- Pemerintah memperkuat niat mereka dalam perdagangan karbon luar negeri lewat penandatanganan Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan dua lembaga sertifikasi kredit karbon, Global Carbon Council (GCC) dan Plan Vivo Foundation, 16 September 2025. Meskipun demikian, masyarakat sipil menilai langkah ini tidak menjawab persoalan pengurangan emisi gas rumah kaca dan sengsarakan masyarakat adat.
- Hanif Faisol Nurofiq, Menteri LH mengklaim kesepakatan baru ini semakin menegaskan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Juga, memperkuat infrastruktur pasar karbon domestik yang berdaya saing.
- Fiorentina Refani, peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan, kerjasama dengan lembaga internasional, dalam kacamata pragmatis, memang berpotensi meningkatkan posisi tawar karbon Indonesia. Namun, struktur ekonomi politik yang masih timpang berpotensi membuat Indonesia terjebak jadi penyedia jasa lingkungan murah untuk menghapus dosa-dosa iklim korporasi multinasional.
- Erasmus Cahyadi, Deputi II Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menilai rencana pemerintah mendorong perdagangan karbon di sektor kehutanan dan perhutanan sosial tidak menjawab tujuan pengurangan emisi gas rumah kaca. Justru, berpotensi memperparah konflik tenurial, karena banyak lahan dan hutan masyarakat adat pemerintah tetapkan secara sepihak sebagai perhutanan sosial.
Pemerintah memperkuat niat mereka dalam perdagangan karbon luar negeri lewat penandatanganan Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan dua lembaga sertifikasi kredit karbon, Global Carbon Council (GCC) dan Plan Vivo Foundation, 16 September 2025. Berbagai kalangan masyarakat sipil menilai, langkah ini tak menjawab persoalan pengurangan emisi gas rumah kaca dan bisa menilbukan masalah baru bagi masyarakat adat.
Sebelumnya, pemerintah sudah menandatangani MRA dengan Gold Standard Foundation. Langkah ini merupakan tindak lanjut peluncuran perdagangan karbon luar negeri melalui IDX Carbon, Januari 2025.
Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup mengklaim kesepakatan baru ini makin menegaskan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Juga, memperkuat infrastruktur pasar karbon domestik yang berdaya saing.
“MRA ini membuka pintu lebih lebar bagi proyek-proyek karbon Indonesia untuk menembus pasar internasional dengan integritas dan transparansi yang diakui dunia,” katanya.
Ada dua jenis pasar karbon, yakni yang resmi dan Paris Agreement atur (compliant market), serta pasar sukarela (voluntary market) yang biasa perusahaan pakai untuk CSR atau green branding.
Menurut Hanif, MRA dengan GCC dan Plan Vivo merupakan pasar sukarela, tapi, tidak melunturkan komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement.
Dia bilang, kekuatan Indonesia masuk di compliant market masih lambat. Butuh konsensus dalam mekanisme pasar ini, sehingga Indonesia perlu berdiskusi dengan negara-negara lain untuk menjual kredit karbon ini.
Sisi lain, pasar sukarela tengah berkembang, sehingga Indonesia memilih untuk terlibat juga.
Menurut dia, tidak bisa mendikotomikan dua mekanisme yang saling melengkapi itu. Peraturan Presiden 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK), baik compliant market (cap and trade) atau voluntary market (offsetting) bisa berjalan, asalkan tetap mendukung target nasional dalam pengendalian emisi GRK.
Gold Standard dan GCC lebih fokus mengatur standar proyek karbon berbasis teknologi (tech-based), seperti energi terbarukan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), hingga energi dari angin.
Sementara, Plan Vivo lebih fokus pada proyek karbon berbasis alam (nature-based solutions), seperti hutan, agroforestri, rehabilitasi lahan, hingga mangrove.
Hanif bilang sektor kehutanan (forestry and other land Use/FOLU) sangat potensial di pasar karbon.
Dia menyebut, sektor kehutanan menyumbang 60% potensi pengurangan emisi Indonesia. Potensi karbonnya bisa hingga 50 juta ton CO₂.
Saat ini, sektor teknologi di PLN sudah tercatat 6 juta ton CO₂, tapi dari hutan masih minim. Dia berharap penandatanganan MRA dengan Plan Vivo mampu membangkitkan perdagangan karbon di sektor kehutanan.
Harga karbon Indonesia juga masih rendah, harga jual paling tinggi hanya $10/ton CO₂. Jauh lebih rendah ketimbang harga 1 kubik kayu yang bisa mencapai harga $5.
Hal ini, menurutnya, terjadi lantaran pasar belum percaya sepenuhnya pada Indonesia. Dia pun menekankan jangan ada manipulasi data (carbon fraud).
Jika ada ketidakjujuran, maka reputasi Indonesia jatuh dan harga karbon tidak akan mengalami kenaikan. Setelah MRA ini, dia menargetkan harga karbon Indonesia minimal bisa mencapai $30/ton CO₂.

Ajang cuci dosa?
Fiorentina Refani, peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan, kerjasama dengan lembaga internasional, dalam kacamata pragmatis, memang berpotensi meningkatkan posisi tawar karbon Indonesia.
Namun, struktur ekonomi politik yang masih timpang berpotensi membuat Indonesia terjebak jadi penyedia jasa lingkungan murah untuk menghapus dosa-dosa iklim korporasi multinasional.
Fio, panggilan karibnya, menilai, harusnya pemerintah melakukan koreksi yang fundamental, seperti menekan industri pada karbon, jika serius dalam pengurangan emisi karbon.
Ironisnya, mereka justru memberikan insentif/subsidi masif untuk banyak korporasi/sektor industri PLTU batubara, baik on-grid milik PLN atau captive di kawasan industri.
Indonesia, lanjutnya, mempunyai lanskap alam yang berpotensi besar dalam memitigasi emisi karbon, misal, padang lamun, ekosistem karst, mangrove, hingga hutan tropis di pulau-pulau kecil. Namun, lanskap alam itu kini banyak terancam industri ekstraktif.
“Harusnya pemerintah menjaga lanskap yang tersisa sembari merestorasinya sesuai fungsi ekologis ekosistem tersebut. Apalagi, korporasi ekstraktif berpotensi memakai skema FOLU untuk offset, sehingga bukannya mendorong transisi, malah memperpanjang napas ekstraktif.”
Amalya Reza Oktaviani, Manajer Kampanye Bioenergi dari Trend Asia, juga menganggap pasar karbon hanya untuk greenwashing. Justifikasi industri untuk melepas emisi banyak dengan dalih sudah membeli carbon sink dari Indonesia.
“Ini fatal. Apalagi kemampuan ekosistem hutan untuk menyerap karbon itu sudah menurun.”
Alih-alih jualan karbon, menurutnya, pemerintah seharusnya gencar menerapkan pajak karbon, terutama untuk industri yang banyak melepas emisi.
Berdasarkan catatannya, Indonesia masih punya tutupan hutan sekitar 90 juta hektar atau setara dengan 15,9 Gt karbon. Potensinya memang ada, tapi dia tidak yakin pasar karbon akan mendukung proteksi hutan di Indonesia.
“Ini hanya komodifikasi peran hutan sebagai carbon sink.”

Masuk ke perhutanan sosial?
Ary Sudijanto, Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLH, mengatakan, mekanisme perdagangan karbon perhutanan sosial dan smallholder lainnya akan melibatkan kelompok sipil seperti organisasi masyarakat sipil sebagai pendamping masyarakat.
Pendamping itu akan melakukan pembimbingan, menghitung potensi karbon yang akan dijual, sampai mendaftarkannya ke Sistem Registri Nasional (SRN).
Dia memastikan petani atau masyarakat yang mengelola perhutanan sosial akan mendapatkan pembagian keuntungan dari hasil penjualan karbon. Regulasinya masih dalam proses penyusunan.
“Harus ada benefit sharing plan untuk masyarakat sekitarnya.”
Fio menilai, ide ini justru akan menambah masalah baru.
Menurut dia, integrasi masyarakat adat dan komunitas lokal ((Indigenous People/IPs) Local Communities/LCs) ke konteks pasar karbon merupakan pertaruhan berisiko. Untuk bisa terintegrasi, perlu stimulus dana untuk bantu biaya sertifikasi yang tidak sedikit.
Juga, perlu persiapan teknis yang matang. Belum lagi, perlindungan masyarakat adat yang masih karut-marut, karena progres RUU Masyarakat Adat masih stagnan.
“Artinya IPs dan LCs ada di posisi yang rentan tanpa kepastian hukum mengenai kepemilikan lahannya.”
Menurut dia, memaksa IPs dan LCs ke pasar karbon dengan banyak korporasi multinasional yang dominan secara modal, katanya, sama saja menjebak dan menempatkan beban mitigasi pada mereka. Ini menyalahi prinsip keadilan distributif yang pemerintah gaungkan selama ini.
Olvy Tumbelaka, dari Kaoem Telapak, turut menyuarakan kekhawatiran. Petani kecil/smallholders yang masuk ke pasar karbon tanpa pendampingan teknis dan hukum yang memadai, katanya, akan menghadapi posisi tawar yang lemah.
Mereka bisa saja menandatangani kontrak jangka panjang yang mengikat selama puluhan tahun tanpa paham implikasinya.
Selain itu, kewajiban monitoring, reporting, dan verifikasi bisa menjadi beban biaya dan administrasi tambahan yang justru merugikan petani kecil.
Belum lagi, katanya, jika proyek berjalan top-down, maka ada risiko melihat lahan masyarakat hanya dari nilai karbonnya.
“Ini bisa mengurangi ruang gerak masyarakat adat dan petani kecil untuk mengelola tanah sesuai nilai-nilai budaya dan kebutuhan hidup sehari-hari,”
Di lapangan, katanya, perhutanan sosial masih belum sepenuhnya berpihak pada masyarakat adat. Banyak wilayah perhutanan sosial yang penetapannya di atas lahan yang tidak memiliki izin yang sah menurut hukum adat, atau bahkan mengambil dari wilayah adat tanpa persetujuan penuh.
Hal ini membuat status lahan menjadi rawan konflik. Karena legal secara administratif, tapi belum tentu ada pengakuan secara adat. Dengan memasukkan lahan perhutanan sosial dalam proyek karbon seperti Plan Vivo tanpa penyelesaian hak tenurial, katanya, akan membuat masyarakat adat kehilangan kontrol atas wilayahnya,
Pendapatan karbon pun akan mengalir ke kelompok atau pihak yang bukan pemilik sah menurut adat.
“Konflik tenurial bisa semakin dalam karena skema karbon memberi nilai ekonomi baru pada lahan.”

Salah kaprah
Erasmus Cahyadi, Deputi II Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menilai, rencana pemerintah mendorong perdagangan karbon di sektor kehutanan dan perhutanan sosial tidak menjawab tujuan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Justru, berpotensi memperparah konflik tenurial, karena banyak lahan dan hutan masyarakat adat pemerintah tetapkan secara sepihak sebagai perhutanan sosial.
Padahal, menyamakan hutan adat dengan skema perhutanan sosial salah kaprah. Hutan adat, katanya, merupakan bentuk rekognisi turun-temurun, bukan izin dari negara yang terbatas waktunya.
Hal ini yang Mahkamah Konstitusi tegaskan dalam putusan 35/PUU-X/2012, bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Melainkan hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat, dan mereka yang miliki hak kelolanya.
Masuknya rencana perdagangan karbon ke perhutanan sosial, membuatnya khawatir masyarakat adat semakin terpinggirkan dari hak-haknya.
Skema ini berpotensi membatasi akses masyarakat adat, sehingga memutus relasi hidup dan praktik budaya mereka dengan hutan.
Dia bilang, masyarakat adat jaga baik hutan adat secara turun-temurun. AMAN mengidentifikasi hutan-hutan terbaik Indonesia berada di wilayah adat. Tentu, hutan adat berperan sebagai penyerap karbon terbaik.
Memberikan sejumlah uang kompensasi dari skema perdagangan karbon kepada masyarakat adat tidaklah cukup. Apalagi, jika memperdagangkan tanah hasil rampasan. Karena, pemerintah tetap memberikan izin tambang, perkebunan, dan konsesi lain yang merusak ekosistem di sejumlah lahan masyarakat adat.
“Selama izin-izin itu tidak dihentikan, klaim pengurangan emisi hanya menjadi solusi palsu.”
AMAN menilai, solusi sesungguhnya untuk mengurangi emisi adalah penghentian izin-izin tambang dan konsesi yang merusak hutan, serta pengakuan penuh hak-hak masyarakat adat. Karena itu, dia menegaskan penolakan AMAN terhadap perdagangan karbon.
“Tidak cocok dengan masyarakat adat itu. Karena hidup masyarakat adat ini dari hutan. Jadi tidak mungkin mereka mengikat komitmen lalu sebagian hidupnya itu terbelenggu.”

*****