- Penolakan usulan Taman Nasional (TN) Meratus, Kalimantan Selatan (Kalsel) terus bergaung. Kali ini, masyarakat adat dan Aliansi Meratus menyuarakannya saat bertemu Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalsel, bulan lalu. Para wakil rakyat Kalsel pun mendukung penolakan ini.
- Gusti Nurdin Iman dari Yayasan Sumpit, menegaskan, penolakan masyarakat lahir bukan karena anti konservasi. Hanya saja, konsep TN merupakan konservasi dengan pendekatan eko-fasis.
- Firman Yusi, anggota Komisi II DPRD Kalsel, memahami dilema yang terjadi. Pada dasarnya, kata dia, semua pihak punya tujuan sama untuk melestarikan Pegunungan Meratus. Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu menilai, metode yang berlandaskan pengetahuan masyarakat lebih efektif.
- Fatimattuzahra, Kepala Dinas Kehutanan Kalsel menyatakan, pihaknya menghargai sikap dewan yang berkomitmen mengawal penolakan terhadap rencana penetapan TN Meratus. Dia menepis kabar pemerintah provinsi akan segera melakukan penetapan.
Penolakan rencana Taman Nasional (TN) Meratus, Kalimantan Selatan (Kalsel) terus bergaung. Kali ini, masyarakat adat dan Aliansi Meratus menyuarakannya saat bertemu Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalsel, bulan lalu. Para wakil rakyat Kalsel pun nyatakan dukungan atas penolakan ini.
Meski DPRD yang menginisiasi pertemuan untuk membicarakan progres usulan TN Meratus seluas 119.779 hektar itu, masyarakat adat tidak datang bernegosiasi. Mereka tegas menolak usulan ini di depan perwakilan Provinsi (Pemprov) Kalsel, Dinas Kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup yang hadir.
“Tidak ada tawar menawar. Kami semua sepakat menolak konsep taman nasional,” kata Anang Suriani, masyarakat adat asal Balangan.
Mereka menentang karena khawatir tergerusnya eksistensi masyarakat adat. Walau tidak terusir langsung, aturan dalam taman nasional nyatanya tidak memungkinkan mereka menjalankan budaya hingga spiritual.
Dia contohkan, praktik berladang masyarakat adat jadi terlarang dalam taman nasional. Padahal, praktik ini bukan hanya soal pangan, tetapi berkaitan erat dengan nilai spirtual.
“Jika berladang tak bisa dilakukan, hilang-lah jejak religi kami. Seperti orang beragama yang dilarang beribadah. Lantas untuk apa lagi hidup ketika jati diri tercerabut.”
Gusti Nurdin Iman dari Yayasan Sumpit, menegaskan, penolakan masyarakat lahir bukan karena anti konservasi, justru merekalah para penjaga hutan itu. Hanya saja, konsep taman nasional merupakan konservasi dengan pendekatan eko-fasis.
“Konsep ini memposisikan manusia seolah-olah bukan bagian dari agenda pelestarian,” katanya.
Taman nasional, katanya, membagi kawasan ke dalam sejumlah zona, yang tidak mengakomodasi kepentingan masyarakat, kecuali untuk ekowisata. Padahal, pola pelestarian masyarakat adat jauh lebih kuat karena berakar pada hubungan dengan leluhur.
Contoh, penentuan keberadaan hutan keramat biasanya karena di lokasi itu terdapat sumber mata air atau catchment area. Wilayah itu juga cenderung melereng sehingga apabila menebang hutannya, maka akan sangat mudah erosi.
“Masyarakat sangat mengenal wilayahnya. Mereka tahu kawasan yang tak boleh diganggu. Pengetahuan itu diwariskan turun-temurun, sehingga menjaga hutan sama artinya dengan menjaga kehidupan mereka sendiri.”
Praktik berladang bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan bagian dari ritus spiritual.
“Kalau dilarang berladang, mereka tidak bisa lagi beribadah. Ujungnya budaya hilang, kearifan lokal lenyap, bahkan aspek religi ikut terkikis,” katanya.
Menurut dia, jika tetap memaksakan rencana taman nasional, maka potensi konflik besar antara negara dan masyarakat adat. Karena itu, dia mendesak Pemprov Kalsel membatalkan rencana itu.
“Ini soal perut dan keyakinan. Siapa pun akan fight kalau ruang hidup dan kepercayaannya diusik.”

Dengarkan dan libatkan masyarakat
Senada dengan Rudy Redhani, Livelihood Specialist dari Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia (YCHI). Dia bilang, akan lebih bijak jika negara melibatkan masyarakat jika benar-benar ingin menjalankan agenda konservasi.
“Konservasi dengan pendekatan taman nasional jelas tidak berkeadilan, sebab berpotensi menghalau manusia dari ruang hidupnya.”
Menurut dia, pelestarian berbasis kearifan lokal masyarakat adat memiliki landasan yang kuat karena sejumlah aturan telah mengatur hal itu. Mulai dari perlindungan terhadap masyarakat adat dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3), UU 41/1999 tentang Kehutanan yang mengenal konsep hutan adat. Lalu, UU 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang mengatur tanah adat, hingga UU 5/ 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang melindungi praktik pelestarian budaya.
Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 juga menegaskan hutan adat bukan lagi hutan negara.
Ada pula aturan teknis seperti Permendagri 52/2014 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Permendagri 18/2018 tentang Lembaga Adat Desa, serta Permendagri 52/2007 tentang Pelestarian Adat dan Nilai Sosial Budaya.
Di Pemprov Kalsel, terdapat Perda Nomor 2 tahun 2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
“Meskipun sampai sekarang Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat belum disahkan, sebenarnya aturan yang ada sudah cukup untuk dijalankan. Asal ada political will dari pemerintah, model konservasi berbasis masyarakat adat bisa diterapkan.”
Karena itu, Pemprov Kalsel tak perlu risau kehilangan potensi anggaran. Landasan hukum yang sudah ada memungkinkan dana tetap bisa turun untuk program pelestarian.
“Jadi, tak ada lagi alasan untuk ngotot mendorong skema taman nasional.”
Dia juga menyinggung proses free, prior, and informed consent (FPIC). Pasalnya, usulan taman nasional muncul tanpa memberitahu masyarakat.
Sekarang, ketika kabar ini sudah sampai ke telinga masyarakat, mereka tetap menentang. “Sesuai mekanisme yang ada, bila masyarakat sudah menyatakan penolakan, maka tidak bisa lagi dipaksakan.”
Raden Rafiq, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, mengatakan, masyarakat adat telah jaga Meratus sejak lama. Justru, negara lah yang berperan merusaknya lewat pemberian izin pada korporasi ekstraktif, seperti tambang dan sawit, tanpa permisi ke penghuni asli.
“Konservasi berbasis pada pengetahuan lokal masyarakat Meratus inilah yang harus diperkuat dan dilegitimasi negara. Mereka sudah terbukti mampu berkontribusi mengurangi ancaman krisis lingkungan dengan kearifan yang dimiliki.” 
Suasana pertemuan masyarakat adat bersama organisasi masyarakat sipil dengan anggota Komisi II DPRD Kalsel, Kamis (11/9/25). Dalam forum ini, mereka membicarakan perkembangan usulan Taman Nasional Meratus. Foto: Riyad Dafhi Rizki/Mongabay Indonesia
Bersama masyarakat?
Raden mendesak DPRD Kalsel, sebagai wakil rakyat, berkomitmen mendukung aspirasi masyarakat. Bukan sekadar pernyataan lisan, tetapi tertuang dalam notulensi resmi.
“Kami minta bukti hitam di atas putih. Sebagai dasar kuat untuk menjadi argumentasi ke pihak eksekutif, baik pemerintah daerah maupun pusat.”
Firman Yusi, anggota Komisi II DPRD Kalsel, memahami dilema yang terjadi. Pada dasarnya, katanya, semua pihak punya tujuan sama untuk melestarikan Pegunungan Meratus.
“Perbedaan hanya terletak pada modelnya. Konservasi ala pemerintah adalah taman nasional, sementara masyarakat adat sejatinya juga punya cara pelestarian berbasis kearifan lokal,” katanya.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu menilai, metode yang berlandaskan pengetahuan masyarakat lebih efektif.
“Masyarakat sudah hidup di sana dari generasi ke generasi. Mereka yang paling tahu kondisi alam, dan sangat bergantung padanya. Ketika lingkungan rusak, kehidupan mereka juga ikut terdampak. Motivasi menjaga alam yang muncul dari dalam ini tentu jauh lebih kuat.”
Maka, dia sepakat mendukung aspirasi masyarakat adat. Mereka akan sampaikan tuntutan itu ke pimpinan DPRD, sebelum meneruskannya ke Gubernur Kalsel, Muhidin.
“Kami di Komisi II juga akan menjalankan fungsi pengawasan terkait hal ini,” janjinya.
Dia juga mendorong Pemprov Kalsel segera mengimplementasikan Perda 2/2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Dia terlibat langsung dalam penyusunan regulasi ini saat masih duduk di Komisi IV, masa jabatan 2019-2024.
“Kami juga akan meminta pemprov mempercepat proses pengakuan masyarakat adat… Karena itu, saya berharap bukan hanya pemprov, tapi pemkab juga harus bergerak. Termasuk masyarakat adat sendiri juga perlu aktif mengajukan usulan.”
Muhammad Yani Helmi, Ketua Komisi II DPRD Kalsel mengamini pernyataan koleganya. Dia berkomitmen mengawalnya supaya kebijakan yang lahir berpihak pada masyarakat.
“Aspirasi masyarakat akan menjadi bahan pertimbangan dalam setiap proses pengambilan keputusan,” kata politikus Partai Golkar itu.
Dia bilang, notulensi berisi kesepakatan dalam audiensi itu akan mereka teruskan ke Gubernur Kalsel dan Ketua DPRD Kalsel. DPRD pun mendukung penolakan TN Meratus.
“Harapannya, ini menjadi awal bagi pemerintah dan DPRD untuk lebih mempertimbangkan kepentingan masyarakat serta lingkungan dalam pengelolaan kawasan Meratus.”

Jadi perhatian DPR
Polemik rencana Taman Nasional Meratus ini sampai ke Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, anggota DPR asal Kalsel. Dia mengetahuinya setelah menerima surat dari DPRD Kalsel yang merupakan tindak lanjut demonstrasi ratusan mahasiswa di DPRD Kalsel, September lalu. Salah satu tuntutannya, menolak rencana TN Meratus.
“Seluruh aspirasi kami tampung. Segera kami selesaikan,” kata Ketua Komisi II DPR itu ketika menyambangi Kalsel.
Dia berencana membentuk forum resmi yang mempertemukan Kementerian Kehutanan, Kementerian ATR/BPN, Pemprov Kalsel, dan masyarakat adat. Harapannya, forum jadi ruang penyelesaian perdebatan perlu atau tidaknya Taman Nasional Meratus.
“Namun perlu diketahui bahwa prinsip utama kami adalah menjaga kelestarian Meratus sekaligus melindungi masyarakat yang hidup di sana.”
Upaya untuk mengonfirmasi Muhidin, Gubernur Kalsel mengenai sikap dewan, hingga kini belum mendapat respons. Sementara, Fatimattuzahra, Kepala Dinas Kehutanan Kalsel menyatakan, pihaknya menghargai sikap dewan yang berkomitmen mengawal penolakan terhadap rencana penetapan TN Meratus.
Dia menepis kabar pemerintah provinsi akan segera melakukan penetapan. “Ada yang bilang kami akan menetapkan Taman Nasional Meratus pada November, enggak ada (rencana) itu,” ucapnya.
Jika memang rencana ini tetap berjalan, lanjutnya, maka akan tetap melalui kajian tim terpadu terlebih dahulu. Saat ini, dia masih menunggu tindakan lanjutan DPRD Kalsel.
“Kabarnya mereka akan menghadirkan pihak Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, pejabat daerah serta masyarakat untuk berdialog dalam forum resmi, jadi kita tunggu dulu itu.”
Sembari menunggu, katanya, Dinas Kehutanan akan fokus mendorong percepatan penetapan pengakuan masyarakat adat oleh para Bupati di sembilan kabupaten, sesuai arahan Gubernur Kalsel.
“Masyarakat adat selama ini mengeluh karena sudah berkomunikasi dengan bupati-bupatinya, tapi belum ada hasil. Nah, ini yang sedang kami dorong. Alhamdulillah, sekarang beberapa sudah mulai berproses.”
Percepatan pengelolaan kawasan hutan juga akan mereka lakukan. Namun realisasinya setelah pengakuan terhadap masyarakat adat.
“Ke depan, ini juga akan kami upayakan. Tapi perjalanannya mungkin akan panjang,”

*****
Opini: Pegunungan Meratus dan Hegemoni Konservasi ala Negara