- Banjir dan longsor kerap melanda Kalimantan Selatan (Kalsel) beberapa tahun terakhir. Kerentanan provinsi ini pun makin terekspos pada 2025. Wahana Lingkungan Hidup Kalsel menyebut, kondisi ini merupakan dampak dari ketahanan lingkungan yang makin tipis. Sementara, Pemerintah Provinsi justru menawarkan solusi palsu.
- Yang terjadi pada 2025 menguatkan rangkaian bencana tahun sebelumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) Kalsel mencatat, terjadi 217 peristiwa banjir periode 2020-2024. Bencana tersebut merendam 393.676 rumah dan berdampak pada 1.747.321 orang, dengan korban meninggal dunia mencapai 36 jiwa.
- Data Walhi Kalsel, 51,57% dari total 3,7 hektar luas provinsi ini telah terbebani izin usaha ekstraktif. Rinciannya, perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) 722.895 hektar, wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) 559.080 hektar, serta hak guna usaha (HGU)—yang mayoritas perkebunan sawit—645.612 hektar.
- Sisi lain, pemerintah makin tidak berpihak pada masyarakat kecil dengan kebijakan ‘menjaga hutan’ mereka. Salah satunya, usulan Taman Nasional Meratus, yang secara eksklusif dapat menutup akses masyarakat adat yang hidup turun-temurun mengelola alam berbasis kearifan lokal.
Bencana seperti banjir dan longsor kerap melanda Kalimantan Selatan (Kalsel) beberapa tahun terakhir. Kerentanan provinsi ini pun makin terekspos pada 2025. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel menyebut, kondisi ini merupakan dampak dari ketahanan lingkungan yang makin tipis. Sedang Pemerintah Kalsel justru menawarkan solusi palsu.
Terakhir, banjir parah terjadi pada Desember 2025. Catatan Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Kalsel, bencana ini terjadi di empat kabupaten, Banjar, Hulu Sungai Utara (HSU), Balangan, dan Tabalong.
Di Kabupaten Banjar, banjir merendam 26 desa di lima kecamatan. Sebanyak 2.363 rumah terdampak, dengan 6.464 jiwa dari 2.598 keluarga terdampak. Di HSU, banjir menerpa 39 desa di 10 kecamatan, merendam 1.496 rumah, serta berdampak pada 5.966 jiwa dari 2.011 keluarga.
Kemudian, di Balangan, sebanyak 38 desa di tujuh kecamatan terendam, dengan 1.547 rumah terdampak dan 5.292 jiwa dari 1.801 keluarga terimbas.
Adapun di Tabalong, banjir melanda lima desa di tiga kecamatan. Sebanyak 494 rumah terendam dan 1.702 jiwa dari 820 keluarga terdampak.
BPBD juga mencatat 51 banjir di seluruh kabupaten/kota pada April-Desember yang mengakibatkan 63.598 rumah terendam, dan berimbas ke 231.981 jiwa dari 72.148 keluarga.
Periode sama, terjadi 16 kali tanah longsor di delapan kabupaten, merusak delapan rumah dan berdampak pada 49 jiwa dari 15 keluarga.

Yang terjadi pada 2025 menguatkan rangkaian bencana tahun sebelumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) Kalsel mencatat, terjadi 217 banjir periode 2020-2024.
Bencana itu merendam 393.676 rumah dan berdampak pada 1.747.321 orang, dengan korban meninggal dunia mencapai 36 jiwa.
Walhi Kalsel menilai, banjir yang makin sering terjadi tidak semata karena tingginya curah hujan. Namun, ketahanan lingkungan yang semakin kritis memperburuk dampaknya.
Menurut mereka, hal ini karena kombinasi kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang bebal dan terus memberi karpet merah bagi korporasi perusak lingkungan.
Data Walhi Kalsel, 51,57% dari total 3,7 hektar luas provinsi ini terbebani izin usaha ekstraktif. Rinciannya, perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) 722.895 hektar, wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) 559.080 hektar, serta hak guna usaha (HGU)—yang mayoritas perkebunan sawit—645.612 hektar.

Sementara, sisa tutupan hutan primer di kalsel sangat kecil, tinggal 49.958 hektar. Timpang dengan masifnya perizinan di provinsi itu.
Menurut mereka, tidak pernah ada evaluasi atau pengurangan perizinan tersebut dalam 1 dekade terakhir. Sebaliknya, justru bertambah hingga menekan daya dukung serta daya tampung lingkungan.
Kerusakan lingkungan di Kalsel tidak berdiri sendiri. Karena, pulau Kalimantan merupakan satu bentang alam yang saling terhubung.
Eksploitasi besar-besaran di satu wilayah berdampak pada kawasan lain. Pegunungan Meratus, misal, yang membentang dari Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan, sama-sama mengalami degradasi ekologis.
Akumulasi kerusakan ini pada akhirnya melahirkan bencana ekologis seperti banjir, yang tidak mengenal batas-batas administratif.
“Kekayaan alam di daerah kita dikeruk dan hanya dinikmati oleh segelintir orang. Sialnya, ketika alam rusak, yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat-masyarakat kecil,” kata Jefry Raharja, Manajer Advokasi Walhi Kalsel.

Khawatir hutan Kalsel
Hutan alam Kalsel yang makin menipis masih berisiko makin gundul. Pasalnya, pemerintah punya proyek 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi yang Kementerian Kehutanan umumkan akhir Desember 2024.
Proyek ini menyasar kawasan hutan lindung dan hutan produksi seluas 15,53 juta hektar, dengan 3,17 juta hektar berada di wilayah yang sudah terbebani perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH), serta 1,9 juta hektar menyasar perhutanan sosial.
“Bukan tidak mungkin proyek ini juga akan merambah hutan-hutan di Kalimantan Selatan, sehingga kualitas lingkungan semakin tergerus dan risiko bencana ekologis bertambah,” kata Raden Sepdian Fadel Wibisono, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel.
Sisi lain, pemerintah makin tidak berpihak pada masyarakat kecil dengan kebijakan ‘menjaga hutan’ mereka. Salah satunya, usulan Taman Nasional Meratus, yang secara eksklusif dapat menutup akses masyarakat adat yang hidup turun-temurun mengelola alam berbasis kearifan lokal.
Sekitar 52,84% dari wilayah usulan 119.000 hektar merupakan wilayah adat. Dengan demikian, katanya, wacana konservasi ini bisa jadi kolonialisme gaya baru, mengabaikan sistem konservasi masyarakat lokal.
Gusti Nurdin Iman, Dewan Daerah Walhi Kalsel, menyebut, masyarakat tentu sepakat dengan konservasi yang bijak. Dengan menjaga hutan, air, dan membuat ekosistem seimbang.
“Masalah muncul ketika konsep konservasi Taman Nasional tidak mengakomodasi kehidupan masyarakat di dalamnya,” katanya.
Masyarakat Adat Meratus, lanjutnya, memiliki konsep konservasi sendiri yang mereka wariskan turun-temurun. Misalnya, hutan larangan (katuan), gunung pahajatan, dan berbagai aturan lokal untuk menjaga keseimbangan alam.
Masyarakat pun mengawali aktivitas di kawasan itu dengan ritual tertentu. Juga menghormati roh, dan larangan-larangan yang menjaga kelestarian alam.
“Konsep-konsep ini tidak hanya melindungi lingkungan, tetapi juga mempertahankan keyakinan dan budaya masyarakat.”
Model Taman Nasional yang kaku akan membuat masyarakat adat kehilangan ruang hidup, sekaligus hak atas praktik budaya dan keyakinan mereka. Serta kehilangan akses bertani atau mengambil hasil hutan, dan kehilangan kendali atas proses ritual dan penentuan lahan.
“Dalam hal ini, negara berperan mengambil alih sumber daya yang sesungguhnya dijaga oleh masyarakat adat selama berabad-abad.”

Beratnya memperjuangkan lingkungan
Walhi kalsel menyoroti makin masifnya tekanan investasi terhadap tatanan sosial, ekonomi, politik dan ekologi. Tahun 2025, menurut Raden, merupakan ujian berat masyarakat sipil. Dinamika gerakan sosial, hak asasi manusia dan isu lingkungan makin menegangkan.
Beberapa orang bahkan gugur dalam mempertahankan hak mereka atas keadilan dan kelestarian lingkungan. Termasuk Sabriansyah di Pengaron, Jurkani di Angsana, dan Arbaini di Nateh.
Aktivis Walhi Kalsel pun menghadapi ancaman serius, seperti doxing oleh aparat saat gelombang demonstrasi Agustus 2025, atau surat bernada ancaman pembunuhan pada Desember 2024.
Mistisnya, negara memiliki aturan hukum yang seharusnya melindungi masyarakat.
Semua ini terjadi di negara yang memiliki aturan hukum yang seharusnya melindungi warga: Sebagaimana termaktub dalam Undang-undang 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Namun, masyarakat Kalsel menutup 2025 dengan luka dan ketakutan, di tengah tindakan rezim yang menggabungkan kekuatan ekonomi dan politik, sehingga kesejahteraan dan kelestarian lingkungan terus terancam.”

*****