- Dataran tinggi dan lembah curam di Selatan Pulau Nusa Nipa (Flores), Provinsi Nusa Tenggara Timur, merupakan ruang hidup bagi orang Ngada yang terdiri dari puluhan suku dan seratusan klan yang menetap di kampung-kampung berusia ratusan hingga ribuan tahun.
- Meskipun tinggal di daratan, orang Ngada punya ikatan kuat dengan laut. Ini tergambar dalam bentuk pemukiman serta cerita perjalanan leluhur mereka yang mengarungi lautan hingga tiba di tanah Ngada saat ini.
- Setiap tahunnya, masyarakat Ngada menggelar upacara reba sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen, serta sebagai pengingat akan perjuangan dan perjalanan leluhur mereka.
- Dalam penutupan acara tersebut, seorang ketua adat akan menuturkan Su’i Uwi yang berisi nasihat, serta penghormatan terhadap leluhur dan uwi, simbol makanan yang harus dijaga.
Menjelang sore, kabut menyelimuti Watu Nari Wowo, sebuah bukit dengan tinggi sekitar 1.400 m dpl di pantai Selatan Pulau Nusa Nipa (Flores), Nusa Tenggara Timur.
Bukit ini juga terkenal dengan nama Bukit Avatar, objek wisata andalan di Desa Beja, Kecamatan Langa, Kabupaten Ngada.
“Nama Avatar diambil karena bukitnya mirip di film Avatar: The Legend of Aang,” kata Ardin Liko, rekan perjalanan sekaligus tokoh pemuda Ngada.
Setelah treking 30 menit, di puncak, kami langsung berhadapan dengan Gunung Inerie, sosok “Ibu Agung” yang menjaga tanah Ngada, ruang hidup etnis Ngada yang terdiri puluhan suku dan ratusan klan, yang menetap di kampung-kampung berusia ratusan hingga ribuan tahun (Arndt, 2009).
Saat memandang lanskap Inerie, kita bisa membayangkan proses geologi yang rumit dan panjang. Gempa bumi dan letusan gunung berapi jutaan tahun lalu, membentuk perbukitan dan lembah yang cantik.
Gunung Inerie terhubung deretan Gunung Ata Gae, Lobobutu, hingga Ine Lika di utara. Wilayah ini terkenal oleh mite/mitos tentang generasi manusia pertama yang menduduki tanah Ngada, lalu menyebar ke wilayah lain.
“Tidak terbayang. Leluhur kita punya kaki kuat. Mendaki jalan sempit di antara lembah yang dalam, hingga menemukan tempat untuk hidup dan membangun kampung,” kata Ardin yang lahir dan besar di kampung Beiposo, Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa yang terletak di kaki Gunung Ata Gae.

Di barat Ata Gae, terdapat daratan berbukit luas dekat pantai. Wilayah dengan topografi seperti itu, menurut Weli Guba, Kepala Kampung di Beiposo, dinamakan Ghole.
“Sejak nenek moyang dulu, tanah di sana jadi kebun untuk ditanam umbi, jagung, dan padi karena suhunya tidak terlalu dingin.”
Dari Ghole, kontur tanah menurun hingga ke pesisir Aimere yang terhubung dengan Laut Sawu. Wilayah teluk ini, dipercaya sebagai tempat berlabuhnya leluhur orang Ngada.
“Di sana ada telapak kaki besar di batu. Kami percaya itu jejak kaki nenek moyang,” kata Mama Uli (65), warga Desa Langa yang terletak di kaki Gunung Inerie. “Tidak ada yang berani ganggu.”
Sebagian besar masyarakat Ngada hidup di dataran tinggi (1.000-1.400 m dpl). Mereka membangun kampung di lembah dan hutan bambu. Sehari-hari, mereka merawat kebun yang ditanami cengkih, jagung, kacang-kacangan, dan kopi.
Penduduk yang tinggal di kawasan pesisir, menyebut orang Ngada sebagai ata dua atau orang gunung. Namun, jika berbicara tentang sejarah perjalanan leluhur, orang Ngada memiliki hubungan erat dengan laut.

Dikisahkan Lipus Ga’e, Ketua Adat di Kampung Beiposo, Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa, sebelum berlabuh di sekitar teluk Aimere, leluhur orang Ngada telah mengarungi lautan dan singgah di sejumlah pulau di Nusantara.
“Lalu, mereka berjalan menuju Gunung Ata Gae dan membangun kampung di sana, baru kemudian menyebar,” katanya.
Jika dilihat dari atas, bentuk sejumlah perkampungan di Ngada menyerupai perahu. Seperti halnya Kampung Bena yang terletak sekitar 18 kilometer di selatan Kota Bajawa.
“Kami percaya, perahu itu bukan cuma alat, tetapi juga membawa arwah kami ke peristirahatan terakhir.”

Hal ini diperkuat Paul Arndt dalam buku “Masyarakat Ngada: Keluarga, Tanatan Sosial, Pekerjaan dan Hukum Adat”. Dibangunnya kampung pertama orang Ngada dikaitkan dengan sosok Oba yang berarti gelombang laut atau ombak. Adik laki-laki Oba adalah Nanga, yang berarti teluk atau muara sungai.
“Semua itu menunjukkan, dahulu orang Ngada adalah suku bangsa pelaut,” tulis Paul Arndt, antropolog yang meneliti Ngada selama 40 tahun sejak 1924.
Sebagai informasi, Kabupaten Ngada memiliki luas sekitar 162.092 hektar. Sementara luas lautnya mencapai 70.864 hektar. Pada tahun 2024, jumlah penduduk di Ngada sekitar 162.299 jiwa, yang menetap di 206 desa.

Perjalanan leluhur
Kisah perjalanan dan pesan leluhur orang Ngada juga tergambar dalam Su’i Uwi –sebuah upacara adat berupa nasihat dalam kata dan kalimat puitis.
Dalam buku Sastra Lisan Ngada di Bajawa (Angelanai Fiminai, 1999), dijelaskan bahwa Su’i Uwi merupakan penutup dari ritual tahunan reba, acara sakral yang berlangsung dua atau tiga malam, dan akan dilakukan oleh setiap suku. Biasanya, awal tahun atau tahun baru orang Ngadha (akhir Desember hingga akhir Februari).
Lipus Ga’e mengatakan, reba bukan sekadar pesta, melainkan wujud syukur terdalam orang Ngada kepada Tuhan yang telah memberi mereka kehidupan dan hasil panen bagus sepanjang tahun.
“Ini ajaran leluhur yang harus kami pegang terus.”

Menurut Noywuli dan kolega (2025), reba merupakan cara masyarakat Ngada memahami dan menjaga keseimbangan kehidupan. “Keseimbangan tersebut dimengerti sebagai relasi yang baik antara manusia dengan Tuhan, leluhur, alam dan sesama.”
Yang menarik dari upacara ini, seperti yang dijelaskan dalam buku Sastra Lisan Ngada di Bajawa, seorang Ketua Adat akan menuturkan kisah perjalanan para leluhur dalam acara penutup Su’i Uwi.
Ada 98 bait tuturan lisan yang dicatat dalam buku tersebut. Bermula dari sebuah tempat yang gelap menuju terang, perjalanan menyusuri hutan belantara, membuat perahu, melakukan perjalanan laut yang panjang, singgah di beberapa tempat seperti Sina, Selu, Jawa, Raba, dan Sumba. Selama persinggahan ini, para leluhur menikahi gadis-gadis setempat, mengindikasikan adanya percampuran budaya dan keturunan.
Puncak perjalanan adalah ketika dua tokoh utama, Oba dan Nanga, tiba di Pantai Ma’u Suy dan Pantai Lege Lapu. Mereka memenangkan perjuangan lautan dan menemukan tanah daratan, lalu menetap, membagi batas wilayah, serta mendirikan permukiman.
“Leluhur kami tidak pernah menyerah. Mereka selalu cari jalan keluar, yang tidak merusak kehidupan orang lain. Mereka selalu menghormati yang sudah ada,” katanya.

Uwi yang dihormati
Upacara Su’i Uwi bukan hanya tentang perjalanan leluhur. Kata uwi merujuk pada jenis umbi-umbian yang begitu dihormati masyarakat Ngada.
Uwi, dipercaya sebagai makanan pertama orang Ngada. Jauh sebelum mereka mengenal padi, dan jagung yang dibawa dari sejumlah daerah, selama perjalanan leluhur mereka mengarungi pulau-pulau di Nusantara.
Mengutip penelitian Wae dan kolega (2025), uwi yang dimaksud adalah gembili (Dioscorea esculenta), berasal dari genus Dioscorea yang memiliki lebih dari 600 spesies. Genus ini tersebar cukup merata di seluruh daerah beriklim tropis atau hangat di seluruh dunia.
Uwi nase, sebutan lokalnya, merupakan tanaman pangan dengan karbohidrat tinggi mencapai 72,6–80,2 persen dari berat keringnya. Juga, mengandung pati (24,3 persen), amilosadan (75,7 persen), dan amilopektin, sehingga dimanfaatkan sebagai tepung.
Uwi, bagi orang Ngada bukan hanya makanan. “Melainkan, “roti kehidupan” bagi manusia sejak zaman dulu,” tulis penelitian tersebut.

Dalam budaya Ngada, uwi memiliki makna spiritual mendalam. Hubungan ini membentuk yang disebut peneliti sebagai “narasi ekologi spiritual”. Masyarakat Ngada membudidayakan uwi dengan penuh hormat.
Hal ini menciptakan sistem konservasi alam yang didasarkan pada nilai budaya. Praktik budidaya mereka, seperti menggali lubang 20×20 sentimeter dan menanam tiga uwi per lubang dengan tiang penyangga (ladu), adalah bagian dari kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun.
“Semua ini menunjukkan bagaimana mereka menerapkan prinsip keberlanjutan dalam kehidupan sehari-hari,” tulis Wae dan kolega.

Dalam perjalanan Mongabay Indonesia ke Kampung Beiposo, Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa, uwi nase baru bisa diperoleh setelah kami mengunjungi pasar tradisional di sekitar Kota Bajawa.
“Sudah lama warga tidak menanam uwi nase,” tutur Ardin.
Untuk memperoleh uwi nase, masyarakat desa harus berjalan kaki menuruni Gunung Ata Gae, menuju lembah yang berbatasan dengan wilayah Aimere di pesisir. Perjalanan ini bisa memakan waktu setengah hari. “Mereka biasa jalan hari ini, menginap, lalu besoknya pulang bawa uwi.”
Ubi ini harus dikembangkan di sekitar kebun desa. Ini makanan leluhur kami. “Juga, penting untuk melengkapi kebutuhan pangan masyarakat desa,” katanya.
Lipus Ga’e menegaskan, tanpa uwi tidak akan ada orang Ngada.
“Ini simbol kehidupan kami. Titipan leluhur, harus dijaga.“
Referensi:
Angelanai Fiminai, V. Y. W. S. F. K. A. A. (1999). Satra Lisan Ngada di Bajawa (Dra Tri Saptarini, Ed.). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. https://repositori.kemendikdasmen.go.id/27430/1/SASTRA%20LISAN%20NGADHA%20DI%20BAJAWA.pdf
Arndt, P. (2009). Masyarakat Ngadha: keluarga, tatanan sosial, pekerjaan, dan hukum adat. Penerbit Nusa Indah.
Noywuli, J. A. W., Leo, F. R. R., & Pala, M. A. E. T. (2025). Konsep Kosmoteologis dalam Ritus Reba pada Masyarakat Ngada. APOSTOLICUM: Jurnal Pendidikan Keagamaan Katolik Ledalero, 1(1), 77–102.
Wae, V. P. S. M., Nena, A. M., Oka, E., & Surideo, G. A. (2025). Tradisi Reba dan Konservasi Uwi (Dioscorea esculenta): Kajian Etnobotani Masyarakat Adat Desa Binawali Kabupaten Ngada. Biocaster : Jurnal Kajian Biologi, 5(3), 182–194. https://doi.org/10.36312/biocaster.v5i3.435
*****