- Pegunungan Meratus kaya keanekaragaman hayati, seperti beragam jenis anggrek endemik. Puncak Gunung Haur Bunak, salah satu habitat tumbuhan dari keluarga Orchidaceae ini mekar sempurna tanpa campur tangan manusia.
- Isroni, perwakilan UPT Tahura Sultan Adam, mengidentifikasi beberapa spesies anggrek, mulai dari Dendrobium stuartii, Acriopsis liliifolia, Dendrobium compressum, Dendrobium crumenatum, Bulbophyllum lobbii, Trichoglottis bipenicillata, Polystachya concreta, dan Spathoglottis zurea.
- Titik Sundari, Koordinator Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Kalsel, mengatakan, berdasarkan sebaran, di seluruh dunia ada sekitar 850 genus dan 25.000 spesies anggrek. Di Indonesia, lebih 5.000 spesies, dan di Kalimantan tercatat sekitar 2.500-3.000 jenis.
- Arinda Dian Susanti, Ketua DPD Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI) Kalsel, mengatakan, spesies Paraphalaenopsis denevei dulu pernah ada di Kalimantan Selatan. Sayangnya, jenis anggrek ini dianggap hilang karena sudah lama tidak pernah terlihat.
Sejumlah spesies anggrek menempel pada batang-batang pohon lembab di hutan hujan tropis Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Sepanjang jalur pendakian menuju Puncak Gunung Haur Bunak, tumbuhan dari keluarga Orchidaceae itu mekar sempurna tanpa campur tangan manusia.
Untuk menikmati keindahannya, siapa pun harus menembus medan berat yang licin, terjal, berkabut, dan hutan rimba nan gelap di bentang Pegunungan Meratus ini.
Juga perlu waspada terhadap lintah darat khas Meratus yang sewaktu-waktu bisa menempel, lalu menyedot darah para pendaki.
Hari itu, akhir Oktober 2025, selama tiga hari dua malam, 75 orang dari berbagai organisasi pecinta alam se-Kalimantan Selatan yang dipelopori Mapala Sylva, melakukan konservasi anggrek di habitat aslinya.
Berangkat dari Kota Banjarbaru sekitar pukul 14.00, rombongan menunggangi sepeda motor menuju Bukit Batu di Kabupaten Banjar, lalu lanjut menaiki perahu bermesin selama beberapa jam di perairan Waduk Riam Kanan.
Sesampainya di tepian, mereka berjalan kaki menuju Kamp Batu Balian di Desa Pa’au, Kecamatan Aranio, untuk bermalam. Kemudian, barulah keesokan paginya setelah melakukan pelbagai persiapan, rombongan yang terbagi menjadi dua tim mendaki sejauh 6,7 kilometer melalui jalur Plajau.
Sebelum benar-benar sampai di puncak bukit setinggi 1.141 Mdpl, rombongan terlebih dahulu melewati lima pos peristirahatan dan pulang menuruni jalur yang sama.
Perjalanan berakhir hingga malam tiba, Mongabay mencatat total waktu sekitar 13 jam.
“Dari titik keberangkatan, anggrek sudah mulai ditemukan di pos satu menuju pos dua. Tetapi lebih banyak di pos tiga, empat dan seterusnya hingga ke Puncak Haur Bunak,” kata Pahriansyah, anggota Mapala Sylva.
Isroni, perwakilan UPT Tahura Sultan Adam, mengidentifikasi beberapa spesies anggrek, mulai dari Dendrobium stuartii, Acriopsis liliifolia, Dendrobium compressum, Dendrobium crumenatum, Bulbophyllum lobbii, Trichoglottis bipenicillata, Polystachya concreta, dan Spathoglottis zurea.
Sepanjang jalur pendakian, juga menemukan empat jenis anggrek yang belum teridentifikasi. Bisa jadi, katanya, itu tumbuhan baru yang belum diketahui sebelumnya.
Dengan menganalisa buku “Koleksi Anggrek Taman Hutan Raya Sultan Adam” yang Dinas Kehutanan Kalsel terbitkan bersama UPT-nya yang dia bawa, pada bagian tenggara kawasan yang masih dalam kawasan konservasi itu, tercatat sedikitnya ada 35 spesies anggrek hasil eksplorasi.
Secara spesifik, enam spesies pernah tumbuh di Puncak Haur Bunak, seperti Chelonistele sulphurea, Coelogyne exalata, Coelogyne incrassata, Eria leiophylla, Spathoglottis plicata, dan Thecostele alata. Hari itu kebetulan mereka jumpai mekar di antara semak dan bebatuan.

Sebaran anggrek di Kalsel
Titik Sundari, Koordinator Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Kalsel, mengatakan, berdasarkan sebaran, di seluruh dunia ada sekitar 850 genus dan 25.000 spesies anggrek.
Di Indonesia, lebih 5.000 spesies, dan di Kalimantan tercatat sekitar 2.500-3.000 jenis.
“Kalimantan Selatan, data dari BKSDA Kalsel mencatat sekitar 252 spesies anggrek alam yang ditemukan. Jumlah sebenarnya bisa lebih banyak dari itu,” katanya, seraya bilang,
berdasarkan data BKSDA, 1980-2024.
Anggrek di Kalsel banyak di hutan konservasi Pegunungan Meratus, yang membentang dari utara hingga bagian selatan.
Di Cagar Alam Gunung Kentawan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, misal, tercatat sekitar 29 spesies anggrek tanah yang tumbuh di kawasan karst.
Ada juga di Kabupaten Tabalong, perbatasan Kalimantan Tengah. Jenis itu tumbuh di ekosistem hutan kerangas, yaitu, tanah yang sangat miskin unsur hara, berwarna putih, dan mudah terbakar.
Selain itu anggrek juga tumbuh di dataran rendah, seperti di ekosistem hutan mangrove di Cagar Alam Teluk Kelumpang, Selat Laut, dan Selat Sebuku yang berada di Kabupaten Kotabaru.
Anggrek juga ada di Tahura Sultan Adam seluas 113.617 hektar, termasuk wilayah yang menjadi lokasi tim konservasi anggrek hari itu.
Mengacu Peraturan Menteri LHK Nomor P.106/2018, sampai saat ini sedikitnya ada 28 spesies anggrek dari famili Orchidaceae yang dilindungi.
Tiga terdapat di Kalsel, yaitu, Paphiopedilum kolopakingii (kasut Kolopaking), Paphiopedilum liemianum (kasut Liem), dan Paphiopedilum supardii (kasut Supardi) juga masuk dalam kategori Apendiks I.

Spesies yang hilang
Arinda Dian Susanti, Ketua DPD Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI) Kalsel, mengatakan, spesies Paraphalaenopsis denevei dulu pernah ada di Kalimantan Selatan. Sayangnya, jenis anggrek ini dianggap hilang karena sudah lama tidak pernah terlihat.
“Itu dulu diyakini berasal dari Kalimantan Selatan, sekarang sudah benar-benar menghilang dari Indonesia,” katanya.
Berdasarkan informasi yang Arinda dengar dari para kolektor, Paraphalaenopsis denevei justru ada di Ekuador, Amerika Selatan.
“Jadi, mungkin ada satu klan yang waktu itu sempat diselamatkan, lalu dikembangbiakkan lagi lewat kultur jaringan.”
Dia katakan, penting kegiatan identifikasi anggrek di alam liar, mengingat masih ada sejumlah spesies sampai sekarang mungkin belum terdaftar dan terdokumentasikan dengan baik.
Menurut dia, langkah ini bisa untuk mengetahui sebaran dan kondisi habitat alami anggrek agar upaya pelestarian bisa lebih tepat.
Namun, katanya, menelusuri anggrek di alam liar bukan perkara mudah. Upaya, kerap berpacu dengan berbagai tantangan, mulai dari alih fungsi lahan, kerusakan habitat, hingga maraknya perburuan anggrek yang biasa disebut hunter.
Belum lagi dampak perubahan iklim yang perlahan mengubah kondisi lingkungan alami tempat anggrek tumbuh, hingga berpengaruh besar terhadap kelestariannya di hutan.
“Anggrek sangatlah sensitif, ia tidak mengenal musim, terapi bisa dijadikan tolak ukur sebagai indikator biologis yang dapat memberikan sinyal awal adanya gangguan pada ekosistem di sekitarnya.”
Kalau populasi menurun, katanya, sudah patut curiga sebagai pertanda ada masalah pada lingkungan. “Bisa karena deforestasi atau polusi.”

Anggrek, serangga, saling bergantung
Nove Arisandi, penulis buku “Pesona Anggrek sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu” menyebut, di alam anggrek memiliki hubungan simbiosis mutualisme dengan serangga.
Sebab, tumbuhan ini biasa tidak dapat melakukan penyerbukan sendiri, hingga perlu bantuan serangga untuk memindahkan serbuk sari dari satu bunga ke bunga lain.
Sebaliknya, serangga mendapatkan manfaat berupa nektar atau serbuk sari dari bunga anggrek. Hubungan timbal balik ini memperlihatkan peran penting anggrek dalam menjaga siklus kehidupan di hutan.
Tumbuhan anggrek juga masuk kategori sebagai plasma nutfah, yakni, sumber daya genetik yang menjadi bagian dari kekayaan hayati hutan. Keberadaannya memperkaya keanekaragaman spesies sekaligus mendukung keseimbangan ekologis.
“Anggrek menjadi indikator kesehatan ekosistem hutan. Jika anggrek masih tumbuh alami, berarti kondisi hutan di sekitarnya masih terjaga,” katanya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2007, anggrek termasuk salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK). Ia hasil hutan hayati dari hutan selain kayu, seperti getah, buah, bunga, atau tumbuhan lain yang memiliki sifat khusus.
Beberapa jenis anggrek hutan yang tercatat antara lain Bulbophyllum spp, Coelogyne spp, dan Dendrobium spp. Jenis-jenis ini tumbuh alami di hutan tropis dan berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
“Saya meyakini anggrek di alam tidak bertambah, tetapi berkurang!”

Makin terancam
Raden Rafiq Sepdian Fadel Wibisono, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, memprediksi, hutan di Kalimantan Selatan terus mengalami penyusutan.
Dari luas provinsi sekitar 3,7 juta hektar, hutan tersisa di Kalsel hanya 1.652.620,73 hektar. Alih-alih bertambah, sepanjang 2023-2024, tercatat terjadi deforestasi seluas 146.956,8 hektar, yang menunjukkan alih fungsi hutan masif untuk kepentingan industri.
Dari luas wilayah itu, 51,57% daratan juga sudah dikuasai perusahaan melalui berbagai izin, seperti perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH), izin usaha pertambangan (IUP), dan hak guna usaha (HGU).
Kondisi ini, katanya, turut mengancam kelestarian ekosistem seperti kawasan pegunungan Meratus yang dikenal sebagai pusat sebaran spesies anggrek terbanyak.
Sebab, berdasarkan catatan WALHI, izin tambang mineral dan batubara (minerba) di Kalsel juga sudah mencapai 51.644,80 hektar, dengan 4.301,78 hektar diantaranya terbuka akibat aktivitas tambang. Selain itu, terdapat pula 95.201,47 hektar izin Hutan Tanaman Industri (HTI).
“Pelebaran izin industri di kawasan hutan membuat habitat anggrek di lereng Meratus terdesak dan tentu saja dapat mengancam kelestariannya,” ujar Raden.
Belum lagi, dari informasi terbaru, sekarang ada sekitar 230 tambang tanpa izin berada di dalam maupun luar kawasan Meratus yang jelas-jelas tidak memperhatikan kaidah lingkungan.
“Penegakan hukum baru berjalan setelah ada desakan publik, itu pun hanya menyasar level bawah. Tidak pernah ada upaya untuk menelusuri aktor di balik semua ini. Jadi, mustahil aparat tidak tahu.”
*****
Kepulauan Malut, Tempatnya Beragam Jenis Anggrek yang Perlu Diteliti