- Penangkapan ikan berlebih (overfishing) di perairan pesisir Asia Tenggara telah lama menjadi perhatian, namun penelitian terbaru menunjukkan prospek yang lebih optimis. Sebanyak 43% stok ikan laut diklasifikasikan sebagai belum ditangkap secara maksimal (underfished)—angka ini 3,6 kali lebih tinggi dibanding rata-rata global.
- Studi yang mencakup stok ikan di Samudra Hindia dan Pasifik ini menyoroti kelimpahan sumber daya perikanan di kawasan tersebut, khususnya pada spesies pelagis, di mana 63% di antaranya tergolong underfished.
- Produksi perikanan Asia Tenggara meningkat sebesar 7,1 juta metrik ton antara tahun 1993 hingga 2022—kenaikan terbesar secara global—dengan Indonesia, Vietnam, dan Myanmar sebagai kontributor utama.
- Studi menekankan pentingnya perikanan skala kecil yang menggunakan metode penangkapan tidak selektif untuk berbagai jenis ikan, serta pentingnya kerangka pengelolaan bersama (co-management) dalam menjaga produksi dan keberlanjutan.
Penangkapan ikan berlebih (overfishing) di perairan pesisir Asia Tenggara telah dilaporkan sejak tahun 1970-an, yang didorong oleh kapasitas penangkapan yang berlebihan, tingginya permintaan, dan pertumbuhan populasi.
Meski sebagian besar studi sebelumnya menunjukkan penurunan stok ikan di wilayah pesisir, penelitian baru memberikan pandangan yang lebih optimis. Sebuah studi baru menunjukkan kondisi perikanan di Asia Tenggara lebih sehat dibandingkan dengan rata-rata global, indikasinya adalah jumlah stok ikan yang ditangkap berlebihan lebih sedikit dan lebih banyak yang tergolong underfished (belum ditangkap secara maksimal).
Studi yang diterbitkan dalam jurnal Fisheries Science menemukan perikanan di Asia Tenggara masih relatif melimpah, dengan 43% stok ikan laut diklasifikasikan sebagai underfished—lebih dari tiga kali lipat rata-rata global.
Temuan ini didasarkan pada 105 penilaian sumber daya yang dilakukan oleh pemerintah dan peneliti akademis antara tahun 2018 hingga 2022 di wilayah Samudra Hindia dan Pasifik. Penilaian tersebut mencakup ikan pelagis (ikan laut lepas), tuna neritik (tuna perairan pesisir), dan spesies demersal (ikan dasar laut). Adapun masing-masing stok diklasifikasikan sebagai underfished sebesar 63%, 50%, dan 38%.
“Sumber daya perikanan di Asia Tenggara masih melimpah,” ujar Takashi Fritz Matsuishi, penulis studi sekaligus profesor ilmu perikanan di Universitas Hokkaido kepada Mongabay melalui email.
“Banyak studi selama ini menunjukkan penangkapan ikan berlebih di kawasan ini, klaim tersebut umumnya tidak didasarkan pada penilaian kuantitatif yang menyeluruh.”
Sebelas negara di Asia Tenggara secara kolektif mencakup wilayah laut yang sangat luas, dengan luas kontinen gabungan lebih dari 3,5 juta km2 atau lebih besar dari luas wilayah India, serta zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang totalnya hampir mencapai 9,5 juta km² yang setara dengan luas wilayah Tiongkok.
Kawasan perairan ini menjadi rumah bagi terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, dan daerah sungai, yang menjadikannya salah satu wilayah perairan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia.

Didominiasi Perikanan Skala Kecil
Studi yang dilakukan oleh Matsuishi menemukan bahwa 43% stok ikan di Asia Tenggara tergolong underfished — 3,6 kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata global sebesar 11,8% menurut laporan SOFIA 2024 dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).
Sementara itu, 33% stok ikan di kawasan ini tergolong overfished (ditangkap secara berlebihan), dibandingkan dengan angka global sebesar 37,7%, dan 24% ditangkap secara maksimal berkelanjutan (maximally sustainably fished), dibandingkan dengan 50,5% secara global.
“Terlepas dari tingginya tingkat produksi, upaya penangkapan, dan konsumsi, sumber daya perikanan di kawasan ini tetap sehat,” ujar Matsuishi.
“Kami percaya hal ini disebabkan oleh keanekaragaman hayati yang tinggi di wilayah ini serta dominasi perikanan skala kecil, yang lebih ramah lingkungan dan berbasis ekosistem dibandingkan dengan perikanan industri.”
Menurut data FAO yang dikutip dalam studi Matsuishi, produksi perikanan di Asia Tenggara meningkat secara stabil sejak tahun 1950 hingga akhir 2010-an. Antara tahun 1993 hingga 2022, produksi meningkat sebesar 7,1 juta metrik ton yang merupakan peningkatan terbesar di antara semua kawasan secara global.
Pada tahun 2022, perikanan tangkap di Asia Tenggara mencapai 18 juta metrik ton, menyumbang 19% dari total produksi global. Indonesia, Vietnam, dan Myanmar menjadi kontributor utama di kawasan ini.
Menurut studi tersebut, sekitar 9,4 juta orang, atau 1,4% dari populasi Asia Tenggara, terlibat dalam sektor perikanan yang merupakan data yang lebih dari tiga kali lipat proporsi rata-rata global yang hanya 0,42%.
Asia Tenggara juga mencatat tingkat konsumsi makanan laut tertinggi di dunia, yaitu 37,5 kilogram per orang per tahun, hampir dua kali lipat rata-rata global.
“Media massa sering kali menyoroti narasi pesimistis, seperti ‘sumber daya perikanan menurun akibat overfishing’ atau ‘perubahan iklim mengurangi tangkapan spesies tertentu’,” ujar Matsuishi.
“Meskipun isu-isu ini memang ada, studi kami menunjukkan bahwa tangkapan ikan secara keseluruhan di kawasan ini terus meningkat, dan perikanan berkelanjutan masih sangat mungkin dicapai. Adalah sebuah kesalahpahaman jika para nelayan merasa bersalah — seolah-olah mereka menyebabkan overfishing atau merusak ekosistem.”

Tantangan Data yang Konsisten
Temuan utama dalam studi ini — bahwa kawasan Asia Tenggara memiliki proporsi stok ikan underfished yang jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata global — dinilai sebagai hal yang “tidak terduga dan patut menjadi catatan,” ujar Suttinee Limthammahisorn, ahli biologi perikanan dan Sekretaris Jenderal Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC) yang berkantor pusat di Bangkok, kepada Mongabay melalui email.
“Terdapat ketimpangan yang mencolok antara peringatan berkelanjutan terkait eksploitasi berlebihan sumber daya ikan di kawasan tersebut dan tren peningkatan produksi perikanan yang masih berlanjut, meskipun disertai klaim bahwa stok ikan telah menurun” ujarnya.
Limthammahisorn menyatakan bahwa ketergantungan kawasan ini pada perikanan skala kecil dan tradisional yang menggunakan metode penangkapan multispecies dan tidak selektif merupakan faktor penting dalam menjaga keberlanjutan produksi.
Pendekatan ini, katanya, menawarkan ‘jalur unik menuju keberlanjutan’ melalui skema co-management, yaitu sistem di mana pemerintah dan nelayan lokal berbagi tanggung jawab dalam mengelola sumber daya perikanan.
“Ketahanan ini, di tengah kekhawatiran tentang overfishing, sangat mengejutkan dan menekankan pentingnya mempertimbangkan keberagaman perikanan dan ekosistem di kawasan ini,” tambahnya.
Limthammahisorn mengatakan bahwa penggunaan data global dan regional dari berbagai sumber dalam studi ini memperkuat metodologinya.
“Dengan mengandalkan data kuantitatif meski banyak negara di kawasan ini menghadapi situasi kekurangan data, hal ini sangat mengesankan, karena menyoroti tantangan dalam mengakses data yang konsisten dan dapat diandalkan dari negara-negara Asia Tenggara,” ujarnya.
Dia turut memuji penggunaan model penilaian stok yang dapat diandalkan dalam studi ini. Model-model ini termasuk model spesies campuran, yang lebih menggambarkan populasi ikan dan kesehatan ekosistem, serta menghasilkan penilaian yang lebih akurat dan pengelolaan yang lebih kuat dibandingkan dengan model spesies tunggal.
Namun, dia mencatat bahwa keterbatasan data di beberapa negara, terutama terkait dengan jumlah nelayan skala kecil dan paruh waktu, dapat menyebabkan ketidaktepatan pelaporan.
“Kesenjangan data ini dapat mengaburkan skala dan dampak sebenarnya dari perikanan di wilayah-wilayah ini, yang berpotensi memengaruhi keputusan kebijakan dan pengelolaan,” tambahnya.

Tindakan Tegas untuk Melestarikan Perikanan
Meski demikian, Matsuishi mendesak pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara untuk dapat bertindak tegas dalam melestarikan perikanan mereka yang masih sehat.
“Saya berharap pemerintah akan dapat terus menjaga sumberdaya perikanan di Asia Tenggara tidak mengalami penurunan dan akan menerapkan kebijakan yang bertujuan untuk mempertahankan kondisi sehat sumberdaya perikanan ini.”
Dia menekankan pentingnya mencegah penangkapan ikan ilegal dan menghindari kerja sama dengan negara-negara di luar kawasan yang dapat menyebabkan eksploitasi berlebihan.
“Sumber daya perikanan Asia Tenggara harus tetap berada di bawah pengelolaan dan yurisdiksi negara-negara Asia Tenggara,” kata Matsuishi.
Dia menambahkan bahwa perikanan tangkap yang berkelanjutan sangat penting, karena mereka mendukung industri akuakultur yang berkembang pesat di kawasan ini.
Dia juga mengatakan bahwa pemerintah harus memperhatikan 33% stok ikan di kawasan ini yang sudah overfished, dan memperingatkan bahwa eksploitasi yang terus-menerus, terutama di daerah pesisir tempat banyak nelayan tradisional beroperasi, dapat mengancam mata pencaharian lokal dan merusak ketahanan pangan bagi 681 juta orang di Asia Tenggara.
“Perikanan Asia Tenggara merupakan model global untuk perikanan berkelanjutan,” tutupnya.
Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 29 April 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
Referensi:
Matsuishi, T. F. (2025). Status of Southeast Asian fisheries: Distinctive characteristics and pathways to sustainable fisheries. Fisheries Science, 91(2), 205-216. doi:10.1007/s12562-025-01854-w