- Subsektor perikanan tangkap menjadi salah satu yang terkena dampak akibat meluasnya wabah COVID-19 yang sudah menjadi pandemi dunia. Kondisi itu meluluhlantakkan sistem perekonomian yang sudah dibangun sejak lama pada subsektor tersebut
- Agar tidak semakin memburuk, Pemerintah Indonesia memulai langkah strategis dan terukur dengan memperbarui target produksi untuk perikanan tangkap untuk 2020. Awalnya, target produksi ditetapkan sebanyak 8,02 juta ton pada 2020 menjadi 7,7 juta ton
- Salah satu upaya yang bisa membantu industri perikanan tangkap bisa tetap bertahan di masa sekarang, adalah dengan meminta keterlibatan semua pihak untuk ikut melaksanakan penyerapan seluruh produk perikanan yang dihasilkan oleh nelayan
- Selain itu, Pemerintah juga memastikan bahwa pelayanan publik pada perikanan tangkap akan terus berjalan dengan tetap memperhatikan protokol pencegahan COVID-19. Dengan demikian, rantai produksi perikanan tangkap tidak terputus
Wabah COVID-19 yang sudah menjadi pandemi dunia, benar-benar merontokkan hampir seluruh sektor kehidupan di dunia, termasuk Indonesia. Khusus untuk sektor kelautan dan perikanan, COVID-19 juga sudah mengubah banyak perencanaan program kerja yang sudah ditetapkan sejak 2019 lalu.
Salah satu yang terkena perubahan itu, adalah subsektor perikanan tangkap yang akan memperbarui target produksi untuk 2020 dari awalnya sebanyak 8,02 juta ton menjadi 7,7 juta ton. Pembaruan itu harus dilakukan, karena ada banyak kendala di lapangan yang diakibatkan COVID-19.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyebut, pembaruan target produksi subsektor perikanan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan. Perubahan tersebut dilakukan, berdasarkan hasil prognosa volume produksi akibat pandemi.
“Wabah Corona yang melanda Indonesia sejak awal Maret 2020 telah memberi dampak pada subsektor industri perikanan tangkap nasional,” ungkapnya dalam sebuah diskusi daring yang digelar DFW Indonesia dan Yayasan Plan Indonesia belum lama ini.
baca : Nasib Nelayan Semakin Terpuruk di Saat Pandemi COVID-19
Akibat COVID-19, permintaan dari luar negeri untuk produk perikanan mengalami penurunan hingga 30-40 persen dan mengakibatkan gudang beku untuk penyimpanan produk perikanan menjadi penuh. Dampaknya, perusahaan mengurangi pasokan bahan baku.
“Selanjutnya, pembatasan transportasi dan pekerja di pabrik juga mengurangi kapasitas penyerapan ikan dari nelayan dan juga pengurangan output produksi sekitar sepuluh persen,” tambah dia.
Abdi Suhufan menerangkan, dengan situasi yang tidak menentu seperti sekarang, semua pihak harus bergandengan tangan untuk bisa menyelamatkan industri perikanan. Untuk itu, semua pihak diharapkan bisa mengoptimalkan potensi pasar yang ada di dalam negeri.
Termasuk, dengan mengupayakan penyerapan industri perikanan seperti produk kaleng ikan dalam paket bantuan sosial yang disalurkan oleh Pemerintah Indonesia, baik Pemerintah Pusat maupun Daerah.
“Akibat COVID-19 sudah mulai dirasakan dampaknya pada industri perikanan tangkap dari hulu ke hilir,” ucapnya.
Menurut Abdi, walaupun dengan skala yang berbeda-beda, namun dampak dari COVID-19 sudah semakin nyata dan itu memerlukan upaya penanganan yang dilakukan dengan strategis dan terukur oleh Pemerintah. Tanpa langkah tersebut, nasib tenaga kerja dan hasil tangkapan nelayan skala kecil akan menjadi susah.
Dengan melakukan langkah yang strategis dan terukur, maka rantai pasok (supply chain) juga akan bisa terjamin dengan baik. Itu artinya, industri perikanan tangkap sangat berkaitan erat dengan penyerapan hasil tangkap dan penyerapan tenaga kerja, sehingga Pemerintah harus fokus ke arah tersebut.
“Industri perikanan tangkap mesti mendapat perhatian, sebab aktivitas industri perikanan tangkap mampu menyerap tenaga kerja dan juga melakukan pembelian hasil tangkapan nelayan kecil,” tegasnya.
baca juga : Memetakan Dampak Positif dan Negatif Pandemi COVID-19 pada Kapal Ikan
Rantai Produksi
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M Zulficar Mochtar pada kesempatan sama mengatakan, walau menjadi salah satu yang terkena dampak, subsektor perikanan tangkap sedang berjuang untuk mengurangi resiko atau dampak dari wabah COVID-19.
Salah satu upaya yang dilakukan, adalah dengan menerbitkan Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Alih Muatan pada Kapal Perikanan. Dalam surat tersebut, dijelaskan bahwa kapal pengangkut ikan yang mempunyai surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) bisa melaksanakan pendaratan ikan di pelabuhan perikanan yang tercantum pada SIKPI ataupun tidak.
“Namun demikian, kelonggaran ini tetap dengan ketentuan bahwa ikan hasil tangkapan tidak boleh dibawa ke luar negeri dan pelaksanaannya bermitra dengan kapal penangkap ikan,” jelasnya.
Selain surat edaran (SE), KKP juga sudah mengusulkan dilakukan perluasan cakupan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23 Tahun 2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Corona, agar kegiatan industri kelautan dan perikanan bisa masuk ke dalamnya.
“Target penerima manfaat adalah industri kelautan dan perikanan berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia,” jelasnya.
Di luar SE, upaya lain yang dilakukan KKP untuk menyelamatkan industri perikanan tangkap, adalah dengan memberikan kemudahan akses perizinan dan fasilitas permodalan kepada semua nelayan dan pelaku usaha yang ada pada subsektor perikanan tangkap.
Hingga April 2020, Zulficar menyebutkan kalau layanan Sistem Informasi Izin Layanan Cepat (SILAT) satu jam online telah menerbitkan 2.628 dokumen perizinan. Jumlah tersebut, terdiri dari dari 634 Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), 1.872 Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan 122 SIKPI, dengan nilai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diterima mencapai Rp176,987 miliar.
Kemudian, untuk memastikan aktivitas tidak terhambat selama wabah COVID-19, operasional 22 pelabuhan perikanan yang menjadi unit pelaksana teknis (UPT) pusat dan sembilan pelabuhan perintis lingkup Ditjen Perikanan Tangkap juga tetap berjalan dengan menerapkan protokol pencegahan COVID-19 yang sangat ketat.
“Pelayanan publik kepada masyarakat perikanan tetap dilakukan agar rantai produksi perikanan tangkap tidak terputus,” tegasnya.
baca juga : Ini Skema Jaring Pengaman Sosial untuk Nelayan dan Pekerja Perikanan
Tekanan Berat
Ketua Asosiasi Pole & Line and Handline Indonesia (AP2HI) Janti Djuari memberikan tanggapannya terkait situasi yang sedang terjadi pada industri perikanan tangkap. Menurut dia, industri tersebut saat ini sedang mengalami tekanan karena kesulitan dalam pengiriman bahan baku melalui transportasi laut dan terutama udara. “Terutama domestik dan luar negeri,” sebutnya.
Selain karena faktor transportasi, tekanan juga dirasakan industri perikanan tangkap, karena saat ini nelayan juga sudah mengurangi frekuensi waktu untuk melaut karena ada pemberlakuan pembatasan di pelabuhan. Pembatasan tersebut diberlakukan karena ada mekanisme karantina sebelum kapal bersandar.
Kemudian, tekanan juga diakibatkan oleh kurangnya penyerapan produk perikanan hasil tangkapan nelayan dari pabrik pengolahan. Itu semua mengakibatkan industri perikanan tangkap terus menurun pergerakannya selama pandemi COVID-19 ini.
“Selain penyerapan pasar dalam negeri dan ekspor yang menurun, usaha kami terhambat pada jalur distribusi bahan baku yang terbatas karena adanya kebijakan pembatasan pergerakan orang oleh Pemerintah,” katanya.
Sementara, Indonesian Program Manager International Pole and Line Foundation (IPLNF) yang hadir pada kesempatan yang sama, mengatakan bahwa tekanan paling berat akibat pandemi COVID-19 dirasakan para pelaku usaha restoran, hotel, dan penyedia jasa makanan hotel (hotel food service). Usaha mereka menurun, karena permintaan konsumen juga menurun tajam.
Dengan demikian, dibandingkan dengan subsektor pengolahan produk perikanan dan ritel penjualan, dampak lebih buruk dirasakan oleh industri hospitality atau industri yang menawarkan segala kegiatan yang berkaitan dengan keramah-tamahan, pelayanan, dan hiburan untuk tamu yang berkunjung.
“Masyarakat agar ikut membantu industri perikanan tangkap dengan membeli produk seafood lokal dan meminta Pemerintah agar memberikan bantuan sosial kepada nelayan,” tutupnya.
perlu dibaca : Bergerak Bersama untuk Serap Seluruh Produksi Perikanan
Terakhir, Senior Ocean Consultant World Bank Ahmad Baihaki ikut memberikan tanggapannya tentang dampak negatif dari COVID-19 kepada perikanan tangkap. Menurut dia, saat ini ada tiga fenomena yang sedang dialami pada perikanan tangkap.
Ketiganya adalah penurunan permintaan produk perikanan, kelebihan suplai hasil tangkapan produk perikanan, dan harga produk perikanan yang mengalami penurunan drastis. Agar ketiga fenomena tersebut tidak terus bertambah parah, Pemerintah Indonesia harus melakukan pemetaan dampak dan target, serta sasaran intervensi pada sektor perikanan.
“Untuk upaya penyelamatan, pilihan intervensi pemerintah bisa dilakukan pada empat area, yaitu transfer cash, sistem resi gudang (SRG), memperkuat akses pasar, pemberian insentif dan subsidi kepada pelaku usaha,” paparnya.