- Kisah sedih dan pilu yang dialami pekerja migran Indonesia pelaut perikanan (PMI PP) terus mendapatkan perhatian dari banyak kalangan. Perjuangan untuk membantu mereka dalam mendapatkan keadilan juga terus dilakukan para pihak yang peduli
- Tak lupa, para AKP juga dibantu untuk berjuang mendapatkan perlindungan penuh dari Pemerintah Indonesia. Melalui berbagai cara, upaya tersebut dilakukan para pihak yang peduli dengan harapan untuk menguatkan posisi AKP di atas kapal perikanan
- Di antara upaya yang dilakukan, adalah dengan menerbitkan buku panduan bernama “Pathway to Justice” yang dibuat Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Jawa Tengah
- Selain itu, upaya lain adalah dengan membantu dilakukan pengusutan tuntas kasus yang menimpa para AKP, dan bahkan menyebabkan mereka diduga kuat sampai kehilangan nyawa. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menjadi pihak yang paling diharapkan bisa ikut membantu
Sebuah panduan dasar untuk perlindungan hak-hak awak kapal perikanan (AKP) kini hadir di Indonesia untuk merespon banyaknya kisah memilukan yang dialami para pekerja Indonesia di atas kapal perikanan. Panduan itu menjadi dasar yang penting untuk menjadi kunci perlindungan.
Adalah Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang menginisiasi pembuatan naskah panduan tersebut bersama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Jawa Tengah dan Greenpeace Indonesia. Panduan tersebut resminya bernama modul “Pathway to Justice”.
Berdasarkan catatan SBMI, sepanjang periode 2020 sampai 2023 terdapat 428 pengaduan dari AKP migran dari Indonesia dengan dominasi para pekerja berasal dari Jawa Tengah, khususnya Kabupaten Pemalang dan Kabupaten Tegal.
Pengaduan tersebut berkaitan dengan keluhan kerja paksa atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di atas laut. Keluhan tersebut diharapkan bisa memperbaiki nasib mereka, terutama melalui modul panduan yang sudah terbit sekarang.
Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno mengatakan bahwa permasalahan AKP migran saat ini terjadi hampir di semua tahapan penempatan. Mulai dari pra penempatan, selama bekerja, hingga setelah mereka kembali ke Indonesia.
Menurutnya, tantangan yang dihadapi para AKP itu harus bisa dipecahkan oleh para pihak terkait, terutama untuk memperjuangkan hak-hak AKP yang memiliki level kesulitan sangat tinggi. Hal itu, karena sampai sekarang perlindungan dari Pemerintah Indonesia kepada AKP masih sangat minim.
“Melalui modul ini, kami percaya bahwa kami tidak hanya dapat memperkuat pemahaman AKP migran tentang hak-haknya. Tetapi juga memberikan keterampilan yang diperlukan untuk merebut hak-hak tersebut dengan efektif,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.
Baca : Kematian 6 AKP KM Sri Mariana Ungkap Realita Gelap Industri Perikanan Indonesia

Selain itu, modul juga dibuat untuk menyatukan semangat perjuangan, membangun solidaritas, dan menciptakan kekuatan kolektif yang mampu melawan berbagai bentuk penindasan. Kita berharap modul bisa memperjuangkan perubahan dan memberi perlindungan lebih kuat kepada AKP migran.
Pentingnya menghadirkan perubahan dan menguatkan perlindungan, karena saat ini industri perikanan global semakin besar dan memberi keuntungan semakin banyak. Tren tersebut akan semakin meningkatkan potensi ketidakadilan yang akan dialami para AKP.
Para AKP migran, sebagian besar berasal dari negara berkembang, dan mereka menjadi korban kerja paksa, kekerasan, dan TPPO. Apa yang dialami tersebut sudah tertuang dalam laporan Greenpeace bersama SBMI berjudul “Seabound: The Journey to Modern Slavery on the High Seas.”
Laporan tersebut mengungkap realitas gelap para AKP yang bekerja tanpa upah, dipaksa bekerja hingga kelelahan, mengalami kekerasan fisik dan psikologis di kapal-kapal perikanan yang berlayar di laut lepas, jauh dari pantauan hukum serta perlindungan negara. Ironisnya, negara di Asia Tenggara–termasuk Indonesia, menjadi pusat perekrutan AKP migran.
Panduan Praktis AKP
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah menjelaskan kalau modul “Pathway to Justice” bukan hanya sekedar buku panduan biasa. Akan tetapi, itu adalah hasil kolaborasi dan pengalaman dari banyak praktisi hukum, serikat pekerja, dan organisasi non pemerintah yang bertujuan untuk mengupayakan pencegahan dari eksploitasi dan upaya untuk pelindungan.
Tanpa ragu, dia menyebut kalau modul tersebut adalah hasil ekstraksi pengalaman nyata dari para pekerja yang pernah masuk jebakan eksploitasi di atas kapal perikanan. Modul juga disebut sebagai panduan yang praktis dan mudah dipahami dengan informasi di dalamnya yang lengkap.
“Modul ini memberikan informasi tentang hak-hak hukum para pekerja migran dan cara untuk melindungi diri dari agen perekrutan yang curang, serta dari eksploitasi di laut,” terang dia.
Baca juga : Mengawal Transformasi Awak Kapal Perikanan dari Tradisional ke Modern

Menurut dia, para AKP penting untuk mendapatkan bekal melalui informasi yang lengkap, karena di laut ada praktik kerja paksa dan penangkapan ikan dengan cara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar regulasi (IUUF) di atas kapal perikanan.
Kedua praktik tersebut disebut seperti dua sisi mata uang, namun bisa berdampak buruk pada AKP migran yang bekerja di atas kapal, dan ekosistem laut yang menjadi tempat mencari nafkah. Dengan demikian, sangat penting bagi AKP untuk mengetahui hak-hak mereka, agar bisa terhindar dari praktik merugikan di atas kapal.
Selain itu, praktik IUUF juga bisa menjadi latar belakang untuk menguatkan perlindungan kepada AKP dan sekaligus memberantas praktik tersebut. Juga, menuntut pertanggungjawaban pelaku bisnis di sepanjang rantai pasok bisnis perikanan global yang mendapatkan keuntungan dari praktik eksploitasi.
Rizky Putra Edry dari LBH Semarang juga menyampaikan bahwa modul “Pathway to Justice” bukan hanya berisi tentang pemahaman terhadap hukum. Lebih dari itu, modul juga berisi tentang peta yang memandu para pekerja menuju keadilan, yang membekali mereka dengan kekuatan untuk melawan ketidakadilan, untuk berdiri tegak, dan menuntut hak-haknya.
“Menyebarkan pengetahuan tentang hak-hak warga adalah pekerjaan yang seringkali luput dilakukan oleh negara. Sementara, hal ini menjadi penting dalam rangka menciptakan power resources yang berasal dari bawah,” terangnya.
Menurutnya, modul tersebut menjadi langkah kecil dalam upaya mewujudkan kekuatan sumber daya manusia (SDM) yang berasal dari bawah. Para AKP dan keluarga diharapkan bisa ikut terlibat untuk memahami dan berani melawan saat perlakuan tidak manusiawi muncul, dan juga berdampak pada ekosistem laut.
Tegasnya, dia menyebut kalau kehadiran modul bukan semata fokus pada penyelamatan individu yang terjebak di atas kapal dalam praktik tidak menyenangkan. Namun juga, itu adalah perjuangan kolektif untuk menciptakan ketenagakerjaan yang lebih adil dan transparan.
“Tidak ada lagi pekerja yang harus takut atau terperangkap di tengah lautan, tanpa bantuan serta tanpa mengetahui hak-haknya. Untuk mereka yang pernah merasa terasing di lautan, Pathway to Justice adalah mercusuar yang akan membimbing mereka pulang ke arah keadilan, hak, dan martabat sebagai manusia,” pungkasnya.
Baca juga : Tanpa Perlindungan Penuh, Nasib Awak Kapal Perikanan Semakin Terpuruk

Perjanjian Manipulatif
Contoh kasus tidak menyenangkan yang menimpa AKP, dialami empat orang AKP yang bekerja pada kapal perikanan KM Sumber Rizqi-A milik PT Mina Samudera Rezeki. Keempatnya diduga kuat mengalami praktik manipulatif perjanjian kerja di kapal tersebut.
Diduga karena tidak sepakat dengan praktik di atas kapal, keempatnya kemudian melompat dari kapal sejak 29 Juli 2024 dan belum ditemukan sampai sekarang. Keempatnya diketahui berinisial DS, MS, IL, dan AH.
Mengawal kasus tersebut, SBMI bersama dengan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, LBH Pijar Harapan Rakyat dan keluarga empat AKP mengajukan laporan aduan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Aduan tersebut berisi tentang dugaan TPPO yang yang dialami oleh AKP di KM Sumber Rizqi-A dan sekaligus menjadi tindak lanjut dari pengaduan masyarakat (dumas) di Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri) yang sebelumnya mencatat hilangnya empat AKP yang melompat dari KM Sumber Rizqi-A.
Keempat orang AKP tersebut, awalnya direkrut bekerja untuk kapal perikanan cumi sejak 9 Juni 2024. Sejak awal direkrut, mereka dijanjikan oleh calo akan mendapat gaji senilai Rp3,5 juta per bulan, dengan kasbon senilai Rp6 juta, dan mendapatkan fasilitas makan dan rokok.
Nyatanya, nilai yang dijanjikan itu tidak mereka dapatkan. Bahkan, saat masih dalam proses perekrutan saat tiba di rumah penampungan yang ada di Brebes, Jawa Tengah, keempatnya tidak mengetahui ada perubahan nilai tersebut.
Tak hanya itu, mereka juga tidak mengetahu bahwa ada syarat kerja yang tidak sesuai, dan kemudian puncaknya adalah calo tidak memproses Perjanjian Kerja Laut (PKL) untuk ditandatangani para AKP. Syarat tersebut harusnya ada sebelum mereka berangkat ke kapal yang bersandar di Banyuwangi, Jawa Timur.
Adapun, perubahan yang dimaksud, adalah upah yang dijanjikan bukan nilai tetap, melainkan berdasarkan hasil sistem bagi hasil tangkapan. Kenyataan tersebut harus dijalani para AKP selama dua bulan, sampai kemudian keempat orang tersebut melompat dari kapal di area laut Alas Purwo, Banyuwangi, yang berjarak sekitar 90 kilometer dari daratan.
Baca juga : Perlindungan terhadap Awak Kapal Perikanan Terancam oleh Uji Materi UU 18/2017?

Laporan aduan yang diajukan kepada Komnas HAM, bertujuan agar kasus tersebut dilakukan investigasi mendalam, karena tidak hanya mengindikasikan adanya pelanggaran HAM yang serius saja. Namun juga menunjukkan kegagalan Pemerintah dalam menjamin dan melindungi hak-hak AKP selama proses bekerja di atas kapal perikanan.
Keterangan resmi yang dibuat SBMI, DFW Indonesia, dan LBH Pijar Harapan Rakyat, menyebutkan kalau dari pengakuan salah satu keluarga korban, salah satu AKP mengeluhkan kondisi kerja yang tidak sesuai dengan perjanjian dan sangat berharap bisa segera pulang ke rumah.
Apa yang dijelaskan tersebut, menunjukkan adanya kerentanan dan ketidakadilan, termasuk ketidakmampuan untuk mendapatkan gaji dan informasi menyesatkan tentang situasi yang sebenarnya. Juga, dugaan bahwa suaminya telah melompat dari kapal setelah adanya permintaan tebusan.
Masalah Sistemik AKP
Pengacara Publik DFW Indonesia Wildanu Syahril Guntur melihat bahwa kasus tersebut menjadi indikator dari masalah sistemik yang lebih luas dalam proses perekrutan dan penempatan AKP yang seringkali tidak transparan.
“Sehingga diperlukannya reformasi tata kelola hukum untuk mencegah kasus-kasus serupa di masa mendatang,” jelas dia.
Melalui laporan aduan, dia berharap Komnas HAM bisa menjalankan fungsi dan tujuannya untuk melakukan penyelidikan, pemeriksaan, dan pemantauan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dia juga berharap Komnas HAM bisa segera memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan DPR RI untuk perubahan tata kelola hukum terkait perekrutan dan penempatan AKP. Kemudian, rekomendasi diberikan juga kepada Polri untuk segera menindaklanjuti proses hukum.
Baca juga : Nasib Buruk Awak Kapal Perikanan di Kapal Perikanan Asing

Sekretaris Jenderal SBMI Juwarih menambahkan bahwa laporan aduan menjadi harapan kalau Komnas HAM bisa memberi perlindungan dan dukungan maksimal kepada keluarga para AKP yang hilang. Dia berharap ada perhatian mendalam karena kasus tersebut melibatkan empat nyawa manusia.
Dugaan praktik penyelundupan orang pada kapal perikanan juga terjadi di perairan Sumatera Utara dan diduga kuat sudah terjadi sejak lama untuk pengiriman pekerja migran Indonesia pelaut perikanan (PMI PP). Upaya tersebut berhasil digagalkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Pung Nugroho Saksono menyatakan kalau dugaan tersebut berasal dari informasi yang dikirimkan masyarakat dan ditindaklanjuti oleh Kapal Pengawas HIU 16.
Target operasi kapal, adalah perairan di Selat Malaka yang ditengarai menjadi pusat lokasi pengiriman PMI PP. Saat beroperasi pada 14 September 2024, kapal pengawas berhasil menghentikan kapal ikan bertonase sekitar 15 gros ton (GT) berjalan pelan di perbatasan Indonesia Malaysia.
“Kapal tanpa identitas tersebut dinakhodai oleh BA seorang warga Tanjung Balai Asahan,” jelasnya.
Operasi tersebut menemukan fakta bahwa kapal ikan tersebut tidak dilengkapi dengan alat penangkapan ikan (API) dan tidak ditemukan ikan di dalamnya. Kemudian, kapal juga diduga kuat memakai modus mencari iakn untuk mengelabui petugas.

Kepala Stasiun PSDKP Belawan Muhamad Syamsu Rokhman menambahkan, dugaan praktik penyelundupan orang pada kapal tersebut ternyata benar. Saat diperiksa, ditemukan 13 orang yang bersembunyi di dalam palka kapal.
Belasan orang itu terdiri dari 12 orang laki-laki dan 1 orang perempuan yang diduga PMI PP ilegal yang akan diselundupkan ke Malaysia. Modusnya, dari Indonesia menjadi kapal ikan dan saat sudah di tengah laut, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kapal ikan berbendera Malaysia.
Hasil dari pemeriksaan, diketahui kalau PMI PP ilegal yang mau diselundupkan adalah berasal dari Lombok (Nusa Tenggara Barat), dan Asahan (Sumut). Mereka dijanjikan akan bekerja di kapal ikan Malaysia dengan upah gaji 2.000 RM per bulan atau setara Rp7 juta.
“Sedangkan Nakhoda menerima imbalan sekitar Rp1 juta per orang,” sebutnya. (***)