- Perusahaan Listrik Negara (PLN) tengah mendorong gas alam sebagai ‘bahan bakar transisi’ dari batubara sebelum melakukan ekspansi besar-besaran energi terbarukan.
- Biaya gas setidaknya setengah kali lebih mahal dibandingkan batu bara, sementara pasokan domestik kian menipis.
- Para kritikus menilai gas terlalu mahal, pembangkit yang ada masih kurang dimanfaatkan, dan kebijakan ini berisiko membuat Indonesia terjebak pada ketergantungan energi fosil sekaligus mengalihkan dana dari energi bersih.
- Pasokan gas domestik juga terus menurun seiring menuanya sumur gas, memicu kekhawatiran akan terjadi kekurangan pada pertengahan 2030-an jika cadangan baru tidak segera ditemukan.
Pada bulan Mei, perusahaan listrik negara Indonesia, PLN, menyatakan komitmennya untuk meningkatkan jumlah pembangkit listrik tenaga gas sebagai bagian dari strategi yang bertujuan untuk menjadikan pasokan listrik lebih bersih dan andal.
Rencana tersebut adalah bagian dari peta jalan pasokan 10 tahun yang juga didalamnya mencakup perluasan penggunaan seluruh sumber energi yang sebelumnya telah dimanfaatkan, ditambah beberapa sumber baru, –termasuk energi nuklir, guna memenuhi peningkatan permintaan sekaligus beralih dari pembangkit listrik berbasis batubara yang kotor dan meningkatkan porsi energi terbarukan.
Dalam rencana tersebut, gas menjadi sumber energi dengan peningkatan terbesar pada tahap awal: 9,3 gigawatt. Apabila seluruh pembangkit listrik berbasis gas baru beroperasi pada kapasitas penuh—meski banyak diragukan, daya sebesar itu secara teoretis cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik separuh dari lebih dari 70 juta rumah tangga di Indonesia.
Lebih bersih dibandingkan batubara dan lebih cepat dioperasikan saat diperlukan, gas akan menjadi andalan utama PLN, setidaknya dalam jangka pendek, sebagai upaya merespons memburuknya kemampuan utilitas dalam memenuhi lonjakan permintaan di sebagian jaringan, sebagaimana tercantum dalam rencana 10 tahun RUPTL.
Namun, gas alam tetaplah bahan bakar fosil, dan dengan lebih menekankan pemanfaatannya dibandingkan energi terbarukan, PLN bisa berisiko terjebak pada sumber energi yang mahal pada saat sebagian besar kapasitas pembangkit listrik berbasis gas di Indonesia justru tidak terpakai.
Hasilnya, PLN kemungkinan bisa kembali bergantung pada subsidi untuk menjaga agar listrik tetap terjangkau.
Di sisi lain, batubara juga akan mengalami peningkatan besar pada tahun pertama dari rencana 10 tahun tersebut, yaitu sebesar 3,2 gigawatt, sebelum kemudian menurun setelahnya.
“Strategi PLN ini sarat dengan risiko keterikatan pada bahan bakar fosil,” ujar Katherine Hasan, analis dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) yang berbasis di Jakarta, kepada Mongabay.
“Memilih pembangkit listrik berbahan bakar fosil akan mengekspos PLN dan pada akhirnya warga Indonesia pembayar pajak terhadap volatilitas harga bahan bakar, yang pada akhirnya akan membutuhkan miliaran subsidi dari pemerintah.”

Janji kampanye
Ekspansi produksi gas domestik untuk pembangkit listrik merupakan salah satu janji kampanye Prabowo Subianto dalam pencalonannya yang sukses sebagai presiden tahun lalu, sebagai bagian dari visi yang lebih luas tentang ketahanan energi.
PLN menyatakan bahwa pihaknya tengah memperkuat jaringan dengan pasokan dasar (baseload power) yaitu pembangkit listrik yang dapat menyalurkan daya ke jaringan secara independen dari sinar matahari maupun curah hujan. Pada periode kemarau misalnya, ia dapat mengurangi ketersediaan air untuk menggerakkan turbin di pembangkit listrik tenaga air.
Perusahaan utilitas ini perlu segera mengambil langkah untuk mengatasi lonjakan permintaan listrik di Pulau Jawa, Madura, dan Bali, yang menjadi tempat tinggal hampir 60% dari 280 juta penduduk Indonesia.
Cadangan margin daya PLN — yaitu kapasitas cadangan saat permintaan puncak pun telah menyusut dari sedikit di atas 50% pada 2019 menjadi 18% tahun lalu di jaringan Jawa-Madura-Bali. Sebagai perbandingan, PLN menargetkan memiliki cadangan minimum 30% pada saat permintaan puncak.
PLN masih bungkam terkait penyebab lonjakan permintaan listrik. Awal bulan ini, Rakhmad Dewanto, direktur utama PLN Energi Primer Indonesia, anak usaha PLN yang bertugas membeli energi untuk perusahaan milik negara tersebut, mengatakan dalam sebuah webinar DETalk bahwa gas dapat dengan cepat mengisi kebutuhan ketika sumber energi intermiten melemah.
“Pembangkit listrik tenaga gas dapat beroperasi dengan cepat sebagai cadangan ketika energi terbarukan tidak tersedia,” ujar Dewanto.
“Selain itu, masa pembangunan pembangkit gas lebih singkat, hanya dua hingga tiga tahun.” Namun, tidak semua pihak sependapat dengan pernyataan itu.
Gas saat ini sudah menjadi sumber energi termahal PLN per kilowatt-jam dan lebih rentan terhadap lonjakan harga pasar.
Tahun lalu, data PLN menunjukkan bahwa listrik yang dihasilkan dari gas lebih dari setengah kali lipat lebih mahal dibandingkan listrik dari batubara. Sebagian besar kapasitas pembangkit listrik tenaga gas yang dimiliki Indonesia bahkan masih tidak termanfaatkan.
Menurut laporan bulan Juni dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), pembangkit listrik tenaga gas Indonesia hanya beroperasi pada 30% kapasitas pada 2024.
Berinvestasi pada gas yang tetap menghasilkan metana, gas rumah kaca dengan daya potensi bahaya yang tinggi, berarti mengalihkan sumber daya dari energi yang lebih bersih pada saat negara ini menyatakan tengah berupaya meninggalkan bahan bakar fosil, kata Mutya Yustika dari IEEFA kepada Mongabay.
“Jika mengandalkan gas sebagai bahan bakar transisi, ada risiko terjebak dalam pembangunan infrastruktur fosil yang semakin besar,” ujar Mutya.“Indonesia sudah membangun banyak pembangkit listrik tenaga gas yang saat ini justru tidak termanfaatkan.”
Pemerintah Indonesia mengeluarkan dana sebesar 75,8 triliun rupiah (atau sekitar 4,8 miliar dolar AS) untuk subsidi yang ditujukan agar tarif listrik tetap terjangkau bagi rumah tangga berpenghasilan rendah dan menengah.
Di sisi lain, berkat sinar matahari yang melimpah dan hembusan angin laut, instalasi tenaga surya dan angin di Indonesia rata-rata bekerja lebih efisien dibandingkan dengan di luar negeri, ujar Mutya.
Tahun lalu, negara tetangga Malaysia dan Vietnam meluncurkan regulasi yang memungkinkan penyedia energi terbarukan menjual langsung kepada pelanggan dengan menggunakan jaringan transmisi yang ada. Skema ini dikenal sebagai power wheeling.
Vietnam bahkan menargetkan hampir separuh pasokan listriknya berasal dari sumber energi terbarukan pada akhir dekade ini.
“Baik Vietnam maupun Malaysia secara aktif menyusun kebijakan untuk membuka investasi sektor swasta dan mendukung dekarbonisasi jaringan — melalui power wheeling,” kata Mutya.

Gas, gas, gas
Secara keseluruhan, PLN berharap dapat memperluas kapasitas pembangkit listrik dari energi terbarukan, termasuk tenaga air, hingga sekitar empat kali lipat dalam 10 tahun ke depan, dengan sebagian besar ekspansi direncanakan pada paruh pertama dekade mendatang, menurut RUPTL.
PLN berencana memasang sekitar 47.000 km kabel transmisi selama periode tersebut, antara lain untuk menghubungkan pusat-pusat perkotaan dengan proyek-proyek energi terbarukan di lokasi terpencil, termasuk pembangkit listrik tenaga air Batang Toru di Provinsi Sumatera Utara dan proyek pembangkit tenaga hidro Sungai Kayan berkapasitas 9 GW di Provinsi Kalimantan Utara.
Untuk saat ini, produksi gas Indonesia masih lebih dari cukup untuk memenuhi permintaan domestik. Pada tahun 2024, Indonesia memproduksi 6.635 juta kaki kubik standar per hari (MMSCFD), menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dengan sebagian di antaranya diekspor.
Namun, pasokan kian menipis seiring menuanya sumur dan meningkatnya konsumsi dari sektor industri maupun pembangkit listrik.
Meskipun terdapat pengembangan ladang gas baru, surplus gas Indonesia berisiko berubah menjadi defisit lebih dari 500 MMSCFD pada pertengahan dekade mendatang, ujar Arief Setiawan Handoko, Direktur Utama PGN, dalam rapat bersama parlemen pada bulan Mei.
“Profil keseimbangan gas PGN untuk periode 2025 hingga 2035 menunjukkan tren penurunan,” kata Arief sebagaimana dikutip.
“Hal ini terutama dipengaruhi atau disebabkan oleh penurunan alami dari pemasok yang belum diimbangi dengan penemuan cadangan baru serta produksi dari ladang gas baru.”
Indonesia kini sesekali menahan kargo yang semula ditujukan untuk ekspor dan mengalihkannya ke pelanggan domestik, sebagian karena adanya kekurangan produksi. Langkah ini berisiko menunda masuknya investasi asing untuk mengembangkan lebih banyak sumber daya gas.
Ladang gas Abadi di Indonesia, yang terletak sekitar 400 km di utara Kota Darwin, Australia, telah menghadapi berbagai penundaan. Perusahaan Jepang, Inpex, selaku pemimpin proyek, menyatakan bahwa Abadi diperkirakan mulai berproduksi pada tahun 2030.
“Penurunan pasokan gas domestik akibat menipisnya ladang yang ada tetap menjadi perhatian utama,” kata Joshua Ngu, wakil ketua untuk Asia Pasifik di perusahaan riset dan konsultasi Wood Mackenzie, dalam sebuah pernyataan.
“Kebijakan investasi yang menarik, yang dapat mendukung penemuan dan pengembangan cepat sumber daya baru, diperlukan untuk mencegah krisis gas domestik dan menjaga posisi negara sebagai pemasok gas internasional.”
Tulisan ini pertamakali diterbitkan di sini. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita
*****
Foto utama: Cerobong asap pembangkit listrik tenaga batubara Suralaya di Banten menjulang di atas sebuah bukit tempat seorang anak bermain. Foto: AP Photos/Dita Alangkara.
Pendanaan Seret, Target Transisi Energi Bersih Bakal Meleset?