- Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Timur menetapkan menahan Mantan Kepala Dinas Lingkungan (DLH) Kaltim Amrullah dan Direktur Utama CV Arjuna, IEE. Keduanya ditahan lantaran terlibat korupsi dana jaminan reklamasi pasca tambang dengan kerugian lebih dari Rp50 miliar.
- CV Arjuna merupakan pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi (IUP OP) batubara di Kelurahan Makroman, Kecamatan Sambutan, Kota Samarinda seluas 1.452 hektar. Sebagai perusahaan pertambangan, CV Arjuna wajib mereklamasi lahan bekas tambangnya dan menyerahkan uang jaminan reklamasi.
- Oleh tersangka Amrullah, uang jaminan reklamasi diserahkan ke CV Arjuna yang kemudian mencairkannya. Padahal, seharusnya, uang jaminan tersebut baru diserahkan setelah perusahaan menyampaikan laporan kegiatan reklamasi yang dilakukannya. Sementara yang terjadi, lubang bekas galian tetap dibiarkan menganga.
- Catatan Jatam Kaltim, selama beroperasi, perusahaan ini acapkali menimbulkan masalah. Pada tahun 2008 misalnya, kolam lubang tambang perusahaan itu jebol hingga mencemari area persawahan dan perikanan. Wahasil, lahan petani dan petambak yang berada di RT 11, 12, dan 13 rusak.
Amrullah tertunduk ketika melangkahi tiap anak tangga gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Timur (Kaltim) di Samarinda. Menggunakan rompi berkelir magenta dengan kawalan aparat penegak hukum, dia menuju mobil tahanan di halaman kantor kejaksaan.
Senin, 19 Mei 2025, Kejati Kaltim mengumumkan Amrullah sebagai tersangka. Mantan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kaltim periode 2010-2018 itu diduga terlibat tindak pidana korupsi reklamasi pertambangan batubara dari CV Arjuna (Arjuna).
≠Arjuna, merupakan pemegang izin usaha pertambangan operasi (IUP OP) batubara di Kelurahan Makroman, Kecamatan Sambutan, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Izin produksi perusahaan seluas 1.452 hektar atau lima kali luas stadion Gelora Bung Karno itu berakhir 6 September 2021.
Toni Yuswanto, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Kaltim, menyampaikan sebagai perusahaan pemegang IUP, Arjuna berkewajiban reklamasi lahan pasca tambang. Seharusnya, perusahaan menyusun rencana reklamasi dan menempatkan dana jaminan reklamasi ( jamrek) dalam bentuk deposito dan bank garansi.
Pada 2010-2016, Arjuna pernah menempatkan jamrek untuk 2010-2016. “Pada 2016, Dinas ESDM Kaltim menyerahkan kembali jaminan reklamasi dalam bentuk deposito kepada Arjuna tanpa pertimbangan teknis, laporan pelaksanaan, maupun persetujuan pencairan dari pihak berwenang,” kata Toni.
Oleh Arjuna, dana jamrek itu kemudian dicairkan padahal perusahaan ini belum melakukan reklamasi. Alih-alih, lubang bekas tambang batubara itu dibiarkan menganga begitu saja.
Pencairan dana tak sah itu menyebabkan negara mengalami kerugian antara lain, kerugian keuangan Rp13,2 miliar, kerugian atas jaminan reklamasi yang tidak diperpanjang Rp2,5 miliar dan kerusakan lingkungan karena tak ada reklamasi Rp58 miliar.
Amrullah tak sendiri. Empat hari sebelumnya, Kejati juga menetapkan Direktur Utama Arjuna berinisial IEE sebagai tersangka. Penyidik Kejati menahan dia selama 20 hari dan titip ke Rumah Tahanan (Rutan) Kelas 1 Samarinda sebelum ke pengadilan.
Toni menjelaskan, para tersangka diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dengan UU Nomor 20/2001 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
“Proses penyidikan masih terus berjalan untuk mengungkapkan peran pihak-pihak lainnya serta mempertanggungjawabkan kerugian negara yang ditimbulkan,” ujar Toni.

Puluhan nyawa hilang, audit semua
Windy Prada, Kepala Divisi Advokasi dan Database, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim mengatakan, Arjuna bukanlah nama baru dalam catatan pembuat masalah ekologi di Samarinda. Arjuna mengantongi izin pertambangan sejak 2007.
“Ketika itu kewenangan pertambangan masih berada di daerah,” katanya.
“Sejak mengantongi izin pertambangan itulah perusahaan mulai mengeruk batubara di Kelurahan Makroman.”
Catatan Jatam Kaltim, selama beroperasi, perusahaan ini acapkali menimbulkan masalah. Pada 2008, misal, kolam lubang tambang perusahaan itu jebol hingga mencemari persawahan dan perikanan. Wahasil, lahan petani dan petambak di RT 11, 12, dan 13 rusak.
“Sejak itu ekonomi masyarakat mulai menurun drastis, sebagian putus asa karena rusaknya sawah dan menjualnya.”
Windy mengatakan, masalah lingkungan berulang-kali, puncaknya Januari 2011. Ketika itu, banjir lumpur merendam persawahan warga dengan lokasi tidak jauh dari tambang, sekitar 500 meter. Warga mendesak pemerintah menutup tambang itu.
Dari hasil pengecekan lapangan dan analisis spasial Jatam Kaltim menunjukkan, Arjuna meninggalkan delapan lubang tambang di Kelurahan Makroman. Lubang tambang yang dibiarkan itu juga mengakibatkan FAW, pria 25 tahun tewas 31 Oktober 2021.
“Korban meninggal setelah berenang di satu lokasi kolam bekas tambang yang hingga hari ini dibiarkan menganga,” katanya.
Kematian FAW, merupakan korban ke-39 warga yang meninggal akibat lubang tambang di Kaltim.

Dalam catatan Jatam Kaltim setidaknya ada 47 warga meninggal akibat lubang tambang di Bumi Etam itu, antara lain, 38 pria dan sembilan perempuan yang mayoritas anak-anak.
Kota Samarinda, merupakan daerah dengan kematian tertinggi gara-gara lubang tambang, sebanyak 27 orang, Kutai Kartanegara ( 15), Paser (2) dan msing-masing satu orang tewas di Penajam Paser Utara, Kutai Barat, juga Berau.
“Puluhan korban jiwa itu disebabkan akibat lubang tambang [batubara] yang dibiarkan.”
Data Jatam Kaltim, analisis citra satelit dan tumpang susun konsesi menunjukkan ada 3.092 lubang tambang di Indonesia. Dari jumlah itu, 1.735 lubang bekas tambang di Kaltim
“Itu artinya, lebih dari setengah lubang bekas tambangnya berada di Kaltim,” katanya.
Masalah lain, dari ribuan lubang itu, sebagian besar tetap menganga tanpa reklamasi meski operasi perusahaan sudah berhenti. Seperti di Samarinda dari temuan Jatam ada 349 lubang tambang.
Windy menilai, kasus Arjuna ini menjadi potret buruk tata kelola pertambangan di Kaltim. Ia juga menegaskan tanggung jawab reklamasi pasca tambang tak pernah menjadi agenda utama pelaku industri ekstraktif dan pemerintah.
Karena itu, Jatam mendorong tindakan hukum serupa juga dilakukan di tempat lain. “Kami harap aparat penegak hukum untuk juga dapat memeriksa lubang di Kaltim.”
Muhammad Muhdar, pakar hukum lingkungan Universitas Mulawarman mengatakan, lubang tambang di Makroman itu hanya bagian kecil dari persoalan besar masalah lubang tambang di Kaltim. Dia mendesak, pemerintah audit tambang-tambang yang pernah beroperasi.
“Saya melihat masih berpotensi yang lainnya juga ada, sehingga saya lebih merekomendasikan aparat penegak hukum untuk mengaudit seluruh lubang tambang itu, untuk melihat dokumen hukumnya, kebenarannya dan tanggung jawabnya.”
Muhdar pernah datang ke Kelurahan Makroman. Dia melihat langsung bagaimana daerah yang dulu sumber pangan warga itu, menjadi babak-belur kena tambang batubara. Sawah nun hijau berubah kecoklat-coklatan karena lumpur datang dan merendamnya.
“Negara sepertinya tidak bertanggung jawab penuh dengan rakyatnya untuk melindungi keselamatan rakyatnya. Negara harus turun tangan dengan melakukan audit secara menyeluruh.”
Apa yang terjadi di Makroman merupakan dampak penggunaan tata ruang serampangan. Negara, katanya, begitu saja memberikan izin pertambangan ketika Kelurahan Makroman, padahal wilayah tersebut dikenal sebagai sumber pangan.
Muhdar mengapresiasi langkah Kejati Kaltim mengusut dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) pelaksanaan reklamasi pertambangan batubara di Kelurahan Makroman. Menurut dia, dalam kasus kejahatan sumber daya alam, seperti lubang tambang, itu kemungkinan melibatkan pejabat publik.
“Sepengetahuan saya, mungkin ini kasus pertama yang ditetapkan tersangka terkait korupsi dana reklamasi yang ada di Kaltim,” ujarnya, “Maka ada baiknya secara bersama-sama kita mengawal prosesnya untuk membantu aparat penegakan hukum kita.”
Dia menyarankan, dalam prosesnya, kejaksaan tinggi tidak hanya menghitungkan kerugian negara dalam bentuk nominal uang dana reklamasi perlu juga valuasi lingkungan.

Yang Muhdar maksud itu seperti dampak lingkungan kepada warga hingga hilangnya sumber air. “Kalau kita menghitung valuasi lingkungan itu, kita lihat pohon yang hilang bisa dihitung berapa nilai batangnya dan kontribusinya terhadap gas rumah kaca,” katanya.
Andai tak dilakukan, beban negara untuk memperbaiki lingkungan lebih berat secara finansial. Dalam perkembangan pengungkapan kejahatan sumber daya alam, penegak hukum pernah melakukan penghitungan itu dalam perkara dugaan korupsi timah di Bangka Belitung.
*****
Sejak 2011, Sudah 40 Nyawa Melayang di Lubang Tambang Batubara Kaltim