- Seekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) ditemukan mati dalam keadaan leher terjerat di area peladangan warga di Nagari Sungai Pua, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Kamis (25/7/2024)
- BKSDA Sumbar mengklaim sudah melakukan sosialisasi penyadartahuan kepada masyarakat tentang bahaya pemasangan jerat meski tidak mudah karena banyaknya babi hutan sebagai target hewan untuk dijerat
- Peneliti satwa liar Universitas Andalas, Wilson Novarino mengatakan perlu dirancang dan diterapkan upaya pengendalian satwa yang dianggap hama oleh masyarakat dengan cara yang lebih efektif dan sekaligus bisa menghindari terjeratnya satwa non target.
- Pemerhati perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar, Dwi Nugroho Adhiasto menyebut jerat merupakan ancaman utama terhadap satwa liar yang berada di suatu area, sehingga perlu segera dikeluarkan regulasi untuk mengatur tentang penggunaan jerat.
Kabar duka kembali menyelimuti dunia konservasi. Seekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) ditemukan mati dalam keadaan leher terjerat di area peladangan warga di Nagari Sungai Pua, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Kamis (25/7/2024). Pada saat ditemukan kaki kiri bagian depan harimau betina ini dalam keadaan buntung diduga terkena jerat yang dipasang masyarakat.
Kepala BKSDA Sumbar, Lugi Hartanto mengatakan setelah mendapatkan informasi tersebut, Tim WRU Seksi Konservasi Wilayah I berangkat ke lokasi untuk melakukan evakuasi. Sampai di lokasi, tim menemukan harimau sudah mati dengan leher terlilit kawat. Selanjutnya bangkai harimau dibawa ke Rumah Sakit Hewan di Padang untuk dilakukan nekropsi. Identifikasi awal BKSDA spesifikasi jeratnya yang biasa digunakan untuk babi hutan.
“Berdasarkan hasil nekropsi harimau sumatera berjenis kelamin betina ini mati karena trakhea pecah fraktur pada tulang leher dan mengakibatkan gagal nafas akibat terjerat pada leher. Harimau diperkirakan berumur 2 – 3 tahun dan belum pernah melahirkan,” kata Lugi kepada Mongabay, Sabtu (27/7/2024).
Selanjutnya bangkai harimau itu dikuburkan di suatu tempat di kota Padang.
Lugi mengatakan harimau itu sudah berkonflik sejak empat bulan terakhir dan sempat memakan ternak warga. Upaya untuk memindahkan harimau itu sudah dilakukan dengan memasang kandang jebak. Namun harimau belum bisa ditangkap.
“Bagian atas kawasan itu berbatasan langsung dengan Cagar Alam Maninjau, disana memang kantong habitatnya. Rencananya harimau itu mau kita evakuasi sejak Maret, tapi belum tertangkap,” katanya.
Lugi mengatakan pihaknya sedang melakukan investigasi terkait ada atau tidaknya unsur kesengajaan dalam kejadian harimau dijerat ini. “Tapi kalau spesifikasi jerat target utamanya mengamankan ladang dari babi hutan, size kawatnya kecil. Tapi karena yang kena leher jadi fatal akibatnya,” ungkapnya.
Baca : Harimau Sumatera Masuk Pekarangan Masjid di Solok, Diduga Terganggu Aktivitas Penangkap Burung

Terkait bahaya jerat, BKSDA mengklaim sudah melakukan sosialisasi penyadartahuan kepada masyarakat.
“Sebelumnya beberapa bulan lalu kami sudah sosialisasi dengan kecamatan, nagari dan perangkat desa lainnya untuk tidak memasang jerat di kawasan yang dilalui harimau sumatera, atas kejadian ini mungkin perlu kita lanjutkan lagi menyadarkan masyarakat,” sebutnya.
Menyadarkan masyarakat untuk tidak memasang jerat, katanya, tidaklah mudah. Apalagi di daerah tersebut memang banyak babi hutan. Tetapi penggunaan jerat bisa diganti dengan jaring agar tidak membahayakan satwa bukan target.
Terkait operasi sapu jerat, ia menyebut kewenangan BKSDA hanya di kawasan konservasi. Sedangkan diluar itu merupakan kewenangan pemerintah daerah. “Untuk itu kami butuh dukungan pemda untuk mengatasi masalah jerat ini, apalagi di APL kita tidak punya kewenangan. Kalau tidak didukung oleh pemerintah kabupaten, kecamatan, akan berat sekali kerja BKSDA,” imbuhnya.
Terkait pelaku pemasang jerat, Lugi menyebut jika memang ada unsur kesengajaan untuk menjerat harimau, bisa dilakukan penegakan hukum. “Kita lihat dari modusnya, kelengkapan dan alatnya apakah digunakan untuk menangkap harimau atau apa, kami sedang mendalami,” pungkasnya.
Baca juga : Harimau Sumatera Masuk Bendungan di Pasaman Barat, Habitat Terganggu?

Sudah 4 Individu Harimau Mati
Menurut data BKSDA Sumbar sejak 2021 sudah empat individu Harimau Sumatera mati, baik itu karena sakit maupun karena jeratan. Pertama Harimau jantan berumur 7-8 tahun yang ditemukan dalam keadaan lemas dan sakit di dekat Bendungan Sontang, Kanagarian Sontang Cubadak, Kecamatan Padang Gelugur, Pasaman, pada Agustus 2021.
Meski sempat mendapat perawatan beberapa jam dari BKSDA Sumbar namun nyawa harimau tersebut tidak tertolong. Pada harimau tersebut tidak dilakukan nekropsi karena pada saat itu warga desa melarang petugas BKSDA untuk membawanya keluar desa karena ada kepercayaan jika harimau tersebut adalah datuk penjaga kampung. Akhirnya harimau tersebut dikubur kemudian di cor di tengah-tengah kampung agar tidak terjadi pencurian.
Kedua, satu individu harimau betina umur sekitar dua tahun mati kena jeratan babi di ladang masyarakat di Jorong Tilalak Nagari Tanjung Baringin, Kecamatan Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman pada Mei 2023. Harimau tersebut ditemukan tergantung di ladang jagung masyarakat dengan kaki terjerat. Awalnya Harimau masih hidup dan sempat mendapatkan perawatan tapi karena lemas dan mengalami dehidrasi akhirnya harimau tersebut mati. Diperkirakan asal harimau ini dari Suaka Margasatwa Malampah, berjarak sekitar satu kilometer.
Ketiga pada Juni 2022, seekor harimau betina, Puti Maua Agam mati di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PRHSD) Arsari. Pada saat itu ia sedang menjalani perawatan setelah berkonflik di nagari asalnya Salareh Aie, Kecamatan Palembayan, Agam. Dokter hewan PRHSD menyebut jika harimau tersebut menderita penyakit pneumonia. Puti Maua, adalah harimau betina yang berhasil diselamatkan tim BKSDA Sumbar Resor Maninjau dari lokasi konflik di Jorong Kayu Pasak Timur, Nagari Salareh Aie, Kecamatan Palembayan, Agam.
Lima bulan harimau Puti berada dalam pengawasan dan menjalani rangkaian rehabilitasi di PRHSD. Puti pun dijadwalkan akan dilepasliarkan kembali ke habitat aslinya. Bahkan, lokasi calon rumah baru yang akan ditempati Puti Maua sudah di survei. Namun, nasib berkata lain, Puti ditemukan mati dikandangnya.
Terakhir Harimau betina yang ditemukan mati terjerat di peladangan warga di Nagari Sungai Pua, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Kamis (25/7/2024).
Baca juga : Beru Situtung, Harimau Sumatera yang Menyerang Dua Warga Langkat Sudah Ditangkap

Pengendalian Satwa yang Dianggap Hama
Peneliti satwa liar dari Universitas Andalas, Wilson Novarino mengatakan kematian harimau sumatera di Sungai Puar, Palembayan, Kabupaten Agam ini bisa ditelaah dari berbagai sisi. Sisi positifnya menunjukkan bahwa pada berbagai wilayah di Sumbar masih bisa dijumpai keberadan harimau sumatera.
“Adanya individu yang relatif muda 2-3 tahun menunjukkan adanya proses pemudaan populasi,” sebut Wilson kepada Mongabay, Sabtu (27/7/2024).
Kasus kematian harimau yang terjerat memberikan gambaran kondisi lapangan berupa adanya kegiatan pemasangan jerat di bentang alam yang menjadi habitat harimau tersebut.
Meski bukan menjerat harimau, namun penggunaan jerat jelas bisa berakibat pada berbagai jenis hewan. Karena itu, untuk mencegah terulangnya kembali, perlu dirancang dan diterapkan upaya pengendalian satwa yang dianggap hama oleh masyarakat dengan cara yang lebih efektif dan sekaligus bisa menghindari terjeratnya satwa non target.
Harimau sumatera tentunya akan beraktivitas pada habitat sesuai dengan kebutuhan alaminya seperti untuk mencari mangsa, aktivitas sosial dan berbiak. Habitat tersebut bisa saja melewati berbagai bentuk penggunaan dan status lahan.
“Seperti kawasan hutan konservasi, hutan lindung atau bahkan sampai ke areal penggunaan lain. Hal ini menjadi penyebab adanya tumpang tindih dengan areal yang juga dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai aktivitasnya. Makanya perlu dilakukan upaya atau pendekatan yang lebih komprehensif sehingga manusia dan satwa liar bisa hidup berdampingan,” ungkapnya.
Dari sisi pengelolaan populasi harimau sumatera, kasus ini mungkin bisa menjadi dasar bahwa, pengelolaan harimau di Sumbar membutuhkan kawasan konservasi yang lebih luas dengan sistem pengelolaan yang lebih intensif.
Baca juga : Puti Malabin, Harimau Sumatera yang Konflik di Pasaman Dilepasliarkan

Saat ini kawasan konservasi di Sumbar khususnya di daerah kabupaten Agam dan sekitarnya terdiri dari suaka margasatwa, cagar alam dan taman wisata alam yang dikelola sebagai salah satu seksi dari UPT BKSDA Sumbar. Sudah saatnya menyatukan pengelolaan beberapa kawasan tersebut menjadi sebuah taman nasional, sehingga pengelolaan kawasan bisa lebih terpadu dengan unit pengelola yang lebih fokus.
“Khusus terhadap satwa yang dijumpai dan mengalami kematian, juga sudah saatnya kita berusaha mendapatkan informasi lebih banyak. Setelah dilakukan nekropsi, sebaiknya dilakukan pengambilan sampel jaringan sehingga bisa digunakan untuk analisis molekuler atau genetik. Sehingga bisa menjadi pembanding berbagai temuan yang didapatkan di masa datang, seperti kekerabatannya dengan individu lain yang pernah didata sebelumnya, atau dengan individu lain yang didapatkan informasi genetik setelahnya,” pungkasnya.
Perlu Ada Regulasi Penggunaan Jerat
Pemerhati perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar, Dwi Nugroho Adhiasto menyebut jerat merupakan ancaman utama terhadap satwa liar yang berada di suatu area. Saat ini penggunaan jerat di kawasan hutan jumlahnya tidak sedibanding dengan petugas yang melakukan patroli sapu jerat sehingga perlu segera dikeluarkan regulasi untuk mengatur tentang penggunaan jerat.
Masih tingginya penggunaan jerat di kawasan hutan, menurutnya, karena jerat dianggap senjata yang paling mudah, murah serta tidak ada aturan dalam penggunaannya.
“Jerat itu bisa dari bahan apa saja, mudah dibuat, dan murah, dibandingkan senjata rakitan ataupun kandang jebak, selain itu jerat bisa dipasang secara massal dengan metode macam-macam,” ungkap Dwi saat dihubungi Mongabay, Sabtu (27/7).
Menurutnya jika ada regulasi penggunaan jerat setidaknya bisa mengurangi potensi kejadian terjeratnya harimau. “Selama ini pengaturan jerat tidak ada, apakah itu larangan jerat yg membahayakan harimau, ataupun pengawasan terhadap distributor jerat,” pungkasnya. (***)
Warga Beutong Ateuh Tidak Takut “Bertetangga” dengan Harimau Sumatera