- Sebuah studi terbaru terhadap 183 fosil tulang punggung di Venezuela mengungkap bahwa anakonda telah mencapai ukuran raksasa sekitar 4 hingga 5 meter sejak 12,4 juta tahun lalu dan mempertahankan dimensi tersebut hingga kini.
- Berbeda dengan megafauna lain seperti buaya dan kura-kura raksasa yang punah akibat pendinginan suhu global, anakonda terbukti "super resilien" dengan bertahan hidup tanpa mengalami penyusutan ukuran tubuh.
- Temuan ini mematahkan anggapan bahwa suhu purba yang lebih hangat memicu ukuran tubuh yang lebih besar, melainkan justru membantu anakonda memperluas wilayah jelajahnya di habitat lahan basah yang mendukung kelangsungan hidup mereka.
Anakonda dikenal sebagai salah satu predator terbesar dan paling ikonik di ekosistem perairan tropis, namun asal-usul ukuran raksasa mereka selama ini masih menjadi teka-teki bagi para ilmuwan. Sebuah penemuan terbaru dari fosil yang digali di Venezuela akhirnya menyingkap tabir evolusi ular ini. Studi yang dipimpin oleh peneliti dari University of Cambridge menunjukkan bahwa anakonda ternyata telah mencapai ukuran tubuh masifnya, yakni sekitar empat hingga lima meter, sejak 12,4 juta tahun yang lalu dan secara menakjubkan mempertahankan dimensi tersebut hingga hari ini tanpa perubahan signifikan.
Temuan ini menempatkan anakonda sebagai penyintas yang luar biasa di tengah sejarah kepunahan megafauna Amerika Selatan. Pada periode Miosen, benua tersebut dihuni oleh berbagai reptil kolosal, seperti buaya Purussaurus sepanjang 12 meter dan kura-kura air tawar seukuran mobil. Namun, ketika pendinginan suhu global dan perubahan habitat memusnahkan sebagian besar raksasa tersebut, anakonda (genus Eunectes) justru menunjukkan ketangguhan evolusioner atau “super resilien”. Mereka tidak menyusut ataupun punah, melainkan bertahan sebagai garis keturunan bertubuh besar yang melintasi berbagai zaman.

Riset yang dipublikasikan dalam Journal of Vertebrate Paleontology pada awal Desember 2025 sekaligus mematahkan asumsi lama bahwa suhu purba yang lebih hangat pasti memicu pertumbuhan ular menjadi jauh lebih besar daripada kerabat modernnya. Analisis mendalam terhadap 183 fosil tulang punggung membuktikan fakta sebaliknya: alih-alih tumbuh menjadi monster yang lebih besar akibat suhu panas, anakonda purba justru memanfaatkan iklim tersebut untuk memperluas wilayah jelajahnya, sembari tetap menjaga konsistensi ukuran tubuh di tengah habitat lahan basah yang dinamis.
Bukti dari Ratusan Tulang Punggung
Kesimpulan studi ini tidak diambil secara tergesa-gesa. Tim peneliti melakukan analisis morfometri presisi terhadap 183 fosil tulang punggung (vertebrae) yang mewakili setidaknya 32 individu ular berbeda. Fosil-fosil berharga ini ditemukan di formasi geologi Negara Bagian Falcón, Venezuela, dan merupakan hasil kerja keras pengumpulan data selama beberapa musim lapangan oleh kolaborator dari University of Zurich serta Museo Paleontológico de Urumaco.
Struktur anatomi ular menjadi kunci dalam penelitian ini. Mengingat anakonda memiliki lebih dari 300 ruas tulang belakang, ukuran satu ruas fosil saja dapat menjadi indikator yang sangat andal untuk memproyeksikan panjang total tubuh ular tersebut. Ketika data pengukuran ini disandingkan dengan catatan fosil dari situs-situs lain di Amerika Selatan, tim menyimpulkan fakta yang konsisten: anakonda purba memiliki panjang rata-rata empat hingga lima meter.

Angka ini sejajar dengan ukuran anakonda hijau modern, yang meski dalam kasus langka bisa mencapai tujuh meter, umumnya berada di kisaran tersebut. Andrés Alfonso-Rojas, peneliti dari University of Cambridge dan penulis utama studi ini, mengakui temuan ini menantang hipotesis awal mereka.
“Ini adalah hasil yang mengejutkan karena kami awalnya berharap menemukan anakonda purba dengan panjang tujuh atau delapan meter,” ujar Alfonso-Rojas. “Tetapi kami tidak menemukan bukti adanya ular yang lebih besar dari zaman Miosen, bahkan ketika suhu global saat itu jauh lebih hangat.”
Bertahan Saat Raksasa Lain Tumbang
Periode antara 12,4 hingga 5,3 juta tahun lalu, yang dikenal sebagai Miosen Tengah hingga Atas, bisa disebut sebagai “zaman keemasan” bagi reptil raksasa. Iklim bumi yang lebih hangat menciptakan lahan basah yang luas dengan sumber makanan melimpah, memicu evolusi tubuh super-besar pada banyak spesies.
Namun, kejayaan itu runtuh ketika iklim global mulai mendingin. Perubahan ini menjadi lonceng kematian bagi megafauna lain. Predator puncak seperti Purussaurus (buaya caiman sepanjang 12 meter) dan Stupendemys (kura-kura air tawar dengan cangkang lebih dari 3 meter) gagal beradaptasi dan akhirnya punah seiring menyusutnya habitat mereka.
“Spesies lain seperti buaya raksasa dan kura-kura raksasa punah, mungkin karena suhu mendingin dan habitat menyusut. Namun, anakonda raksasa bertahan, mereka sangat tangguh (super-resilient),” tambah Alfonso-Rojas.

Studi ini menyoroti bahwa kunci ketangguhan anakonda terletak pada fleksibilitas mereka dalam memanfaatkan habitat lahan basah yang tersisa. Peta vegetasi zaman purba menunjukkan bahwa Amerika Selatan bagian utara saat itu sangat mirip dengan Cekungan Amazon modern. Meskipun sebarannya kini lebih sempit, ekosistem tersebut masih menyediakan mangsa yang sama—seperti ikan dan kapibara—yang memungkinkan anakonda mempertahankan ukuran raksasanya melintasi perubahan zaman.
Untuk memastikan akurasi temuan fosil tersebut, Alfonso-Rojas juga menggunakan metode pemodelan silsilah keluarga.

Ia membandingkan pohon kekerabatan ular modern, seperti boa pohon dan boa pelangi,untuk melacak jejak evolusi nenek moyang mereka. Analisis ini mengonfirmasi temuan fisik pada fosil: anakonda memang sudah berevolusi menjadi besar tak lama setelah kemunculan pertama mereka di Amerika Selatan sekitar 12,4 juta tahun lalu.
Meskipun sebaran geografis mereka kini telah menyusut dibandingkan jutaan tahun lalu, habitat lahan basah yang tersisa masih cukup untuk mendukung kehidupan predator puncak ini. Temuan ini menegaskan pentingnya konservasi lahan basah untuk menjaga garis keturunan purba yang telah berhasil melintasi berbagai zaman.