Diskursus mengenai transmigrasi lokal di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, belakangan ini kembali mencuat setelah konfirmasi pemerintah mengenai kelanjutan pengembangan kawasan Rempang Eco-City. Meskipun status pembangunan Rempang Eco-City telah dicabut dari daftar program strategis nasional, tetapi tidak menghentikan kelanjutannya.
Sebelumnya, beberapa kawasan Rempang sudah pemerintah tetapkan—melalui Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dan Kementerian Investasi—sebagai pusat industri hijau, teknologi, dan pariwisata. Tujuannya, menarik investasi asing, khusus dari produsen kaca dan panel surya asal Tiongkok. Namun, di balik agenda pengembangan ambisius ini, muncul konflik sosial dan hak asasi manusia, terutama melibatkan masyarakat adat dan lokal yang mendiami kawasan itu selama beberapa generasi.
Sebagai ikhtiar menyelesaikan persoalan pertanahan yang berujung konflik dengan warga dari 16 Kampung Tua yang mendiami daerah proyek, pemerintah mencanangkan program “transmigrasi lokal” sebagai satu pilihan yang memungkinkan.
Program ini muncul setelah mayoritas warga menolak untuk “relokasi” terhadap ruang hidup mereka untuk kepentingan pembangunan Rempang Eco-City.
Dari sudut pandang sejarah, transmigrasi bukanlah isu baru di Indonesia. Praktik ini telah berlangsung sejak masa kolonial Hindia Belanda, ketika penduduk dipindahkan dari Jawa ke daerah-daerah seperti Deli dan Lampung untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah di perkebunan dan pabrik-pabrik pengolahan.
Hanya rentang waktu 1920-1930, sebanyak 444.013 orang dari Jawa pemerintah pindahkan ke Sumatera Timur dalam skema yang secara terang-terangan bersifat eksploitatif.
Setelah kemerdekaan, program transmigrasi mengubah citra sebagai respons terhadap kesenjangan sosial dan ekonomi karena kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Dari masa Orde Lama hingga Orde Baru, transmigrasi kembali Pemerintah Indonesia galakkan sebagai strategi pemerataan pembangunan antarwilayah.
Jawa dianggap terlalu padat penduduknya hendak “dikosongkan” sebagian, sementara pulau-pulau luar yang kurang berkembang dipandang sebagai “tanah kosong” perlu diisi penduduk.

Menyoal paradigma “transmigrasi lokal”
Semangat pemerataan ekonomi warisan peninggalan Orde Lama dan Orde Baru masih dipertahankan dalam konsep transmigrasi hari ini. Hal itu tergambar dari pemaknaan terhadap “transmigrasi” dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 15/1997 junctoUU Nomor 29/2009 tentang Ketransmigrasian yang berarti sebagai perpindahan penduduk secara sukarela dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan. “Sukarela” dan “peningkatan kesejahteraan” merupakan dua kata kunci dalam pengertian itu.
Dalam konteks kontroversi yang berlangsung di Kampung Tua Rempang, tampak sulit untuk memaksakan transmigrasi sesuai ketentuan regulasi Ketransmigrasian kepada komunitas yang selama ini hidup dalam kondisi yang sebenarnya sejahtera.
Sebagai gantinya, pemerintah menyebut skema relokasi warga Rempang sebagai bentuk “transmigrasi lokal”—sebuah istilah yang tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait transmigrasi. Bahkan, Peraturan Pemerintah Nomor 3/2014 sebagai pelaksana UU Ketransmigrasian, yang telah berubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19/2024, tidak memuat istilah itu.
Perpindahan penduduk dalam suatu wilayah karena pembangunan terdorong investasi, seperti dalam kasus Rempang, lebih tepat sebagai “relokasi,” bukan transmigrasi. Konsep relokasi memiliki dasar hukum kuat, antara lain diatur melalui UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden Nomor 62/2018 yang diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional.
Dengan demikian, istilah “transmigrasi lokal” tampaknya merupakan upaya manipulatif untuk membingkai relokasi paksa sebagai program pembangunan yang sah.
Kenyataannya, ini bentuk penggusuran samar sebagai kebijakan. Lebih lanjut, Pasal 3UU Ketransmigrasian mengatur tiga alasan mengapa ada transmigrasi. Pertama, untuk mengatasi kesenjangan ekonomi, kedua, mendorong pemerataan pembangunan. Ketiga, memperkuat persatuan nasional. Tak satu pun dari alasan itu relevan dalam konteks Kampung Tua di Pulau Rempang.

Adakah urgensi transmigrasi Rempang?
Transmigrasi lokal di Rempang sesungguhnya tidak beralasan secara hukum. Apabila menilik ketiga faktor transmigrasi seturut UU Ketransmigrasian lebih jauh dalam konteks Rempang, maka transmigrasi terhadap warga dari 16 Kampung Tua di Rempang tidak mendesak.
Pertama, klaim ketimpangan ekonomi terjadi di Rempang tidak berdasar. Masyarakat di desa ini menggantungkan hidup pada hasil laut dan pertanian, dengan sistem ekonomi berbasis komunitas yang mandiri dan berkelanjutan.
Laporan investigasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun 2024 bahkan menyebutkan, hasil pertanian dan perikanan Rempang berkontribusi signifikan terhadap pasokan pangan Kota Batam.
Karena itu, pengembangan proyek Rempang Eco-City dan relokasi warga berisiko menghancurkan ekosistem ekonomi restoratif lokal yang stabil dan berfungsi selama bertahun-tahun.
Studi 2025 dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyebutkan, ekonomi restoratif dirancang menjawab krisis tiga planet sekaligus—perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Ekonomi restoratif berakar pada pembangunan pedesaan.
Kedua, patut mempertanyakan argumen mengenai pemerataan pembangunan. Rempang bukanlah wilayah yang terisolasi atau tertinggal. Fasilitas dasar seperti sekolah, pusat kesehatan, dan tempat ibadah sudah tersedia di sana.
Setidaknya, pembangunan Rempang Eco-City akan mengakibatkan pembongkaran terhadap 12 bangunan sekolah dasar dan tiga sekolah menengah pertama. Padahal, keberadaan infrastruktur ini menunjukkan masyarakat Rempang bukan kelompok yang termarjinalkan dari arus pembangunan.
Alih-alih ditinggalkan, mereka justru telah berkontribusi aktif dalam kehidupan sosial dan ekonomi kawasan Barelang (Batam, Rempang, dan Galang).
Ketiga, gagasan memperkuat persatuan nasional seharusnya tidak dengan cara memaksa masyarakat adat meninggalkan tanah dan tempat tinggal mereka, terutama demi pembangunan kawasan industri yang akan dikelola perusahaan swasta.
Tindakan semacam ini justru melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan melanggar amanat konstitusi. Dalam hal ini, prinsip-prinsip dasar pengelolaan sumber daya agraria sebagaimana tercantum dalam Pasal 33UUD 1945 danUU Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 perlu kaji kembali.
Meskipun negara memegang hak menguasai negara (HMN) atas tanah, mandat ini sejatinya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan semata-mata memfasilitasi kepentingan dunia usaha.
Artinya, penggunaan HMN itu hanya sah apabila berorientasi pada rakyat dan tidak merusak penghidupan rakyat. Selain itu, Pasal 11 UUPA secara tegas menyatakan bahwa pelaksanaan kepentingan nasional tidak boleh merugikan kelompok masyarakat yang secara ekonomi lemah.

Harus berbenah
Apa yang terjadi di Rempang mencerminkan bagaimana negara mengabaikan prinsip keadilan sosial. Relokasi dengan dalih “transmigrasi lokal” tidak hanya salah dari segi terminologi, juga secara etika hukum dan konstitusional keliru.
Tidak ada norma hukum yang membenarkan transmigrasi itu karena bertentangan dengan prinsip wetmatigheid van bestuur dalam penyelenggaraan pemerintahan. Langkah ini mengabaikan hak-hak masyarakat adat, mengganggu ekosistem sosial dan ekonomi lokal, serta menimbulkan luka dalam kepercayaan warga terhadap negara.
Dalam konteks ini, kritik yang lebih konstruktif harus disampaikan kepada pemerintah selaku pengambil kebijakan bahwa transmigrasi tidak boleh jadi tameng bagi kepentingan investasi. Terutama, ketika praktik semacam itu bertentangan dengan prinsip keadilan, keberlanjutan, dan kedaulatan rakyat atas tanah dan ruang hidup mereka.
Pemerintah hendaknya bertindak sebagai pelindung (rechtsbescherming), bukan broker perusahaan. Istilah “transmigrasi” seharusnya menjadi simbol harapan, bukan ancaman.

- Penulis adalah MHD Zakiul Fikri adalah Direktur Hukum di Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Tulisan ini merupakan opini penulis.
**********