- Peristiwa lumpur Lapindo meninggalkan nestapa, khususnya bagi warga yang belum memperoleh kehidupan yang layak hingga 19 tahun ini, yang masih berjuang untuk nasib mereka sendiri dan kehidupan keluarganya.
- Tidak hanya menghilangkan belasan desa secara geografis dari peta kependudukan, bencana lumpur Lapindo juga menghilangkan banyak aspek budaya yang selama ini terbentuk pada masyarakat setempat secara turun temurun.
- Identitas suatu wilayah seperti nama desa pada masa lalu, merupakan upaya masyarakat mengingatkan mengenai sejarah dan apa yang terjadi di tempat itu pada masa lampau, sebagai gambaran kondisi sebenarnya di tempat itu.
- Kejadian bencana lumpur Lapindo tidak bisa hanya dilihat sebagai sebuah tempat yang mengeluarkan dan menampung lumpur panas. Tapi seharusnya dapat dilihat sebagai sebuah peradaban yang tertimpa oleh lumpur, dimana semua aspek budaya seperti tradisi, mental, dan relasi sosial, ikut terkubur di dalam lumpur panas yang dalam.
Tidak ada yang pernah menduga ribuan warga tiga kecamatan di Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim) harus meninggalkan rumah mereka, kehilangan identitas dan semua aktivitas yang mereka jalani. Semua terjadi akibat tragedi Lumpur Lapindo, yang terjadi 29 Mei 2006.
Meski hampir dua abad lewat, peristiwa itu masih meninggalkan nestapa. Sebagian dari mereka masih harus berjuang hidup sampai kini. Sebagian lagi dianggap mampu bertahan dan melewati situasi sulit, meski terkesan dilupakan.
Sastro, Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, misal, bertahan dengan menjadi pemandu turis di atas tanggul lumpur hingga kini, meski kondisi jauh berbeda dengan awal-awal dulu. “Kalau dulu masih ramai yang datang melihat, wisatawan itu. Sekarang sudah jauh berkurang, malah sering tekor, artinya gak dapat apa-apa untuk dibawa pulang,” katanya di sela peringatan 19 tahun lumpur Lapindo, Kamis (29/5/25).
Di usianya yang menginjak senja, Sastro menyadari hanya sebagai pemandu turis dan buruh kasar untuk menghidupi dia dan keluarga. Risiko kesehatan karena sering menghirup gas berbahaya dari semburan lumpur tak dipikirkannya, asalkan ada rupiah yang bisa dibawa pulang.
Tidak ada lapangan pekerjaan yang bisa menerima Sastro dan warga lain karena usia yang tidak lagi muda. Padahal, dulu dia mendengar akan ada pekerjaan bagi para penyintas yang kehilangan usaha dan pekerjaannya akibat kejadian ini.
Selain Sastro, ada warga lain yang mengandalkan hidup dari tanggul lumpur Lapindo dengan menjadi tukang ojek, juru parkir, atau penarik tiket masuk ke area tanggul lumpur. Semua dilakukan karena hilangnya lapangan pekerjaan yang ikut tertimbun lumpur.
Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jatim menegaskan, tragedi Lapindo merupakan kejahatan tambang dan korporasi. Bencana ini terjadi akibat pemberian izin yang serampangan, tanpa adanya penegakan hukum lingkungan yang tegas hingga kini. “Kesehatan dan keselamatan rakyat diabaikan demi investasi. Ini menunjukkan negara belum serius menegakkan hukum lingkungan,” katanya.

Hilangnya aspek sosial budaya
Bencana lumpur panas Lapindo Brantas tidak hanya merugikan manusia beserta lingkungan. Henri Nurcahyo, dari Komunitas Seni BrangWetan, dalam diskusi bertajuk “Jagong Budaya”, di Desa Wunut, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Mei lalu mengajak masyarakat melihat tragedi Lapindo dalam perspektif budaya. Peristiwa ini menghilangkan banyak aspek budaya yang ada di Porong dan sekitarnya.
Tidak hanya menghilangkan belasan desa secara geografis dari peta kependudukan, bencana lumpur Lapindo juga banyak aspek budaya yang selama ini terbentuk pada masyarakat secara turun temurun.
“Hilangnya desa-desa itu menyebabkan hilangnya kearifan lokal, komunitas, tetenger budaya, dan sebagainya,” kata Henri.
Sudi Harjanto, dari Komunitas Sidoarjo Masa Kuno, mengatakan, bencana pada suatu wilayah atau yang menimpa masyarakat, tidak hanya menimbulkan korban jiwa manusia, juga hilangnya identitas desa atau wilayah beserta aspek budayanya.
Identitas suatu wilayah seperti nama desa pada masa lalu, menurut Sudi, merupakan upaya masyarakat mengingatkan mengenai sejarah dan apa yang terjadi di tempat itu pada masa lampau, sebagai gambaran kondisi sebenarnya di tempat itu. Demikian pula yang terjadi di Porong, merupakan kawasan rawan bencana karena ada tambang migas, dan berada dekat dengan sesar gempa Watu Kosek.
“Bukan karena pengeboran Lapindo saja, tapi daerah rawan bencana lainnya yang memiliki sejarah aktivitas penambangan migas. Bila pernah terjadi penurunan tanah, bisa jadi pada masa lalu juga sudah pernah terjadi,” terang Sudi.
Anton Novenanto, Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, Malang, menyebut budaya bukan sekadar tradisi yang dijalankan oleh masyarakat. Namun, terdapat dimensi mental yang berkaitan dengan segala ide, keyakinan, aturan, dan semua yang ada di pikiran manusia. Serta dimensi relasi sosial yang jarang diperhatikan dan tidak dapat diabaikan begitu saja.
Anton Novenanto mengatakan, bencana lumpur Lapindo tidak bisa hanya sebagai tempat yang mengeluarkan dan menampung lumpur panas. Tapi seharusnya dapat dilihat sebagai sebuah peradaban yang tertimpa oleh lumpur. Semua aspek budaya seperti tradisi, mental, dan relasi sosial, ikut terkubur di dalam lumpur panas yang dalam.
“Di situ ada tempat bermain, ada sekolah, ada masjid, ada kuburan, pondok pesantren, apa pun kehidupan yang ada di situ, di situ ada relasi-relasi sosial yang tidak bisa lagi ada karena lumpur itu,” katanya.
Nino, panggilan akrab Anton Novenanto, menyebut, pemerintah dan masyarakat masih belum memiliki kesadaran dan kesiapsiagaan mengenai kerawanan dan potensi bencana yang ada di sekitarnya.
Dia mencontohkan pada awal semburan, tidak ada petunjuk maupun tempat mengungsi yang telah disiapkan, selain tempat yang dipilih warga sendiri. Pasar Baru Porong yang sempat menjadi lokasi pengungsian sementara, sebenarnya bukan tempat yang layak.
“Bagaimana kalau misalnya ada gempa besar yang mengakibatkan tanggul roboh, bagaimana dengan warga yang masih ada di sekitar tanggul, apakah sudah ada antisipasi? Ini yang belum dimiliki,” kata Nino.

Situasi di pengungsian pasar baru Porong saat itu menjadi gambaran tercerabutnya warga dari akar budayanya, sehingga menimbulkan kebingungan dan memengaruhi relasi sosial serta pola perilaku warga di tempat yang baru. Bahkan tidak jarang muncul konflik sosial meski sebelumnya mereka tinggal bersama dalam satu desa.
Dampak multidimensi dari bencana lumpur Lapindo, menurut Nino, hendaknya menjadi penyadaran bagi semua pihak termasuk pemerintah, untuk membuat perencanaan yang baik terkait tata ruang hidup masyarakat. Kerugian sosial budaya tidak akan dapat dengan mudah dipulihkan hanya dengan memperbaiki satu aspek saja, karena ini memerlukan pendekatan yang berbeda dan membutuhkan waktu lama.
Sudi Harjanto menambahkan, masyarakat perlu membangun kekuatan komunitas untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik di masa depan, alih-alih mencari siapa yang salah dan terus tenggelam dalam kesedihan.
Sudi bilang, museum ekologi untuk memperingati tragedi lumpur Lapindo, sebagai tempat merawat ingatan yang dapat mengedukasi generasi mendatang agar tidak mengalami hal serupa.
“Kita harus menata masa depan, bisa melalui monumen peringatan, atau museum ekologi. Agar peristiwa Lapindo tidak sampai dilupakan dan tidak terulang kembali. Kita harus maju menata masa depan, tapi kita menolak lupa.”

*****
19 Tahun Lumpur Lapindo, Waswas Terus Hantui Warga Terdampak