- Pemerintah Indonesia menjalin mutual recognition agreement (MRA) dengan sejumlah organisasi sertifikasi proyek-proyek pengurangan emisi. MRA ini akan mengusung mekanisme pasar karbon sukarela (voluntary carbon market/ VCM). Tujuannya, memacu perdagangan karbon di sektor teknologi dan energi terbarukan, yang hingga September 2025, terbilang lesu.
- Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq bilang, seturut perkembangan tersebut, pemerintah akan memfasilitasi skema pasar karbon sukarela melalui revisi Peraturan Presiden (Perpres) 98 tahun 2021. Soalnya, sebagai regulasi yang menerjemahkan artikel 6 Perjanjian Paris, Perpres 98 tahun 2021 belum mengatur skema perdagangan karbon sukarela.
- Bhima Yudhistira menyebut, VCM merupakan sistem carbon offset (pengimbangan) di luar mekanisme bursa suatu negara. Karena sifatnya sukarela, maka transaksi karbon dilakukan dengan sistem desentralisasi. Perusahaan penghasil emisi diperkenankan biayai proyek konservasi untuk kurangi emisi karbon.
- Torry Kuswardono, Direktur eksekutif Yayasan Pikul mengatakan, perdagangan karbon lewat VCM tidak sungguh-sungguh bisa turunkan emisi. Hal ini sesuai dengan laporan the guardian yang menyebut kredibilitas proyek VCM yang buruk.
Pemerintah menggenjot mekanisme pasar karbon sukarela (voluntary carbon market/ VCM) lewat mutual recognition agreement (MRA) dengan sejumlah organisasi sertifikasi proyek-proyek pengurangan emisi. Masyarakat sipil pun skeptis dan menilai perdagangan karbon ini problematik.
Sejak peluncuran September 2023, perdagangan karbon dalam negeri stagnan. Situasi serupa masih terjadi ketika pemerintah resmikan perdagangan karbon luar negeri, Januari 2025.
Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup, bilang, dari sekitar 2,5 juta ton CO2e sertifikat pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor teknologi dan energi terbarukan, transaksi mandek di kisaran 1 juta ton CO2e. Berkembangnya VCM turut pengaruhi kondisi itu.
Skema ini, katanya, tidak memindahkan karbon secara aplikatif dari satu negara ke negara lain melainkan hanya dengan mengkontribusikan penurunan emisi di suatu tempat.
Merespons perkembangan itu, pemerintah jalin MRA dengan sejumlah lembaga. Pada September 2025, misal, melakukan penyelarasan skema antara Sertifikasi Pengurangan Emisi GRK Indonesia (SPEI) dengan joint crediting mechanism (JCM).
MRA ini, katanya, merupakan tindak lanjut penandatangan perjanjian Indonesia-Jepang pada Oktober 2024 dan wujud komitmen Indonesia lahirkan kredit karbon berintegritas tinggi yang dunia akui, sekaligus menjaga kedaulatan bangsa.
Untuk mempercepat tujuan itu, dia mendorong perumusan metode secara detail dalam waktu dekat. Sebab, sejak penandatangan perjanjian Indonesia-Jepang pada 2024, belum ada saling pengakuan metodologi pada setiap skema antara SPEI dan JCM.
“Kalau tidak salah, di JCM ada 60 lebih project proponent yang harus kita akselerasi. Bagaimana cara bagi karbon kita, bagaimana metodologi kita, nah ini belum dilakukan pembahasan dengan detail. Kami harap, tim khusus harus segera merumuskan itu,” katanya di Jakarta, Kamis (18/9/25).

Sebelumnya, pemerintah sudah bangun MRA serupa dengan Global Carbon Council (GCC), Plan Vivo dan Gold Standard Foundation (GSF). Selain saling pengakuan sertifikat, persetujuan-persetujuan itu juga akan memayungi dua skema nilai ekonomi karbon yang bersifat sukarela maupun compliance atau kepatuhan regulasi untuk capai target pengurangan emisi.
Hanif bilang, seturut perkembangan itu, pemerintah akan memfasilitasi skema pasar karbon sukarela melalui revisi Peraturan Presiden (Perpres) 98/2021. Soalnya, sebagai regulasi yang menerjemahkan artikel 6 Perjanjian Paris, regulasi belum mengatur skema perdagangan karbon sukarela.
“Salah satu frasa yang akan kami masukkan adalah merekognisi skema voluntary carbon.”
Meski begitu, upaya akselerasi perdagangan karbon tidak perlu menunggu perubahan Perpres 98/2021. Soalnya, perpres itu hanya akan memperkuat beberapa sektor tanpa mengubah konstruksi kebijakan.
“Semua skema dalam rangka memperlebar, mendorong pencapaian emisi GRK melalui nilai ekonomi karbon telah kita buka selebar-lebarnya.”
Perdagangan karbon, katanya jadi salah satu solusi memaksimalkan pendanaan iklim berkelanjutan karena sekitar Rp400 triliun pendanaan di sektor FoLU dan Rp4000 triliun untuk turunkan emisi di sektor energi.
“Nilai ekonomi karbon harus kita bangun. Sehingga kalau ini tidak berhasil, maka capaian emisi kita untuk jadikan total emisi tahun 2030 sulit kita kejar. Maka membangun kepercayaan karbon terintegritas ini menjadi sangat penting.”
Atas dasar itu, Hanif mendorong berbagai pihak yang berpartisipasi dalam Conference of the Parties (COP) 30 di Balem, Brasil, untuk promosikan Indonesia High Integrity Carbon. Dia bilang, setidaknya terdapat 60 juta ton CO2e, sertifikat karbon dari berbagai sektor, yang bisa mereka tawarkan dalam pertemuan itu.
Indonesia juga masih memiliki 721 juta ton CO2e dari carbon vintage atau jumlah pengurangan karbon yang sudah terinventarisasi namun belum terkompensasi negara atau lembaga yang janjikan pendanaan iklim.
“Dengan maksud itu tidak ada lain, kami harapkan nilai ekonomi karbon ini mampu mendukung pendanaan kita, pada satu sisi. Pada sisi lain, mampu bangkitkan sirkular ekonomi, bahkan ekonomi hijau.”

Pendekatan problematik
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menyebut, pasar karbon merupakan pendekatan problematik untuk tekan emisi.
Sejak COP 28 dan 29, penawaran perdagangan karbon dari Indonesia sepi peminat. Karena, investor coba cari opsi alternatif untuk kurangi emisi karbon.
Alih-alih perdagangan karbon, nature based solution seharusnya jadi solusi. Dengan pendekatan ini, perusahaan akan terlibat biayai proyek pengurangan karbon key performance indicator yang terukur, dan secara bersamaan kurangi karbon dari proses bisnisnya sendiri.
“Opsi berikutnya menjual skema pemensiunan PLTU batubara sebagai pengurangan emisi karbon. Perusahaan yang mendanai pemensiunan PLTU dapat meminjamkan upaya pengurangan karbonnya ke perbankan. Skema ini dilakukan di Filipna, dan diperluas ke berbagai proyek lainnya.”
Lagipula, katanya, VCM merupakan sistem carbon offset di luar mekanisme bursa suatu negara. Karena sifatnya sukarela, maka transaksi karbon terjadi dengan sistem desentralisasi. Perusahaan penghasil emisi boleh biayai proyek konservasi untuk kurangi emisi karbon.
Mekanisme itu, katanya, makin menarik minat banyak perusahaan karena opsi mengatur harga per unit karbon seturut dengan kesepakatan pengelola proyek. Namun, akan menjadi perubahan tatanan (disrupsi) dalam perdagangan karbon. Soalnya, perusahaan luar negeri bisa membeli kredit karbon langsung ke komunitas atau perusahaan pengelola lingkungan di Indonesia.
“Artinya, tidak diperlukan bursa karbon kalau sudah ada VCM, terutama terkait dengan hal pencatatan dan biaya administratif yang ditanggung, baik penjual dan pembeli.”
Dia nilai, revisi Perpres 98/2021 untuk fasilitasi VCM pun akan hasilkan ketidakpastian hukum dan bursa karbon IDX akan makin tertinggal. Soalnya, bursa karbon resmi dan VCM adalah kompetitor. Dengan begitu, operasionalisasi VCM tetap akan berlangsung di luar registry karbon pemerintah.
Torry Kuswardono, Direktur eksekutif Yayasan Pikul, mengatakan, perdagangan karbon lewat VCM tidak sungguh-sungguh bisa turunkan emisi. Dalam laporan the Guardian menyebut kredibilitas proyek VCM buruk.
Sisi lain, perdagangan karbon seturut artikel 6 Perjanjian Paris memperlambat penurunan emisi yang sejati. Skema ini akan memperpanjang kontribusi emisi dari sektor-sektor seperti transportasi dan energi yang menyumbang emisi besar.
“Seperti perusahan batu bara, dia tidak perlu turunkan, karena VCM itu offseting.”
Dia menilai, upaya menjadikan perdagangan karbon sebagai sumber pembiayaan iklim merupakan kebijakan keliru. Instrumen untuk turunkan emisi seharusnya bersifat pengendalian yang semakin lama meniadakan emisi, bukannya pengimbangan.
Pada COP 30 di Balem, Brasil, pihaknya berencana dorong keadilan iklim yang tekankan tanggung jawab emiter terbesar untuk turunkan emisi, bukan menukarnya. Di samping itu, penting pula mendorong pembiayaan langsung ke komunitas rentan untuk tangani krisis iklim.
“Bukan dari perdagangan karbon, karena perdaganan karbon justru tetap membutuhkan jumlah emisi yang konstan,” katanya.
Alih-alih promosikan Indonesia High Integrity Carbon, katanya, pemerintah harus tingkatkan ambisi untuk turunkan emisi, lindungi masyarakat rentan hingga fokus pada pembiayaan di luar pasar untuk perkuat masyarakat sipil.
“Kita harus tunjukkan, secara sains, dia (perdagangan karbon) tidak bisa digunakan untuk tangani krisis. Kedua, kita dorong ke arah lain, penurunan emisi yang lebih sungguh-sungguh. Misal pengendalian lewat pajak, macam-macam.”

*****