- Pemerintah Indonesia harus serius menyikapi bencana banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, sebagai pintu masuk merombak tata kelola hutan dan lahan. Lembaga pembiayaan pun harus peka dengan bencana yang juga buah dari pendanaan-pendanaan ekstraktif yang mereka kucurkan. Terpenting lagi, jangan ulangi langkah berisiko di wilayah lain. Berbagai kalangan mengingatkan soal itu.
- Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengingatkan, selain mengevaluasi izin-izin di Sumatera, pemerintah juga harus berhenti merusak hutan di wilayah lain, seperti Papua seperti proyek swasembada energi dan pangan, maupun pulau-pulau kecil yang terbebani berbagai izin antara lain, tambang nikel.
- Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, mendesak, pemerintah mengungkap 20 izin PBBH yang akan dicabut agar masyarakat bisa ikut memantau. Jangan sampai pencabutan izin bukan karena kerusakan lingkungan yang memicu banjir di Sumatera, melainkan perusahaan tidak aktif, seperti pencabutan 18 izin PBPH sebelumnya.
- Koalisi Responsibank menilai, bencana Sumatera bukan semata kehendak alam, melainkan konsekuensi dari praktik bisnis ekstraktif yang terus diberi napas oleh pembiayaan lembaga keuangan, termasuk bank-bank nasional. Bertahun-tahun pembiayaan ke perusahaan-perusahaan di Sumatera mengalir deras dalam skala besar.
Pemerintah Indonesia harus serius menyikapi bencana banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, sebagai pintu masuk merombak tata kelola hutan dan lahan. Lembaga pembiayaan pun harus peka dengan bencana yang juga buah dari pendanaan-pendanaan ekstraktif yang mereka kucurkan. Terpenting lagi, jangan ulangi langkah berisiko di wilayah lain. Berbagai kalangan mengingatkan soal itu.
Sejak sebelum banjir bandang menerjang wilayah Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Satya Bumi menemukan jejak-jejak kayu gelondongan di sempadan sungai, persis di area proyek PLTA Batang Toru, dengan pelaksana proyek, PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE).
Temuan ini menguatkan dugaan kayu gelondongan saat banjir bandang di Sumatera Utara itu ada juga kaitan dengan deforestasi.
Sejak 2017-2024, aktivitas PLTA Batang Toru menggerus 535,25 hektar kawasan hutan, dan berdampak pada 6.116 hektar area sekitarnya.
“Kami menduga kuat, kayu-kayu tersebut yang terbawa sampai ke hilir Daerah Aliran Sungai Batang Toru sebagaimana yang diperlihatkan video-video yang tersebar di media sosial,” kata Sayyidattihayaa Afra, Manajer Kampanye Satya Bumi.
Pembangunan infrastruktur PLTA di sekitar sempadan sungai Batang Toru sangat berisiko, karena hutan yang terbabat rawan longsor. Makin mengkhawatirkan karena seluruh ekosistem Batang Toru berada di Patahan Sumatera yang rawan gempa.

Tambang emas Martabe PT Agincourt Resources (Agricourt), juga ikut memperburuk kondisi lingkungan di wilayah Tapanuli Selatan. Tambang emas terbesar di Sumatera itu membuka 603,21 hektar kawasan hutan, dan diduga ikut bertanggung jawab atas banjir besar yang menghantam Desa Garoga.
Satya Bumi menunjukkan, ada bukaan lahan di konsesi Agincourt yang diduga jadi penyebab banjir bandang dan longsor. Limpasan air dari bukaan itu terlihat mengalir ke anak Sungai Garoga yang bermuara ke sejumlah titik banjir di Desa Garoga, Aek Ngadol dan Huta Godang. Tetapi Agincourt, menurut Satya Bumi membantah, meski Desa Garoga berada dalam konsesi mereka.
“Bantahan tersebut sulit diterima, mengingat Agincourt selama ini melakukan kegiatan konservasi di Sungai Garoga dan Sungai Aek Ngadol. Pertanyaannya, mengapa mereka perlu melakukan konservasi di sungai tersebut jika saat bencana terjadi mereka menyatakan tidak memiliki keterlibatan?” kata Juru Kampanye Satya Bumi Riezcy Cecilia Dewi.
Agincourt juga menolak dikaitkan dengan banjir di Sungai Aek Garoga di DAS Nabirong. Meski secara hidrologis, area tambang yang telah dibuka masuk dalam DAS Batang Toru dan DAS Nabirong. Melalui pantauan citra satelit, Satya Bumi menemukan dugaan jejak aliran banjir dan longsor dari tailing konsesi Agincourt yang meluber ke anak Sungai Batang Toru.

Di tengah kerusakan itu, Satya Bumi juga memperlihatkan ekspansi perkebunan sawit PT Sago Nauli seluas 330,4 hektar di dalam peta konsesi PT Agincourt Resources, sepanjang November 2024 sampai Oktober 2025. Tetapi tidak ada informasi terbuka yang mengindikasikan peralihan perizinan antara Agincourt dan Sago Nauli.
“Jika belum ada peralihan izin, maka Agincourt harus bertanggung jawab sepenuhnya atas deforestasi yang terjadi. Namun jika telah ada peralihan izin, Menteri Hanif harus jeli untuk tidak luput mencabut izin PT Sago Nauli.”
Rezy mendesak setiap industri yang beroperasi di dalam dan sekitar ekosistem Batang Toru harus bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi. Sebab, butuh puluhan tahun untuk memulihkan kerusakan lingkungan di Batang Toru.
Pada 20 Desember 2025, Mongabay mengirim pesan WhatsApp kepada Iqbal N. Arafat, Manajer Lingkungan dan Keanekaragaman Hayati NSHE, tetapi tak ada respons. Agincourt tak membalas pertanyaan yang Mongabay kirim pada 22 Desember 2025.
Dalam kurun 1990-2024, analisis Greenpeace—merujuk data Kementerian Kehutanan—menemukan banyak hutan alam di Sumatera Utara beralih fungsi menjadi perkebunan, pertanian lahan kering, dan hutan tanaman.
Situasi serupa terjadi di Aceh dan Sumatera Barat.

Sapta Ananda Proklamasi, peneliti senior Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan, mayoritas DAS di Pulau Sumatera telah kritis dengan tutupan hutan alam kini kurang dari 25%.
“Sedang secara keseluruhan kini tinggal 10-14 juta hektar hutan alam atau kurang 30% luas Sumatera yang 47 juta hektar.”
DAS Batang Toru, meliputi Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah, menjadi salah satu yang mengalami kerusakan parah.
Bentang hutan tropis terakhir di Sumatera Utara itu terbebani berbagai izin industri rakus lahan yang lantas membabat hutan, juga menggusur habitat orangutan Tapanuli.
Selama 1990-2022, sebut Greenpeace, terjadi deforestasi seluas 70.000 hektar atau 21% dari luas DAS Batang Toru. Kini, luas hutan alam tersisa hanya 167.000 hektar atau 49%.
Areal perizinan berbasis lahan dan ekstraktif secara keseluruhan menguasai 94.000 hektar atau 28% dari luas DAS Batang Toru. Sebagian besar berupa perizinan berusaha pemanfaatan hutan, wilayah izin usaha pertambangan, dan perkebunan sawit.
Greenpeace menghitung, total potensi erosi saban tahun mencapai 31,6 juta ton.
Bagian hulu sudah beralih fungsi menjadi pertanian kering, sedangkan hilir menjadi perkebunan sawit dan industri bubur kertas.
Hutan alam tersisa hanya di bagian tengah DAS.

Rombak tata kelola, jangan mengulang di daerah lain
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menilai, Pemerintah Indonesia harus serius membenahi kebijakan tata kelola lahan dan hutan secara menyeluruh demi menyelamatkan ekosistem dan masyarakat dari tragedi bencana iklim yang kian parah.
“Pemerintah harus mengakui, mereka salah dalam tata kelola hutan dan lahan. Akibatnya hutan Sumatera hampir habis, terjadi degradasi lingkungan parah,” katanya.
Kini, masyarakat Sumatera harus menanggung harga amat mahal dari bencana ekologis ini.
Presiden Prabowo dan beberapa menteri memang sudah menyinggung soal deforestasi, tetapi mereka seolah mengesankan bahwa kerusakan hutan di Sumatera terjadi karena penebangan liar.
“Padahal selain penebangan liar, deforestasi masif terjadi karena dilegalkan pula oleh negara dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya,” kata Arie.
Selain mengevaluasi izin-izin di Sumatera, pemerintah juga harus berhenti merusak hutan di wilayah lain, seperti Papua.
“Hentikan perusakan hutan yang terjadi di Raja Ampat dan pulau-pulau kecil lainnya yang dibebani tambang nikel, juga deforestasi di Merauke demi ambisi swasembada energi dan pangan yang salah kaprah.”
Pertumbuhan ekonomi 8% yangjadi cita-cita Prabowo tak akan tercapai kalau lingkungan rusak dan bencana iklim terus mengintai.

Freedom of Information Network Indonesia (FIONI), kumpulan beberapa lembaga organisasi masyarakat sipil juga mendesak pemerintah membuka transparan daftar perusahaan yang terindikasi merusak hutan di Sumatera, termasuk lokasi konsesi, jenis pelanggaran, dan status penanganan hukumnya. Serta menghentikan praktik pembiaran dan negosiasi tertutup dengan pelaku perusakan hutan.
“Banjir di Aceh, Sumbar, dan Sumut bukan musibah alam semata. Ia adalah akibat dari kebijakan dan pembiaran atas perusakan hutan. Menutup nama perusahaan berarti membiarkan kejahatan ekologis terus berulang,” tegas FOINI.
Industri ekstraktif yang merangsek tanpa kendali mengubah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, menjadi panggung kehancuran. Banjir bandang menggelontorkan ribuan kayu gelondongan yang menghancurkan ribuan rumah.
Banjir menenggelamkan banyak desa, memutus 498 jembatan, dan merusak lebih dari 1.200 fasilitas umum serta rumah ibadah.
Pada 23 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, skala kerusakan dahsyat, bahkan belum pernah terjadi dalam satu dekade terakhir, sekitar 1.112 orang tewas, 176 hilang dan 7.000-an terluka.
Aceh mencatat korban meninggal paling banyak dengan 483 jiwa, lalu Sumatera Utara 369 jiwa dan Sumatera Barat 260 jiwa.
Senada dengan Sayyidattihayaa Afra, Manajer Kampanye Satya Bumi. Dia juga mengingatkan, pemerintah lebih peka terhadap risiko bencana di wilayah lain, seperti food estate di Merauke yang 43% lahannya rawan banjir, kekeringan dan kebakaran. Di sana biodefersitas tinggi karena dekat dengan Taman Nasional Wasur.
Pulau Kabaina di Sulawesi Tenggara yang 73% wilayahnya dalam kuasa tambang nikel, juga sangat rentan tenggelam.
“Bencana di Sumatera ini harus membangunkan pemerintah di basis-basis yang membahayakan. Pemerintah harus segera melakukan pendekatan sistematis terhadap wilayah yang rawan bencana.”

Ancam cabut izin, bagaimana transparansi?
Pemerintah menelisik sumber gelondongan kayu saat bencana banjir dan longsor di Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengaku akan mengejar siapapun yang terbukti melanggar.
“Kami berkomitmen untuk investigasi tuntas material kayu yang terbawa arus banjir. Kami sudah berkoordinasi dengan Kapolri. Saya akan kejar siapapun yang melakukan pelanggaran dan melakukan investigasi. Saya akan buktikan dan tindak tegas,” katanya, dalam siaran pers, 4 Desember lalu.
Dia bilang, tidak akan mentolerir praktik perusakan hutan yang berdampak langsung pada keselamatan masyarakat. Temuan kayu gelondongan yang terbawa arus banjir ini akan ditelusuri secara ilmiah lalu tindak lanjut dengan penegakan hukum untuk memastikan sumber dan potensi pelanggaran di baliknya.
“Tidak ada kompromi bagi siapa pun yang merusak hutan Indonesia.”
Raja mengatakan, akan mencabut 20 izin PBPH berkinerja buruk di seluruh Indonesia, termasuk tiga provinsi terdampak banjir dan longsor.
“Sesuai arahan Bapak Presiden Prabowo, sebelumnya kami sudah melakukan pencabutan 18 PBPH seluas 526.144 hektar pada 3 Februari 2025. Kementerian Kehutanan, akan kembali mencabut izin sekitar 20 PBPH berkinerja buruk seluas kurang lebih 750.000 hektar di seluruh Indonesia, termasuk pada tiga provinsi terdampak banjir,” katanya.
Menhut memastikan, akan terus menginvestigasi dan evaluasi bencana yang melanda Sumatera.
“Saya juga akan memoratorium izin baru PBPH hutan alam dan hutan tanaman,” kata Raja.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, mendesak, pemerintah mengungkap 20 izin PBBH yang akan dicabut.
“Biar masyarakat bisa ikut memantau.”
Dia khawatir pencabutan izin bukan karena kerusakan lingkungan yang memicu banjir di Sumatera, melainkan perusahaan tidak aktif, seperti pencabutan 18 izin PBPH sebelumnya.
“Jadi, pemerintah melihatnya pada dimensi ekonomi, bukan lingkungan.”
Sepanjang 2016-2024, Walhi menghitung deforestasi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mencapai 1,4 juta hektar, setara 19 kali luas Singapura.
Uli mendorong, pemerintah segera mengevaluasi seluruh perizinan, terutama di kawasan genting seperti hutan, gambut, dan hulu DAS.
Walhi juga menuntut, pencabutan izin serta penagihan tanggung jawab pemulihan kepada korporasi yang merusak ekosistem penting. Organisasi lingkungan ini mendesak moratorium izin, terutama di daerah rawan bencana.
“Daerah rawan bencana seperti Bukit Barisan itu harus diproteksi.”

Segel perusahaan
Pada 5 Desember 2025, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menghentikan sementara operasional Agincourt, PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III), dan NSHE.
Ketiga perusahaan ini akan menjalani audit lingkungan sebagai langkah pengendalian tekanan ekologis di hulu DAS yang memiliki fungsi vital bagi masyarakat.
“Mulai 6 Desember 2025, seluruh perusahaan di hulu DAS Batang Toru wajib menghentikan operasional dan menjalani audit lingkungan,” kata Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH.
KLH sudah memanggil ketiga perusahaan untuk pemeriksaan resmi pada 8 Desember 2025 di Jakarta.
“DAS Batang Toru dan Garoga adalah kawasan strategis dengan fungsi ekologis dan sosial yang tidak boleh dikompromikan.”
Dua hari setelahnya, KLH/BPLH juga menyegel dan memasang plang pengawasan di area operasional kebun dan pabrik sawit PT Tri Bahtera Srikandi (TBS), anak perusahaan PT Sago Nauli Plantation (SNP) di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Langkah ini untuk menghentikan sementara operasi yang berpotensi memperburuk kondisi hidrologi dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan lingkungan demi keselamatan masyarakat dan pemulihan ekosistem.
“Langkah ini adalah penguatan pengawasan pemerintah terhadap kegiatan usaha yang berpotensi memengaruhi tata air dan keselamatan masyarakat,” kata Hanif.
Penyegelan ini, katanya, bukan hukuman akhir, melainkan langkah awal untuk memastikan seluruh kewajiban lingkungan terpenuhi dan aktivitas perusahaan tak memperburuk kondisi ekologis di sekitarnya.
“Bencana banjir mengingatkan kita bahwa setiap pelaku usaha harus menjalankan kewajiban lingkungan secara penuh. Keselamatan publik dan daya dukung lingkungan harus menjadi prioritas.”
Hanif memastikan, KLH akan terus memantau, mengevaluasi, dan menindaklanjuti setiap aktivitas perkebunan dan pabrik sawit yang berisiko memengaruhi tata air dan keselamatan masyarakat.
“Kepatuhan lingkungan bukan pilihan, melainkan kewajiban.”
KLH/BPLH juga menyegel sejumlah lokasi pertambangan di Sumatera Barat. Tim pengawas KLH/BPLH bersama Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan menemukan bukaan tambang yang terbengkalai, tidak reklamasi, serta tidak ada pemantauan air larian dan potensi longsor. Kondisi itu, diduga memperparah erosi dan aliran lumpur yang menggenangi permukiman di hilir.
“Bukaan tambang yang tidak direklamasi dan tanpa pemantauan air larian berisiko tinggi memicu banjir dan longsor. Pemerintah hadir untuk memastikan pelaku usaha bertanggung jawab,” ujar Hanif.
Sayyidattihayaa menganggap penghentian izin sementara tidak cukup.
“Karena dampak lingkungan dan sosial yang telah terjadi sepadannya diganjar dengan pencabutan izin permanen. Pasal 48 Permen LHK 14/2024 menyatakan bahwa pencabutan izin usaha diterapkan terhadap kerusakan lingkungan yang sulit dipulihkan.”
Menurut dia, tidak perlu lagi ada ruang negosiasi. Sejak 2022, perusahaan-perusahaan telah mengabaikan peringatan masyarakat. “Tindakan tegas Menteri Hanif bukan pilihan melainkan keharusan.”

Kerusakan gambut
Kerusakan gambut ikut memperburuk banjir bandang yang menenggelamkan desa-desa di Aceh. Ekosistem gambut rusak menciptakan dua konsekuensi, mudah terbakar saat kering dan banjir saat basah.
Ola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut, menggambarkan ekosistem gambut seperti spons raksasa yang secara alami mampu menahan air hingga 1.300% dari massa keringnya.
Ketika rusak akibat pengeringan dan pembukaan lahan, gambut menjadi irreversible dan bersifat hydrophobic.
“Dalam kondisi ini, gambut tidak hanya kehilangan kemampuan menyerap air, tetapi justru menolak air. Itulah sebabnya wilayah bergambut yang terdegradasi sangat rentan mengalami banjir ekstrem,” katanya.
Studi Pantau Gambut memperlihatkan lebih dari 300.000 hektar Aceh rentan banjir. Analisis dari curah hujan, kondisi lahan, kanalisasi BRGM, hingga citra satelit Planet NIPCI sepanjang 2015-2023. Semua mengarah pada satu konklusi: kerusakan hidrologis gambut menjadi faktor signifikan yang membuat Aceh rentan banjir.
Data Pantau Gambut menunjukkan, ada 35 konsesi perkebunan yang beroperasi di dalam Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Aceh yang rentan banjir. Total area rentan mencapai 83.637,74 hektar.
Menurut Ola, aktivitas perkebunan dalam KHG dengan jaringan kanal yang rapat dan pembukaan lahan yang masif berkontribusi signifikan pada degradasi hidrologi gambut dan berisiko memicu banjir ekstrem.
Dia mendesak, audit lingkungan dan audit perizinan secara independen yang menyeluruh. Evaluasi tidak cukup ditujukan pada pemegang konsesi, pemerintah sebagai pemberi izin juga harus dievaluasi bukan hanya Kementerian Kehutanan, juga ATR/BPN yang memegang kewenangan HGU dan penataan ruang.
“Pemberian izin baru di ekosistem gambut perlu dihentikan sementara, hingga audit menyeluruh selesai dan langkah pemulihan yang terukur ditetapkan,” kata Ola.
Secara strategis kebijakan, revisi regulasi melalui UU Cipta Kerja melemahkan standar perlindungan lingkungan, termasuk melalui pemutihan konsesi ilegal dan pelonggaran pemanfaatan kawasan gambut serta hutan atas nama proyek strategis nasional (PSN).
“Evaluasi dan koreksi regulasi menjadi krusial; tanpa itu, bencana seperti yang terjadi di Aceh–Sumatera akan berulang dan mengancam wilayah bergambut lainnya.”
Menurut Ola, presiden dan DPR turut bertanggungjawab memberikan pelemahan perlindungan lingkungan hidup, khusus pada tata kelola hutan dan ekosistem gambut melalui pengesahan UU Cipta Kerja.

Jejak pembiayaan berisiko
Koalisi Responsibank juga menilai, bencana Sumatera bukan semata kehendak alam, melainkan konsekuensi dari praktik bisnis ekstraktif yang terus diberi napas oleh pembiayaan lembaga keuangan, termasuk bank-bank nasional. Bertahun-tahun pembiayaan ke perusahaan-perusahaan di Sumatera mengalir deras dalam skala besar.
Data Forests &, Finance menunjukkan, periode 2014–2025, total pembiayaan yang terdeteksi mengalir ke sejumlah perusahaan di sektor berisiko di Sumatera mencapai US$42,9 miliar. Ia terdiri dari pinjaman US$16,9 miliar dan pembiayaan penjaminan (underwriting) US$26,1 miliar.
Aliran dana ini tetap terjadi di tengah meningkatnya risiko ekologis dan konflik sosial di wilayah operasi perusahaan.
Dalam daftar kreditur terbesar, tercatat sejumlah bank nasional dengan nilai pembiayaan signifikan. Bank Mandiri tercatat menyalurkan pembiayaan sebesar US$ 3,75 miliar, lalu Bank Rakyat Indonesia (BRI) US$1,65 miliar dan BNI US$1,14 miliar.
Sejumlah lembaga keuangan internasional dari China, Jepang, Singapura, dan Inggris juga tercatat aktif membiayai sektor-sektor itu.
Berdasarkan kelompok perusahaan, NSHE tercatat menerima pembiayaan terbesar US$23 miliar, mayoritas melalui skema penjaminan. Lalu, Agincourt US$9,87 miliar dan PTPN III US$7,54 miliar.
Koalisi Responsibank menekankan, data ini baru mencerminkan sebagian kecil perusahaan yang dapat ditelusuri, mengingat masih terbatasnya keterbukaan data pembiayaan dan struktur korporasi di Indonesia.
“Sulitnya mengakses data perusahaan dan pembiayaan menunjukkan lemahnya akuntabilitas. Ini justru menguatkan alasan mengapa transparansi dan kewajiban pelaporan harus diperketat,” kata Abdul Haris, Kepala Departemen Advokasi dan Pendidikan Publik TuK Indonesia.
Menurut dia, karena perusahaan mengelola sumber daya alam yang merupakan barang publik, maka keterbukaan risiko sosial dan lingkungan dalam laporan keuangan bukanlah pilihan, melainkan kewajiban.

*****