- Hutan mangrove Lantebung di pesisir Kota Makassar, Sulawesi Selatan, terjaga dengan baik. Pada penghujung Oktober lalu, berbagai kalangan datang ke sini untuk bersama-sama merawat dan menjaga kawasan pesisir timur Kota Makassar ini dengan menanam sekitar 5.000 bibit mangrove.
- Rehabilitasi mangrove di Lantebung dalam beberapa tahun terakhir menggunakan pendekatan Ecological Mangrove Restoration (EMR), yang menitikberatkan pada perbaikan kondisi ekologis agar mangrove dapat tumbuh alami, bukan sekadar penanaman massal.
- Kawasan ini tidak hanya menjadi lokasi rehabilitasi, tetapi juga ruang belajar bagi banyak pihak. Mahasiswa dari berbagai kampus di Makassar sering datang untuk melakukan penelitian atau kegiatan lapangan.
- Upaya rehabilitasi mangrove di Lantebung menjadi penting di tengah tantangan degradasi akibat pembangunan. Kawasan ini telah menjadi penyangga alami bagi ekosistem pesisir Makassar, sekaligus ruang pembelajaran bersama tentang pentingnya keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan.
Lumpur pesisir Lantebung tampak hidup, Kamis (30/10/25). Di antara akar-akar mangrove yang menjulur di permukaan air, puluhan orang sibuk menanam bibit muda. Sebagian menancapkan batang Rhizophora mucronata, sebagian lagi memeriksa genangan air dan menandai titik-titik tanam.
Mereka datang untuk menjaga dan merawat pesisir timur Kota Makassar dengan menanam sekitar 5.000 bibit mangrove di area setengah hektar.
Dari jumlah itu, 3.000 untuk tanam baru, sisanya penyulaman. Jenis mangrove meliputi Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, dan Avicennia officinalis.
Aksi tanam mangrove ini libatkan sejumlah pihak, seperti Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati), Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, Jaringan Ekowisata Mangrove Lantebung (Jekomala), Ikatan Keluarga Lantebung (IKAL), serta masyarakat pesisir setempat. Ada juga perwakilan PT Sankyu Internasional Indonesia (SII).
Rony Megawanto, Direktur Program Yayasan Kehati, mengatakan, kawasan mangrove Lantebung area terakhir yang masih bertahan di pesisir Makassar.
“Mangrove di Makassar telah berkurang. Kawasan ini salah satu wilayah terakhir yang berhasil masyarakat pertahankan. Upaya rehabilitasi seperti ini bukan hanya menambah vegetasi, tetapi juga memulihkan fungsi ekologis sebagai pelindung alami pesisir dan penyerap karbon,” katanya.
Menurut dia, kemampuan mangrove dalam menyerap karbon lima kali lebih besar dibanding hutan daratan hingga berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim.
Selain itu, ekosistem mangrove juga melindungi masyarakat pesisir dari abrasi dan gelombang tinggi, serta menjadi habitat bagi berbagai biota laut seperti kepiting, ikan, dan burung migran.

Nirwan Dessibali, Direktur Eksekutif YKL Indonesia, menjelaskan, Lantebung kini berkembang menjadi situs belajar rehabilitasi mangrove bersama masyarakat.
“Kami tidak hanya menanam, tetapi juga melakukan pemantauan dan perawatan rutin oleh fasilitator lokal,” katanya.
YKL terapkan pendekatan yang dia sebut sebagai Ecological Mangrove Restoration (EMR). Pendekatan ini menitikberatkan pada perbaikan kondisi ekologis agar mangrove dapat tumbuh alami, bukan sekadar penanaman massal.
Di Lantebung, YKL bersama Kelompok Masyarakat Jekomala melakukan survei lapangan untuk memahami karakter tanah, salinitas, serta pola pasang surut. Dari situ mereka menentukan area yang sesuai untuk pertumbuhan mangrove alami.
Kawasan ini tidak hanya menjadi lokasi rehabilitasi, juga ruang belajar bagi banyak pihak. Mahasiswa dari berbagai kampus di Makassar sering datang untuk melakukan penelitian atau kegiatan lapangan, termasuk sekolah-sekolah yang ada kota ini.
“Lantebung telah berkembang menjadi situs belajar rehabilitasi mangrove yang dikelola bersama masyarakat,” kata Nirwan.
Kegiatan ini, katanya, juga membuka peluang ekonomi baru bagi warga melalui ekowisata mangrove, produk olahan hasil hutan mangrove, dan pelatihan konservasi berbasis masyarakat.
Bagi Nirwan, keterlibatan SII dalam kegiatan ini menambah optimisme bagi keberlanjutan kawasan mangrove di Makassar, di tengah berbagai tantangan yang ada. “Keterlibatan berbagai pihak, termasuk pihak swasta memberi harapan baru akan masa depan mangrove di Makassar.”
Dedi Mufdi, Direktur SII katakan, keikutsertaanya dalam kegiatan itu merupakan bagian dari komitmen perusahaan untuk mendukung rehabilitasi ekosistem pesisir.
“Kami berkomitmen mendukung pengurangan emisi CO melalui berbagai cara, termasuk restorasi mangrove.”

Penyangga alami
Lantebung adalah satu dari sedikit kawasan pesisir di Makassar yang berhasil mempertahankan ekosistem mangrovenya di tengah tekanan pembangunan dan reklamasi.
Kawasan ini menjadi contoh bagaimana kolaborasi antara masyarakat, organisasi lingkungan, dan sektor swasta dapat berjalan berdampingan.
Indonesia memiliki sekitar 3,44 juta hektar mangrove atau sekitar 23% dari luas mangrove dunia. Setiap tahun kehilangan lebih dari 19.000 hektar karena konversi lahan dan pembangunan pesisir.
Kehilangan mangrove berarti hilangnya pelindung alami pantai, berkurangnya penyerapan karbon, serta hilangnya sumber penghidupan bagi ribuan keluarga nelayan.
Upaya rehabilitasi seperti di Lantebung, katanya, menjadi penting di tengah tantangan itu. Kawasan ini, menjadi penyangga alami bagi ekosistem pesisir Makassar, sekaligus ruang pembelajaran bersama tentang pentingnya keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan.
Menurut Nirwan, kegiatan di Lantebung ini juga berkontribusi terhadap target peningkatan ruang terbuka hijau (RTH) Kota Makassar sekitar 30% dari luas wilayah. Rehabilitasi ini turut memperkuat ketahanan pesisir terhadap ancaman abrasi dan perubahan iklim.
Setelah penanaman selesai, warga bersama relawan dari Jekomala melakukan pemantauan rutin untuk memastikan tingkat kelangsungan hidup bibit.
Pemantauan mereka lakukan dengan mencatat pertumbuhan batang dan daun, serta memperbaiki area genangan air yang tidak ideal.
Bagi masyarakat Lantebung, kegiatan ini bukan hal baru. Mereka telah terlibat dalam rehabilitasi mangrove sejak lebih dari satu dekade lalu. Dukungan dari berbagai pihak membuat upaya ini semakin berkelanjutan.
Kini, kawasan yang dulu gersang dan tergerus ombak itu perlahan kembali hijau, menjadi habitat bagi burung dan ikan, sekaligus ruang hidup bagi masyarakat.
Menurut Nirwan, rehabilitasi di Lantebung bukan hanya tentang menanam pohon, tetapi menanam kesadaran. Kesadaran bahwa ekosistem pesisir bukan wilayah kosong untuk dieksploitasi, melainkan ruang hidup yang perlu jaga bersama.
*****