- Masyarakat sipil menilai hasil COP30 di Belém, Brasil, mengecewakan. Meski konferensi iklim yang berakhir 22 November itu menghasilkan dokumen bertajuk Global Mutirão: Uniting humanity in a global mobilization against climate change, namun isinya masih kurang ambisius.
- Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, mengatakan COP30 berakhir tanpa peta jalan yang nyata untuk mengakhiri penggunaan bahan bakar fosil. Delegasi Indonesia yang Hashim Djojohadikusumo pimpin pun tidak aktif mendorong peta jalan itu.
- Torry Kuswardono, Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (Aruki), menyebut, COP30 memupus harapan peta jalan yang lebih konkret untuk mengakhiri era bahan bakar fosil. Padahal, penghapusan bahan bakar fosil menjadi agenda utama dalam perundingan COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab.
- Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut COP30 memberikan titik terang bagi masyarakat adat. Dokumen UAE Just Transition Work Programme versi 18 November 2025 mengakui hak masyarakat adat.
Masyarakat sipil menilai hasil COP30 di Belém, Brasil, mengecewakan. Meski konferensi iklim yang berakhir 22 November itu menghasilkan dokumen bertajuk Global Mutirão: Uniting humanity in a global mobilization against climate change, isinya masih kurang ambisius.
Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, mengatakan, COP30 berakhir tanpa peta jalan nyata untuk mengakhiri penggunaan bahan bakar fosil. Delegasi Indonesia yang Hashim Djojohadikusumo pimpin pun tidak aktif mendorong peta jalan itu.
Alih-alih mendorong, Indonesia justru sibuk jualan karbon di paviliun yang mendapat sponsor perusahaan pencemar.
“Ini seperti membuang muka dari penderitaan masyarakat di tanah air yang menanggung dampak krisis iklim dan kerusakan lingkungan hidup akibat aktivitas industri pencemar,” katanya.
Indonesia pun tidak bergabung dengan koalisi lebih dari 80 negara yang mendesak peta jalan penghapusan bahan bakar fosil secara berkala itu. The Guardian menyebut 80 negara Afrika, Asia, Amerika Latin, Pasifik, dan Eropa mendesak peta jalan transisi energi fosil menjadi hasil utama COP30. Desakan itu gagal.
Dokumen akhir COP30 tidak memuat peta jalan itu. Laporan The Guardian menyatakan, negara produsen dan pengguna bahan bakar fosil, seperti Arab Saudi, Rusia, Iran, Bolivia, hingga India, menentang komitmen ini.
Dokumen Global Mutirao yang rilis Jumat pagi waktu Brasil tidak menyatakan tegas fase-keluar dari bahan bakar fosil, hanya menyarankan negara-negara dunia melakukan transisi energi. Artinya, tidak ada kewajiban atau paksaan yang mengikat.
Torry Kuswardono, Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (Aruki), mengatakan, COP30 memupus harapan peta jalan yang lebih konkret untuk mengakhiri era bahan bakar fosil. Padahal, penghapusan bahan bakar fosil menjadi agenda utama dalam perundingan COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab.
Dia pun kecewa Indonesia tidak masuk dalam negara yang mendeklarasikan kesepakatan bersama menghapus penggunaan bahan bakar fosil. Kalah progresif dari Belanda dan Kolombia yang bahkan sepakat jadi tuan rumah Konferensi Internasional Pertama tentang Transisi Adil dari Bahan Bakar Fosil pada 2026.
“Indonesia adalah negara kepulauan yang rentan. Semakin menunda penurunan emisi dari energi fosil, artinya kita hanya memperpanjang penderitaan kelompok-kelompok rentan di Kepulauan Indonesia,” katanya dalam keterangan tertulis.
Reputasi Indonesia di mata dunia makin hancur karena mendapat anugerah Fossil of the Day dari Climate Action Network (CAN). Lantaran membawa 46 pelobi bahan bakar fosil sebagai delegasi negara.
Iqbal Damanik, Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menyebut, pemerintah harusnya menanggapi serius anugerah satir itu dengan aksi nyata keluar dari industri fosil.
“Salah satunya dengan mengakhiri penggunaan batubara. tanpanya,komitmen transisi energi Indonesia akan sia-sia.”
Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.

Nihil komitmen setop deforestasi
Dokumen akhir COP30 juga tidak memuat kesepakatan penghentian deforestasi untuk mencapai target aksi iklim melalui perlindungan hutan serta keanekaragaman hayati.
Rayhan Dudayev, Ketua Tim Politik untuk Kampanye Solusi Hutan Greenpeace Global menyoroti sikap Indonesia yang tidak terlibat aktif mendorong ketentuan untuk menyetop pembabatan hutan dalam kesepakatan. Padahal, sejumlah negara yang memiliki hutan tropis telah mengupayakan hal itu.
“Sikap Indonesia di meja perundingan dan hasil dari konferensi iklim ini menjadi kabar mengecewakan bagi masyarakat adat yang berjuang menjaga hutan dari penghancuran oleh industri maupun atas nama proyek pemerintah,” katanya.
Di lapangan, perampasan lahan dan hutan adat kerap terjadi, seperti di Papua, Masyarakat Adat Yei-Nan dan Malind di Merauke, berjibaku mempertahankan tanah dan hutan adat mereka dari proyek food estate tebu dan cetak sawah.
Veni Siregar, Koordinator Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mempertanyakan komitmen dunia, khusus Indonesia, dalam memastikan kelestarian ekologis. Nihilnya konsensus peta jalan penghentian deforestasi membuktikan lemahnya komitmen pelestarian ekologis dalam pertemuan iklim global itu.
Padahal, pembalakan hutan sangat berdampak pada masyarakat adat yang hingga kini terus tersingkir dari ruang hidupnya.
“Masyarakat adat akan mengalami serangkaian dampak kriminalisasi, perampasan lahan dan kehilangan ruang hidup.”
Karena itu, dia dorong pemerintah segera sahkan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang puluhan tahun mandek.
Maikel Peuki, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Papua, mengatakan, komitmen iklim Indonesia di forum internasional kerap tak sejalan dengan praktik di lapangan. Di bumi cendrawasih, sejak awal tahun ini, deforestasi hutan alam terus terjadi.
Pembabatan hutan skala besar itu, demi perluasan kebun kelapa sawit, pertambangan, hingga proyek strategis nasional (PSN). Masyarakat adat, katanya, lagi-lagi jadi yang paling terdampak.
“Hutan bukan sekadar pohon atau sumber daya, melainkan bagian integral dari identitas, budaya, dan sumber kehidupan yang bernilai spiritual mendalam.”
Menurut dia, hutan papua yang lenyap akan turut menghilangkan sumber mata pencaharian dan pangan masyarakat adat. Juga, mengancam kesehatan mereka yang tinggal di sekitar.
Deforestasi juga merusak ekosistem hutan, habitat flora, dan fauna endemik Papua yang selama ini masyarakat adat jaga dan manfaatkan secara berkelanjutan.
“Penghancuran hutan berarti penghancuran ingatan dan identitas suku.”

Pengakuan hak masyarakat adat
Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut COP30 memberikan titik terang bagi masyarakat adat. Dokumen UAE Just Transition Work Programme versi 18 November 2025 mengakui hak masyarakat adat.
“Secara eksplisit menyebutkan referensi pengakuan hak kolektif masyarakat adat atas FPIC (free, prior, informed consent). Juga penentuan nasib sendiri dan perlindungan masyarakat adat yang hidup mengisolasi diri secara sukarela,” katanya.
Lahir juga Intergovernmental Land Tenure Commitment in Tropical Forest Countries dalam COP30. Negara yang memiliki hutan tropis, termasuk Indonesia, menandatangani komitmen ini untuk mempercepat pengakuan, perlindungan, dan penetapan hak tenurial atas tanah dan wilayah hutan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal.
Komitmen ini, katanya, menargetkan pengakuan wilayah adat di 160 juta hektar hutan. Ia meliputi 11 negara penandatangan, Brasil, Kosta Rika, Kolombia, Kongo, Ekuador, Fiji, Ghana, Indonesia, Pakistan, Tanzania, dan Nigeria.
“Khusus Indonesia, pemerintah berkomitmen menetapkan 1,4 juta hektar hutan adat. Komitmen ini perlu dikawal terus agar pemerintah segera menandatangani Surat Keputusan (SK) Hutan Adat.”

Janji aksi tak hanya komitmen?
Sedangkan pemerintah dengan delegasi Indonesia yang dipimpin Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) dalam keterangan tertulis kepada media menyatakan, keputusan COP30 harus jadi fondasi aksi global, bukan sekadar kompilasi komitmen politik.
Indonesia menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah Brasil dan Sekretariat UNFCCC, seraya menyatakan, COP30 menjadi tonggak penting memperkuat ambisi ke aksi.
Delegasi Indonesia menilai, keberhasilan konferensi tidak lagi ditentukan banyaknya keputusan yang diadopsi, melainkan kemampuan dunia untuk memastikan implementasi terukur, adil, dan menyeluruh.
“Implementasi tanpa dukungan nyata adalah retorika. Kami menuntut pendanaan hibah, transfer teknologi, dan mekanisme adil agar negara berkembang dapat menerjemahkan komitmen menjadi aksi di lapangan,” kata Ary Sudijanto, Deputi Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLH/BPLH, dalam rilis.
Indonesia menyoroti sejumlah capaian dan prioritas selama COP30. Pada isu global goal on adaptation (GGA), Indonesia menegaskan komitmen mempercepat implementasi indikator adaptasi yang sederhana, terukur, dan fleksibel sesuai kondisi nasional. Indikator GGA, tak boleh menjadi beban administratif bagi negara berkembang.
Untuk agenda just transition, Indonesia nyatakan, transisi menuju ekonomi rendah karbon harus bersifat adil, tak menambah beban utang, dengan dukungan hibah yang dapat diprediksi.
Bersama G77 and China, Indonesia terus mendorong pembentukan UNFCCC Just Transition Mechanism agar tidak terjadi tindakan unilateral yang merugikan negara berkembang.
Untuk bidang pendanaan, Indonesia menyerukan reformasi arsitektur keuangan internasional guna memastikan dukungan yang dapat diprediksi, berbasis hibah, dan tidak membebani negara berkembang.
Indonesia kembali menegaskan target pembiayaan iklim global US$1,3 triliun per tahun pada 2035, termasuk US$300 miliar khusus untuk negara berkembang. Juga, mendesak tripling pembiayaan adaptasi menuju 2030 untuk mencapai sedikitnya US$120 miliar per tahun.
Hanif Faisol Nurofiq, Menteri LH/Kepala BPLH, mengatakan, kesiapan bekerja secara konstruktif untuk memastikan mobilisasi pembiayaan, teknologi, dan kapasitas dapat terwujud secara efektif.
Keputusan COP30, katanya, harus jadi pijakan kuat bagi aksi nyata yang melindungi masyarakat. “Memperkuat ketahanan nasional, dan memastikan transisi menuju pembangunan rendah karbon berlangsung secara adil, inklusif, dan berkelanjutan tanpa ada pihak yang tertinggal.”

*****