagian tengah kayunya saja yg berwarna hitam, ada juga yang ke kuning-kuningan,” ucap Ilan.
Berdasarkan sejarahnya, luas Sebangau 568.700 hektar. Penetapannya menjadi TN melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.423/Kpts-II/2004 pada 19 Oktober 2004.
Dhio Teguh Ferdyan, Project Lead Forest and Legality Initiative WRI Indonesia, menyebut, walau penebangan tidak semasif dulu, tetapi risiko pembalakan liar di TNS bisa saja masih ada. Mereka masih menemukan pembalakan liar di wilayah Tangkiling tahun 2018. Kawasan itu terhubung langsung dengan sungai di TNS.
Lalu, Mei 2018, Direktorat Reserse Tindak Pidana Khusus Kepolisian Kalimantan Tengah menyita ratusan meter kubik kayu ilegal dari kawasan TN Sebangau di Palangkaraya. Fakta ini, menunjukkan ancaman pembalakan liar tetap mengintai kawasan itu.
“Kayu legal pun sering dimanipulasi, mulai dari asal usul dan jenis kayu hingga dokumen ekspor yang bersifat fiktif.”
Pemerintah berupaya menerapkan berbagai kebijakan untuk mempersempit ruang gerak kayu ilegal, hasilnya mulai terlihat. Untuk menjamin akurasi informasi dalam dokumen legal dan mendukung pelacakan kayu, butuh teknologi yang objektif dan konsisten.
Salah satunya, alat identifikasi kayu otomatis (AIKO), hasil kolaborasi Badan Litbang dan Inovasi (BLI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Inovasi ini memanfaatkan teknologi informasi untuk mengidentifikasi spesies kayu secara cepat dan otomatis melalui analisis anatomi.
Namun, teknologi ini masih terbatas pada identifikasi tingkat sub-genus, genus, atau dalam beberapa kasus hingga spesies, belum mampu menentukan asal geografis kayu. Karena itu, teknologi perlu terus dikembangkan agar mendukung transparansi perdagangan dan pembuktian ilmiah dalam kasus penyelundupan atau pencurian kayu secara ilegal.

Pengembangan database
Sejak 2022, tim peneliti menembus hutan di berbagai wilayah Indonesia demi mewujudkan teknologi baru yang mereka idamkan. Sedikitnya 20 sampel kayu mereka kumpulkan di setiap lokasi untuk membangun database, meski harus berjibaku dengan medan berat dan keterbatasan akses di lapangan, salah satunya di TNS.
Mereka menginap di Camp Sungai Koran selama lima hari empat malam. Menyusuri semak gambut yang dalam setiap hari—berperahu, lalu berjalan kaki—demi menyelamatkan pengetahuan.
Fifi Gus Dwiyanti, Project Coordinator sekaligus peneliti dari Forest Genetics Lab IPB, menyebut, pengembangan genetika ramin merupakan bagian dari proyek nasional Wood ID, yang bertujuan membangun sistem identifikasi kayu Indonesia berbasis sains dan teknologi.
“Sebelum mengenalkan teknologinya, kami harus membangun database dan koleksi sampel terlebih dulu.”
Selain ramin, tim peneliti juga mengumpulkan spesies lain seperti meranti tembaga (Rubroshorea leprosula) dan bangkirai (Shorea levis).
Meski proyek pengambilan sampel untuk dua spesies terakhir telah rampung, tetapi keterbatasan sebaran alami jadi tantangan utama. Sebab, tidak semua wilayah di Indonesia memiliki populasi jenis pohon yang mereka butuhkan.
Saat menyusuri hutan di Natuna, misal, tim hanya menemukan 13 pohon ramin. Sementara di Kepulauan Riau dan Bangka Belitung, tak satupun individu ramin teridentifikasi.
“Selama pengambilan sampel tahun ini, ramin memang yang paling sulit kami koleksi. Ketersediaannya di alam sudah sangat terbatas.”
Kelangkaan ramin sejalan dengan statusnya yang saat ini masuk dalam kategori critically endangered (Kritis) menurut Daftar Merah (Red List) Spesies Terancam Punah yang International Union for Conservation of Nature (IUCN) keluarkan.
Ramin juga terdaftar dalam CITES Appendix II—yakni daftar spesies yang perdagangannya dikontrol secara ketat oleh CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) untuk mencegah kepunahan akibat perdagangan internasional yang tidak berkelanjutan.
Sementara di Indonesia, ramin diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 168/Kpts-IV/2001 tentang Pemanfaatan dan Peredaran Kayu Ramin. Ia mengatur larangan penebangan ramin kecuali bagi pemegang izin yang telah mendapat sertifikat pengelolaan hutan lestari serta mengatur peredaran kayu ramin untuk tujuan non-komersial seperti riset dan pendidikan.
Ada juga Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 127/Kpts-V/2001 yang menetapkan moratorium atau penghentian sementara kegiatan penebangan dan perdagangan ramin untuk melindungi populasi ramin di alam.

Fifi bilang, sedikitnya ada tujuh tahapan penting yang harus mereka lalui dalam setiap sesi pengumpulan. Setiap tahapan mereka rancang agar data yang terkumpul valid, lengkap, dan mendukung pengembangan teknologi identifikasi kayu berbasis genetika.
Pertama, mereka haus menentukan titik koordinat pohon ramin yang sampelnya akan mereka ambil terlebih dahulu. Ini penting sebagai penanda lokasi keberadaan spesies secara geografis, sehingga data yang terkumpul bisa ditelusuri kembali dan menjadi bagian dari peta sebaran ramin secara nasional.
Kedua, tim melakukan pengukuran diameter batang dan tinggi pohon. Data ini berguna untuk mencatat kondisi fisik pohon, serta membantu menganalisis hubungan antara ukuran pohon dengan karakter genetik dan lingkungan tumbuhnya.
Ketiga, inti dari proses pengambilan core atau inti kayu menggunakan alat increment borer. Alat ini menembus batang pohon hingga ke bagian dalam, lalu menarik sampel kayu silindris sepanjang 18-23 cm. Proses ini harus hati-hati agar tidak merusak struktur kayu maupun pohonnya secara keseluruhan.
Keempat, preservasi atau pengawetan sampel kayu. Sampel mereka masukkan ke sedotan plastik kecil yang telah dibelah, lalu menyimpannya dalam plastik zip lock berisi silica gel. Silica gel berwarna biru keunguan berfungsi menyerap kelembaban agar sampel tetap kering dan tidak membusuk sebelum analisis lebih lanjut di laboratorium.
Saat di lapangan, tim juga mengambil sampel daun menggunakan ketapel. Helaian daun, berguna sebagai cadangan untuk analisis DNA. Sama seperti kayu, daun pun mereka preservasi dalam plastik zip lock berisi silica gel agar tetap kering.
Keenam, pengambilan sampel herbarium. Ini merupakan potongan daun (serta tangkai atau bunga jika tersedia) yang ditekan dan dikeringkan, lalu mereka simpan sebagai spesimen pembanding. Sampel herbarium membantu verifikasi spesies berdasarkan morfologi atau ciri-ciri fisik luar tanaman, dan menjadi referensi penting bagi para ahli botani.
Terakhir, pengambilan sampel tanah di sekitar akar pohon. Sampel tanah ini akan mereka analisis untuk mengetahui kondisi habitat tempat ramin tumbuh, termasuk keasaman, kelembaban, dan kandungan hara. Informasi ini penting untuk memahami keterkaitan antara genetik pohon dan lingkungannya.

Teknologi baru indentifikasi kayu
Berdasarkan target, proyek ini rampung Juli 2025. Nantinya, mereka akan hasilkan beberapa teknologi identifikasi kayu baru, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Pertama, teknologi konvensional yang menggunakan analisis anatomi batang kayu berdasarkan data makroskopis dan mikroskopis yang mereka kumpulkan melalui foto mikroskop untuk membangun database anatomi.
Metode ini umum untuk mengidentifikasi genus, yaitu kelompok tumbuhan yang memiliki ciri-ciri morfologi serupa dan berada satu tingkat di atas spesies dalam klasifikasi ilmiah. Keunggulannya paling murah dan cepat ketimbang teknologi lainnya.
“Ini membutuhkan keahlian dari pakar yang sangat berpengalaman,” kata Fifi. Sebab, jenis kayu komersial saja berjumlah sekitar 300 dan semuanya harus dikenali dengan baik.
Kedua, teknologi DART-TOF (Direct Analysis in Real Time – Time of Flight), mesin identifikasi cepat komposisi kimia dalam kayu yang baru tiba di Indonesia, bersamaan dengan kunjungan Ms. Tina Schneider, Director of Forest Governance and Policy, serta Ms. Sophie Labaste, Associate di tim yang sama dari World Resources Institute (WRI) Washington DC ke IPB University, Januari lalu.
Alat ini kini berada di Laboratorium Metabolomik, Unit Laboratorium Riset Unggulan (Advanced Research Laboratory/ARLab) IPB University. DART-TOF memiliki keunggulan dalam menganalisis kandungan kimia bahan secara cepat, akurat, dan tanpa memerlukan persiapan sampel yang rumit.
Alat ini unggul dalam memverifikasi spesies kayu, membangun database referensi untuk jenis kayu bernilai tinggi, serta mendorong perlindungan dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Teknologi ini juga berpotensi besar membantu penegakan hukum berbasis sains, dan menjadi terobosan dalam upaya pelestarian hutan Indonesia melalui pendekatan ilmiah yang inovatif.
“Tapi masih memerlukan pelatihan lanjutan untuk pengolahan sampel kayu.”
Ketiga, teknologi berbasis analisis stable isotope yang penerapannya baru mulai setelah tim menerima pelatihan khusus pada November 2024 dari ahli asal Australia. Metode ini menawarkan keunggulan unik dalam memverifikasi asal-usul kayu.
Isotop stabil seperti δ¹³C (karbon) dan δ¹⁸O (oksigen) memiliki kemampuan merekam jejak lingkungan tempat pohon tumbuh. Selama proses fotosintesis dan penyerapan air serta nutrisi, pohon menangkap karakteristik khas dari lingkungannya—seperti komposisi air tanah, pola curah hujan, ketinggian, dan jenis tanah.
Faktor-faktor ini menciptakan pola isotop spesifik yang berfungsi sebagai semacam tanda tangan geografis. Artinya, setiap lokasi di peta bumi memiliki sidik jari isotopik yang unik, dan ini terekam di dalam struktur kayu.
Berbeda dengan dokumen fisik seperti sertifikat asal atau dokumen pengangkutan yang bisa dipalsukan, komposisi isotop pada kayu bersifat intrinsik dan tertanam dalam jaringan selnya. Untuk memanipulasi isotop dalam kayu secara sengaja butuh teknologi canggih dan biaya tinggi—hal yang tidak realistis untuk komoditas kayu komersial.
Dalam banyak kasus, mereka tidak bisa menganalisis DNA karena sampel kayu telah rusak, kering, atau tidak memiliki referensi pembanding. Di sinilah analisis isotop menjadi alternatif andal.
Studi di Jawa menunjukkan metode ini mampu mengelompokkan asal kayu jati dengan akurasi mencapai 92,7%, menggunakan teknik statistik seperti Principal Component Analysis (PCA).
Metode isotop tidak hanya terbukti secara akademis, tapi ada juga bukti kasus nyata. Dalam kasus Lumber Liquidators di Amerika Serikat, analisis isotop berhasil membongkar praktik penyelundupan kayu oak asal Rusia yang diklaim berasal dari Jerman.
Dengan membandingkan pola δ¹³C dan δ¹⁸O terhadap database referensi, bisa membuktikan asal geografis kayu secara ilmiah di pengadilan. Penelitian lain pada kayu jati di Pulau Jawa bahkan menemukan korelasi kuat antara lokasi geografis dan kandungan isotop.
Peneliti menemukan setiap kenaikan satu derajat bujur ke timur mengakibatkan peningkatan δ¹³C sebesar 2,42‰ dan δ¹⁸O sebesar 1,85‰. Hubungan linier ini memungkinkan ilmuwan merekonstruksi lokasi asal kayu secara kuantitatif, bahkan mendekati koordinat GPS-nya.
Teknologi identifikasi kayu berbasis isotop ini juga berpotensi besar dalam meningkatkan integritas sistem sertifikasi legalitas kayu. Dengan verifikasi ilmiah atas asal-usul kayu, sertifikat legalitas tidak hanya bergantung pada dokumen administratif, tetapi diperkuat oleh bukti forensik yang objektif dan sulit dipalsukan. Membuka jalan bagi transparansi dan akuntabilitas rantai pasok kayu, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam perdagangan kayu global yang berkelanjutan dan sah.
Meski sangat menjanjikan, keterbatasan utama dari metode ini adalah kebutuhan akan database referensi isotopik yang luas dan akurat dari berbagai wilayah.
Tanpa data pembanding dari berbagai jenis pohon di lokasi berbeda, kemampuan pelacakan akan berkurang. Namun ketika database telah terbangun, analisis isotop menjadi alat forensik lingkungan yang sangat kuat. Ini bukan hanya solusi ilmiah, tetapi juga harapan besar dalam upaya menyelamatkan hutan tropis Indonesia dari eksploitasi ilegal.
Terakhir, teknologi genetika berupa analisis DNA kayu yang berguna untuk identifikasi spesies maupun asal pohon. Identifikasi ini menggunakan kloroplas dan mampu menentukan lokasi atau populasi secara spesifik.
Bahkan, teknologi ini dapat mengidentifikasi sisa tunggul pohon untuk mencocokkannya dengan kayu yang ditemukan, sehingga asal-usul kayu dari hutan tertentu di Indonesia dapat mereka ketahui dengan lebih akurat. Namun, analisis DNA membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dan biaya yang cukup tinggi, ketimbang teknologi lainnya.

*****