- Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) menyegel area reklamasi dan dermaga empat perusahaan tambang nikel di Kabupaten Halmahera Timur (Haltim), Maluku Utara (Malut). Paslanya, fasilitas tersebut tak kantongi izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
- Empat lokasi yang disegel itu adalah milik PT. Alngit Raya dengan luas reklamasi 8, 452 hektar di Desa Wailukum, Kecamatan Kota Maba; PT. Adhita Nikel Indonesia seluas 1, 066 hektar, PT Makmur Jaya Lestari 2,204 hektar, dan PT Jaya Abadi Semesta 0, 797 hektar.
- Buang Sugianti, Head Of Safety and Foreman atau Kepala Pengawas Produksi Alngit Raya, mengakui tidak mengetahui bila kegiatannya mereklamasi pantai harus dilengkapi PKKPRL. Karena itu, dia pun mengaku siap untuk mengikuti arahan Dirjen PSDKP. Pihaknya akan segera mengurus seluruh persyaratan untuk bisa mengantongi dokumen PKKPRL.
- Said Marsaoly, Direktur Salwaku Institut, mengatakan, penyegelan oleh PSDKP tidak menjawab persoalan sebenarnya terkait praktik penambangan nikel di pulau-pulau kecil. Di Pulau Mabuli misalnya, yang terus berlangsung sampai kini. Jika serius berbenah, pemerintah seharusnya menghentikan semua tambang di pulau kecil dan fokus memulihkan lingkungan.
Empat perusahaan tambang nikel di Kabupaten Halmahera Timur (Haltim), Maluku Utara (Malut), terindikasi tak kantongi izin persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Meski begitu, keempat perusahaan telah melakukan reklamasi dan membangun jetty atau dermaga untuk bongkar muat material tambang.
Menyusul pelanggaran itu, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP melakukan penyegelan pada Kamis, (9/10/25) pagi. Langkah itu juga menindaklanjuti temuan dari hasil pengawasan polisi khusus pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (PWP3K) terkait ada kegiatan reklamasi di lokasi.
Informasi yang Mongabay kumpulkan, jetty dan area reklamasi empat perusahaan yang disegel itu di area PT. Alngit Raya dengan luas 8, 45 hektar di Desa Wailukum, Kecamatan Kota Maba PT. Adhita Nikel Indonesia seluas 1, 06 hektar, PT Makmur Jaya Lestari 2,20 hektar, dan PT Jaya Abadi Semesta 0, 79 hektar.
Pung Nugroho Sasongko, Direktur PSDKP, KKP memimpin langsung penyegelan itu disaksikan perusahaan. Petugas dari Polsus PWP3K memasang papan berwarna merah bertuliskan larangan untuk beraktivitas di lokasi lantaran belum kantongi izin.
“Kami hentikan sementara kegiatan pemanfaatan ruang laut, terutama jetty di tersus (terminal khusus) yang tidak memiliki PKKPRL,” kata Ipunk, sapaan akrabnya.

Ipunk katakan, dalam empat hari terakhir, KKP menyegel beberapa area reklamasi ilegal di sejumlah tempat. Empat titik berada di Haltim, satu titik berada di Pulau Durai, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau (Kepri).
“Satu minggu ini kami laksanakan operasi penertiban. Totalnya ada delapan lokasi telah dibangun jetty dan telah dilakukan pemeriksaan. Di Maluku Utara ada empat perusahaan belum tertib. Senin lalu (6/10/25), kami juga lakukan penyegelan di Kepulauan Riau.”
Tindakan penyegelan itu, katanya, semata untuk melindungi ekosistem laut dan pesisir. Dengan tanpa mengantongi izin, pemanfaatan ruang laut dan pesisir oleh perusahaan khawatir merusak ekosistem.
“Jika kita tak lakukan penyegelan nanti semua melakukan kegiatan secara tidak bertanggungjawab. Harapan kita, pelaku usaha bisa tertib dan bertanggung jawab dengan perizinan. Izin PKKPRL ada di KKP, termasuk pemanfaatan pulau-pulau kecil,” katanya.
Ipunk mengatakan, pemanfaatan ruang laut untuk reklamasi harus memiliki PKKPRL dan izin reklamasi sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 tahun 2021. Juga Peraturan Pemerintah Nomor 28/2025 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Soal pulau- pulau kecil yang marak tambang termasuk di Halmahera Timur, Ipunk mengaku sempat melihat langsung, baru menyaksikan dari pesawat udara.
“Saya lihat kami terbang tadi, masih ada beberapa pulau kecil yang ada kegiatan tambang nikelnya. Itu pasti pengangkutannya menggunakan tongkang. Untuk itu perlu ada PKKPRL,” katanya.

Sanksi
Sebelum penyegelan, KKP lebih dulu pemantauan dengan kapal laut berbekal data-data dari citra satelit.
“Ada teknologi yang kita gunakan juga, di mana letak pemanfaatan yang belum ada izinnya, maupun yang ada izinnya kami datangi semua untuk memastikan sejauh mana ketertiban dilaksanakan pelaku usaha,” katanya.
Terhadap perusahaan yang melanggar, Ipunk pastikan pengenaan sanksi administrasi berupa denda.
“Kami akan menghitung berapa nilai denda yang dikenakan kepada setiap perusahaan, karena sudah terlanjur. Nanti ada tim yang tindak lanjuti.”
Selain itu, KKP juga akan turunkan tim untuk melihat lebih jauh dampak ekologis dari aktivitas beberapa perusahaan itu. Termasuk, tim penyelam untuk memastikan kemungkinan kerusakan terumbu karang.
“Dulu, mungkin di sini air (laut), sehingga itu pasca terjadi penyempitan. Kemudian ekosistemya, habitat apa yang terganggu. Kami juga ada tim selam kalau ada terumbu karang yang rusak, pasti kami akan hitung.”
Buang Sugianti, Head Of Safety and Foreman atau Kepala Pengawas Produksi Alngit Raya, mengakui tidak mengetahui bila mereklamasi pantai harus ada PKKPRL. Dia pun mengaku siap mengikuti arahan KKP. Mereka akan mengurus seluruh persyaratan untuk bisa mengantongi dokumen PKKPRL.
“Kami ikuti arahan Pak Dirjen, kami akan urus semua surat-suratnya. Selama ini surat-suratnya memang belum ada. Kami tertib saja, tertib semuanya, juga berhenti semuanya. Nanti jika sudah selesai dokumennya, kami berproduksi lagi,” katanya.
Alngit Raya merupakan peralihan dari PT Yudistira Bumi Bhakti (YBB). Aktivitas pertambangan perusahaan sudah berlangsung lima tahun, sedangkan reklamasi dan pembangunan jetty baru berjalan enam bulan.
“Dulu cuma satu jetty, sekarang dua. Baru sekitar enam bulanan kami buat ini. Salah satu jetty dulunya kecil sekali.”

Cabut IUP perusahaan
Said Marsaoly, Direktur Salwaku Institut, Malut mengatakan, tindakan penyegelan PSDKP tidak menjawab persoalan sebenarnya terkait praktik penambangan nikel di pulau-pulau kecil.
Di Pulau Mabuli, misal, aktivitas penambangan terus berlangsung sampai kini, meski menyandang status sebagai pulau kecil.
“Penyegelan itu tidak menyentuh akar permasalahan. Karena seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah dengan mencabut langsung Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tersebut karena melanggar ketentuan perundang- undangan,” katanya.
Kalau mau serius berbenah, pemerintah seharusnya menghentikan semua tambang di pulau kecil dan fokus pemulihan lingkungan. Hal itu dia nilai jauh lebih penting ketimbang sekadar memasang plang larangan.
“Plang larangan tidak membuat ikan- ikan yang menjauh sejak kerusakan pesisir di Haltim itu kembali lagi. Ketika ikan-ikan itu hilang, yang paling merasakan dampaknya adalah nelayan, karena mereka kesulitan mencari ikan. Kalau bisa, mereka harus melaut lebih jauh dengan biaya operasional lebih besar,” kritik Said.
Dia tambahkan, langkah pemerintah hanya penyegelan itu menunjukan bahwa kerusakan pesisir di Haltim tidak pernah mereka anggap serius. Begitu juga dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (Perda RTRW), hanyalah formalitas.
“Karena setelah penyegelan berlangsung dan perusahaan memenuhi dokumen PKKPRL dan membayar denda, mereka bisa kembali beraktivitas lagi, seperti kasus PT STS di Dusun Memeli Kecamatan Maba, yang jelas menabrak tata ruang. Artinya, kerusakan akan kembali berlanjut.”
Dia pun mendesak, KKP tidak menerbitkan dokumen KKPRL untuk perusahaan yang jelas-jelas melanggar dan berkoordinasi dengan KESDM untuk mencabut IUP perusahaan.
*****