- Kelurahan Rua di Kota Ternate, menjadi spot paling rawan terhadap bencana di Maluku Utara (Malut). Selama tujuh tahun terakhir, bencana kerap terjadi hingga menelan banyak korban. Topografi wilayah yang berupa perbukitan kerap membuat warga waswas. Apalagi saat musim hujan tiba.
- Abdul Kadir Arif, Ketua Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Malut menjelaskan, banjir yang terjadi di Kelurahan Rua berkaitan dengan kondisi geologi setempat. Daerah Rua, kata Arif, termasuk area gunung aktif Gamalama tua. Daerah ini kerap mendapat kiriman material vulkanik hasil letusan gunung.
- A Bahruddin, anggota Komisi C DPRD Ternate menilai, kebijakan pembangunan sejauh ini belum mencerminkan kebijakan yang responsif terhadap bencana. Rendahnya kesadaran warga akan daerah rawan meningkatan ancaman terhadap dampak bencana. Daerah-daerah yang seharusnya bebas dari bangunan karena rawan bencana, justru marak bangunan.
- Fery Hamdani Eolley, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), mengatakan, dokumen risiko bencana masih dalam proses pembahasan. Dia memastikan untuk mensosialisasikan dokumen tersebut setelah final nanti. Namun demikian, pihaknya senantiasa mengingatkan kepada warga untuk meningkatkan kewaspadaan tatkala terjadi cuaca buruk.
Hari jelang sore ketika Salma M Arif dan suaminya, Ongen Ramli berada di luar rumah, Rabu (17/9/25). Langit terlihat mendung meski, seharian tak juga turun hujan. Tiba-tiba saja, teriakan warga untuk mengungsi mengejutkan pasangan yang tinggal di Kelurahan Rua, Kecamatan Pulau Ternate, ini.
Saat itu, volume air yang mengalir di barangka atau kalimati menunjukkan peningkatan. “Memang di kampung tidak hujan. Tapi tetap saja, kalau di daerah puncak atau hulu hujan lebat, air yang masuk barangka sangat banyak, bahkan bisa meluap ke permukiman warga,” kata Ongen.
Lebih khawatir lagi, luapan sungai yang dulu menjadi jalur lahar dari Gunung Gamalama itu juga membawa material pasir dan batu. Dengan tempat tinggalnya yang hanya berjarak sekitar 15 meter dari bibir sungai, Ongen tentu khawatir. Terlebih, tahun lalu, luapan sungai sebabkan banjir besar hingga merenggut korban jiwa.
“Teriakan warga itu torang (kami) panik. Trauma dengan banjir di kelurahan ini, bahkan menimbulkan korban jiwa tidak sedikit seperti pada 2024 lalu,” kata Salma, yang Mongabay temui di rumahnya belum lama ini.
RIfandi B Lutfi, tetangga Salma ungkapkan kecemasan sama. Sore itu, dia tengah menjaga kios di tepi jalan raya. Dia pun tak menyangka sungai yang sebelumnya tenang tiba-tiba meluapkan air bah. Padahal, di kampungnya, hujan sedang tidak turun.
Rumah Rifandi berjarak kurang lebih 20 meter dari kali mati terlihat sudah banjir dengan suara air dan material batu pasir yang terbawa. Demi menghindari hal yang tak dia inginkan, Rifandi mengajak keluarganya mengungsi.
”Trauma dengan banjir yang pernah terjadi.”
Celakanya, banjir pada 17 September itu kembali terulang dua hari kemudian. Aroma belerang begitu menyengat bersamaan dengan derasnya aliran air di kalimati. Menurut Fandi, itu mengindikasikan ada material dari Gunung Gamalama yang terbawa banjir.

Rawan bencana
Kelurahan Rua, memang rawan banjir dan longsor saat hujan karena topografi berupa perbukitan. Rumah- rumah warga berjajar di antara lereng-lereng bukit. Jalur-jalur kalimati yang melintas dari area belakang hingga pertengahan kampung meningkatkan ancaman akan terjadinya banjir tatkala air tak lagi tertampung. Apalagi, posisi kalimati berada di area yang lebih tinggi dengan rumah-rumah penduduk.
Fandi menyebut, ada sekitar delapan kalimati yang selama ini menjadi sumber banjir di kampungnya. Satu berukuran cukup besar. Kali-kali itu dulu merupakan jalur lahar saat Gunung Gamalama meletus.
“Kalau kami hitung, dari yang besar sampai yang kecil, itu ada delapan kalimati. Dan itu terhubung ke puncak gunung.”
Tidak mengherankan bila kelurahan ini begitu lekat dengan bencana banjir. Bahkan, selama tujuh tahun terakhir, banjir selalu terjadi setiap tahun.
Pada 23 September 2017, misal, terjadi banjir akibat luapan kalimati Akemalako di RT 4. Sebanyak 52 bangunan rusak parah, termasuk satu sekolah dasar, kantor kelurahan dan Gedung Waserda.
Pada 1 juli 2020 terjadi lagi banjir di lokasi sama karena hujan deras selama dua jam lebih mengakibatkan puluhan rumah terendam. Kejadian paling memilukan Minggu (25/8/24) sekira pukul 03.30 WIT. Banjir bandang terjadi saat warga tengah tertidur lelap hingga banyak menelan korban jiwa.
Data dari Stasiun Meteorologi Sultan Baabullah Ternate waktu itu, menunjukkan intensitas curah hujan capai 75 mm. RT01/RW01 menjadi area paling terdampak karena terapit dua kalimati, yakni, ke Rua 1 dan Ake Rua 2. Kedua sungai ini membawa material pasir dan batu dari puncak dan memuntahkan ke permukiman dengan posisi lebih rendah.
Deretan rumah di bantaran sungai pun hancur dan tertutup lumpur hingga setebal satu meter lebih. Total 19 orang tewas . Tak heran, saat banjir melanda 19 September 2025, trauma kembali menghantui warga. “Warga selalu waswas kalau terjadi hujan deras di puncak,” jelas Fandi.
Abdul Kadir Arif, Ketua Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Malut menjelaskan, banjir di Kelurahan Rua berkaitan dengan kondisi geologi setempat. Daerah Rua, katanya, termasuk gunung aktif Gamalama tua. Daerah ini kerap mendapat kiriman material vulkanik hasil letusan gunung.
Menurut dia, banjir bandang itu terjadi karena daerah hulu tak mampu lagi menampung atau menahan beban material vulkanik tatkala hujan. Material itu yang kemudian masuk ke sungai-sungai bersamaan aliran air hingga memicu banjir bandang.

Zona bencana dalam RTRW
Sejatinya, Pemerintah Kota (Pemkot) Ternate telah memasukkan wilayah-wilayah yang miliki kerentanan terhadap bencana ke dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Pada Pasal 20 huruf f, misal, Pemkot mengklasifikasikan ancaman bencana di Ternate ke dalam beberapa kategori, yaitu, rawan bencana gempa, tanah longsor, gelombang pasang dan tsunami, rawan banjir, serta gunung api.
Berdasar dokumen RTRW itu, rawan bencana gempa itu meliputi seluruh wilayah kota, kemudian rawan longsor meliputi Pulau Ternate dengan luas 40,58 hektar dan Pulau Hiri seluas 6,4 hektar.
Kawasan ancaman gelombang pasang dan tsunami mencakup Kecamatan Ternate Utara, Tengah, Selatan, Pulau Ternate, Kecamatan Pulau Hiri, Kecamatan Moti dan Kecamatan Pulau Batang Dua.
Kawasan rawan banjir meliputi Kelurahan Mangga Dua, Kelurahan Bastiong Talangame, Kelurahan Bastiong Karance, Kelurahan Gamalama, Kelurahan Jati, Kelurahan Santiong. Sedangkan kawasan rawan bencana gunung api mencakup kategori rawan II dengan total luas 1.525,18 hektar; rawan III seluas 1.121,58 hektar.
Arif akui, dokumen RTRW telah mengakomodir peta kerawanan Ternate terhadap bencana tetapi dokumen tak ubahnya tulisan di atas kertas. Kenyataannya, sosialisasi kepada warga minim pemerintah lakukan. Padahal, dokumen bisa menjadi bekal warga untuk meningkatkan kapasitas sebagai upaya mitigasi dan adaptasi.
“Pemerintah baru memberi perhatian ketika terjadi kejadian bencana dengan dampak yang besar.”
Karena itu, dia mendorong Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk lebih proaktif dan serius memberi perhatian terhadap isu kebencanaan. “Tidak perlu menunggu setelah kejadian.”
A Bahruddin, anggota Komisi C DPRD Ternate menilai, kebijakan pembangunan sejauh ini belum mencerminkan kebijakan yang responsif terhadap bencana. Rendahnya kesadaran warga akan daerah rawan meningkatan ancaman terhadap dampak bencana. Daerah-daerah yang seharusnya bebas dari bangunan karena rawan bencana, justru marak bangunan.
“Karena warga tidak tahu, akhirnya masyarakat membangun rumah di kawasan yang potensi bencananya sangat tinggi,” katanya.
Dia mendesak, pemerintah lebih serius melakukan sosialisasi kepada warga.
“Ini masalah serius. Karena akar masalahnya dari situ.”
Fery Hamdani Eolley, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), mengatakan, dokumen risiko bencana masih dalam proses pembahasan. Dia akan sosialisasikan dokumen setelah final nanti. Namun, mereka senantiasa mengingatkan kepada warga untuk meningkatkan kewaspadaan tatkala cuaca buruk.
*****
Tulisan ini didukung oleh SIEJ dalam fellowship Road to COP 30. Liputan ini fokus pada dampak perubahan iklim yang terjadi di tingkat tapak.
Banjir Bandang Ternate: Puluhan Korban Jiwa, Pencarian Masih Berlangsung